Sang Pedagang dan Pengawal || Nome Tatsuhiro

116 14 4
                                    

Selamat datang di kedai ini. Selamat siang. Namaku Momotaro dan aku adalah pemilik kedai makanan kecil ini. Silakan pilihlah tempat duduk yang kausukai dan pesalah menu yang menurutmu menggiurkan. Aku sendiri merekomendasikan seporsi oden untuk hari yang melelahkan seperti ini.

Ah, sepertinya kau baru pertama kali singgah kemari, ya. Apakah kau merantau? Atau jangan-jangan kau menemukan kedai ini saat sedang berjalan-jalan santai?

Begitu.... Baiklah, hari ini akan kuberikan seporsi oden gratis, disertai dengan suatu kisah yang memikat hati.

Sang Pedagang dan Pengawal
G

uard!Nome Tatsuhiro x Merchant!Reader


Semuanya dimulai dari sekian ratus tahun yang lalu, ketika perang masih berkecamuk dan pemberontakan terjadi di mana-mana. Kala itu, kondisi kerajaan sangat menyeramkan. Banyak rakyat menderita akibat keegoisan sang raja, bahkan beberapa di antara mereka sampai harus menjumpai maut lebih cepat dari dugaan. Pertumpahan darah sudah menjadi hal yang lumrah pada masa itu. Banyak saudagar kaya yang menikmati hal tersebut.

Sungguh mengerikan, ya? 

Namun, bukan perkara perang yang hendak aku ceritakan kepadamu, melainkan kisah sepasang manusia yang terjebak dalam pusaran takdir.

Aku pertama kali bertemu dengan mereka pada malam bulan purnama yang dingin yang mencekam. Di tengah badai yang bergejolak dengan penuh amarah, seorang gadis masuk ke dalam kedai dan duduk di meja nomor delapan. Wajahnya begitu pucat seperti orang sakit dan tubuhnya gemetaran hebat.

Ia meletakkan bungkusan besar di lantai dengan sangat hati-hati, kemudian mencari menu yang terjangkau bagi dirinya. "Saya pesan seporsi oden. Saya minta lobak dan kuahnya diperbanyak. Oh iya, jangan pakai telur rebus, ya."

Pesanannya begitu rinci. Tampaknya ia cukup pemilih jika terkait dengan makanan. Aku mencatat pesanan tersebut, kemudian membacakannya kembali agar tidak terjadi miskomunikasi. Gadis itu hanya mengangguk sebagai balasan.

 Sembari menunggu, kudengar gadis itu bersenandung ceria. Sebuah melodi pengantar tidur yang sangat khas, dengan nada yang begitu mudah dihafalkan. 

Aku kembali ke meja tersebut beberapa menit kemudian, menyajikan pesanannya ditambah segelas teh hangat. "Ini gratis untukmu," imbuhku untuk mencegah kesalahpahaman.

Wajah gadis itu tampak lebih cerah dari sebelumnya. Ia memegang gelas berisi teh tersebut, seakan-akan baru saja memungut emas di sungai. "Terima kasih!" serunya dengan bersungguh-sungguh. Seukir senyum mekar di wajahnya.

"Ngomong-ngomong, apakah kau baru datang ke daerah ini?" Karena hari itu sangat sepi, kuputuskan untuk sedikit berbincang dengan pelangganku.

Ia mengangguk sembari mengunyah potongan chikuwa yang agak besar. "Saya (full name) dari kota sebelah." Ia memperkenalkan diri dengan mantap. "Saya ke sini untuk berdagang buah-buahan." Ia mengambil bungkusan yang rapi tersebut, meletakkannya di atas kursi di sebelah kiri.

Aku kembali menghampirinya, meminta izin untuk membuka bungkusan tersebut. Ia dengan senang hati menyetujui.

Masih ada beberapa buah di dalamnya, semua terlihat amat segar, seakan baru saja dipetik dari pohonnya. Aku mengambil satu buah persik yang ranum, kemudian menyerahkan sejumlah uang sebagai gantinya, sesuai dengan nominal yang ia sebutkan.

Idol HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang