1. Ayah dan Mama
Waktu aku duduk dikelas lima SD, ayah membeli rumah di komplek perumahan Talagasari, kata ayah rumah ini akan dijadikan fasilitas untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah. warrahmah di bawah iringan lagu Rhoma Irama yang judulnya "Habis Gelap Terbitlah Terang".
Ayah memang sangat menyukai lagu-lagu bang Aji, sampai aku pun ikut hafal semua lagunya karena sering diputar ketika pagi menjelang beres-beres rumah, katanya biar makin semangat lap sama cuci piringnya dan menjelang malam sebelum tidur, katanya juga biar cepet tidur nyenyak.
Ayahku bekerja sebagai pengajar di beberapa sekolah swasta, negeri dan pesantren. Semasa kuliah, katanya ayah adalah satu dari seribu laki-laki yang cukup penting buat kelangsungan hidup para kaum hawa. Dengan gaya generasi 90-an, ayahku berhasil menaklukan belasan wanita yang cukup tenar di kampusnya dulu. Ya aku percaya aja, kalau gak percaya takut uang jajan dikurangi.
Pertemuan ayah dan mama cukup berlangsung sangat singkat, kata mama ayah lamar mama pas mama lagi nyuci baju. Ayah nungguin mama berjam-jam sampai akhirnya ayah lamar mama. Awalnya keluarga mama tak tertarik dengan ayah, katanya bukan sepadan. Dulu mungkin memang masih musim kali ya pilih-pilih gimana kasta. Mama ku memang keturunan orang berada, beda sama ayah yang di kampusnya pun dijuluki koboy abadi saking lamanya lulus. Berbeda dengan mama yang notaben keluarganya adalah dari keluarga berada. Sehingga sulit bagi ayah untuk menaklukan keluarga mama.
Entah bagaimana caranya, yang jelas di tahun 90-an juga, mama resmi menikah dengan ayah. Selaku anak, aku bukan bermaksud durhaka dengan tidak datang ke nikahan mama dan ayah. Tapi tau sendirikan, aku belum diolah saat itu, masih berupa butiran butiran mungkin, yang sekarang merasa menyesal karena telah lebih dahulu lolos saat perlombaan turun ke rahim mama.
Dari dulu aku memang suka dengan yang namanya menulis, bersajak, berpuisi dan berpidato. Dari kecil ayah selalu ajarin aku bagaimana caranya berpidato. Kata ayah, kalo mau banyak yang dengerin harus ada pembangkit gairah dari kita, sehingga si penonton tidak males dengerin, salah satunya pake nyanyian.
Waktu SMA aku juga pernah bikin puisi untuk ayah dan mama, secara tidak langsung itu adalah bukti maafnya aku ke ayah dan mama karena selalu bikin masalah di sekolah. Secara cewe tomboy rentan berbaur dengan cowo yang notabennya cowo gabaik dan aku selalu menjadi sasaran guru-guru di sekolah. Terlebih hampir setiap minggu ada aja kasus baru yang aku perbuat.
Isi puisi: (ini secara tak sengaja aku temukan di buku diary SMA ku)
Ayah dan mama yang terhormat
Karya: anakmu yang bandel
Bumi nampak bulat
Aku nampak cantik
Siapa yang menciptakanku?
Ternyata olahan mama dan ayah lah penyebabnya
Aku senang menjadi cantik
Meski celanaku selalu sobek-sobek
Oh mama dan ayah
Hormat aku untuk kalian
Surgaku di bawah telapak kaki mama
Ridhaku terletak di ridha mama dan ayah
Pacarku terletak di atas tipeku
Aku gamau kalo punya pacar jelek
Nanti aku malu kalo ngajakin dia ke undangan
Oh mama oh ayah
Restuilah aku dengan mas mas yang jago bikin rumah itu
Mas mas arsitek di depan sekolahku ini
Itulah puisi aku, sedari dulu aku memang pecicilan tak bisa serius dalam hal apapun. Tapi kalau setia boleh dicoba. Dan untuk mama dan ayah terima kasih sudah menjadi orang tua terhebat yang pernah aku miliki. Semoga Allah selalu memanjangkan umur mama dan ayah, kapan-kapan kalau aku sudah kaya aku ajakin mama dan ayah beli es kelapa muda di deket Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, lanjut aku ajakin mama dan ayah naik haji, doain uangnya cukup, aamiin.
YOU ARE READING
Mei Septa
Non-Fictionmenceritakan tentang perjalanan hidup seorang wanita yang berusaha berdamai dengan dirinya sendiri, menganggap yang terjadi adalah hal normal meski terbanting-banting