Part 4

3.9K 82 8
                                    

"Mengapa rasa ini hadir tika aku menyatu dengan dirimu. Mungkinkah... Oh, jangan hadirkan rasa itu dalam hatiku untukmu," - Maddy Maxwell

Maddy menatap dalam wajah manis yang telah lena dalam pelukannya. Mereka masih berbaring di atas permaidani berbunga biru itu dengan tangan masih saling mendakap erat.

Meski permaidani itu jauh dari kata selesa, namun Maddy tidak berniat untuk memindahkan Vanilla ke bilik tidur mereka. Biar begini sebentar, bisik hatinya. Tidur semalaman di atas permaidani ini juga dia rela, asalkan gadis itu masih berada dalam pelukannya dan tertidur dengan damai tanpa menolak untuk dipeluknya.

"I love you, Vanilla. I will make you pregnant. I will make you mine, forever," kata-kata yang lolos dari mulutnya tika dia berada dipuncak nikmat beberapa minit yang lalu, kini terngiang kembali di telinganya.

"Shit!" Maddy memarahi dirinya. Jantungnya berdegup kencang saat dia mengingat kembali ucapannya itu. Mungkinkah aku mengucapkannya kerana aku terlalu berghairah tika berada di dalam tubuhnya? Maddy kembali menyoal dirinya.

Namun seketika kemudian dia menggelengkan kepalanya. Apa yang dirasakannya bukan hanya nafsu semata. Jika hanya kerana nafsu dan dendam, buat apa dia menanam benihnya di dalam rahim Vanilla dan setiap kali dia menyemburkan benihnya ke dalam rahim Vanilla, dia mengharapkan spermanya segera bersatu dengan ovum Vanilla. Dia benar-benar ingin Vanilla mengandungkan anaknya agar Vanilla merayu untuk terikat padanya selamanya.

Maddy menarik selimut membungkus tubuh mereka apabila disedarinya tubuh Vanilla sedikit menggeletar kesejukan. Dia mengeratkan pelukannya hingga Vanilla mengeliat cuba melepaskan diri dari pelukan lelaki itu saat dirasakannya nafasnya sedikit sesak.

"Biarkan begini, Vanilla," suara Maddy hampir bergetar. Dia bingung dengan perasaannya sendiri. Dia benci pada Vanilla kerana telah menggaggalkan pernikahannya dengan Anila. Dia dendam pada gadis itu kerana telah menjebaknya. Tetapi mengapa semuanya terasa begitu sempurna, hidupnya terasa lebih bernyawa dengan hadirnya Vanilla di rumahnya.

"Aku tidak mungkin jatuh cinta padanya. Aku tidak mungkin jatuh hati pada perempuan penggoda, perempuan yang sanggup menyerahkan daranya pada lelaki yang bukan suaminya," Maddy menggelengkan kepalanya. Hingga saat ini dia belum tahu tujuan sebenar Vanilla berada di dalam bilik hotel itu.

Meski mulutnya mengatakan tidak jatuh hati pada Vanilla, tetapi dengan wajah Vanilla yang menyusup di sebalik dadanya membuat kedua hujung bibir Maddy melengkung.

" Ivan, tolong aku. Maafkan aku. Jangan pernah berhenti mencintai aku, Van. Apapun yang terjadi," sayup-sayup suara Vanilla menusuk pada indera pendengaran Maddy. Perlahan dia membuka matanya.

Mata Vanilla masih terpejam rapat, tetapi air mata mengalir menuruni pipi Vanilla. Gadis itu terisak kecil.

" Sial! Aku tidak akan membenarkan kau menyebut nama Ivander, betina," geramnya hingga mengetatkan rahangnya. Dibalikkannya tubuh Vanilla hingga gadis itu kini baring terlentang.

"Tiada cara lain untuk membuatmu melupakan lelaki itu, sayang. Cuma ini caranya," Maddy menindih tubuh Vanilla membuat gadis itu terpekik kaget. Namun Maddy tidak memberinya peluang untuk protes. Dia menyambar bibir Vanilla dan melumatnya dengan nafas menderu.

" Maddy... " nafas Vanilla turut memburu.

" Yes.. do it again, honey. Say my name. Again and again. You're mine, Vanilla," Maddy berbisik di telinganya. Cuping telinga Vanilla digigit lembut hingga Vanilla mengeliat. Jemari Maddy turun ke bawah hingga menemukan pusat ghairah Vanilla yang sudah basah. Kedua kakinya automatik terbuka akibat rangsangan itu.

" Maddy... "Vanilla mendesah lagi menyebut nama Maddy. Senyuman Maddy kian lebar.

" Kau tewas Ivander. Vanilla sudah menjadi milikku yang mutlak. Aku yang pertama baginya. Dan hanya aku yang akan menjadikan dia pelacurku. Hanya aku yang akan memuaskannya. Dia hanya akan mendesah menyebut namaku. Hanya aku, Vander," suara hatinya menjerit melaungkan kemenangannya.

" Maddy... " suara serak Vanilla seakan ingin menangis. Kuku tangannya tertancap pada kulit belakang Maddy. Kedua kakinya kini membelit pinggang Maddy, memaut punggung lelaki itu agar pusat tubuh lelaki itu menyentuh pusat tubuhnya.

"Hanya sebut namaku, Vanilla. Jangan pernah kau menyebut nama lelaki lain," jawab Maddy dengan suara hampir berbisik. Tubuhnya terasa panas, terbakar oleh hasrat yang menggebu untuk segera membenamkan dirinya ke dalam tubuh Vanilla. Tetapi kali ini dia tidak mahu tergesa-gesa seperti sebelumnya.

" Aku akan menjadikan malam ini malam yang terindah buatmu, Vanilla. Malam yang akan kau kenang selama hayatmu. Setelah malam ini, hanya sentuhanku yang akan kau dambakan, Vanilla," Maddy menyentuhnya setiap inci tubuhnya, membuatnya mengerang dan mendesah.

" Berapa... la.. ma.. lagi.. kau.. kau.. akan membuatku.. menunggu.. Maaddyy..., "Vanilla mengeliat dengan suara tertahan.

" Memohon padaku, Vanilla. Mohon padaku... " Maddy menggeselkan pusat tubuhnya pada tubuh Vanilla, turun naik dari perut hingga menyentuh celah paha Vanilla. Vanilla mendesah, memejamkan matanya tiap kali pusat tubuh mereka hampir menyatu. Tetapi Maddy belum ingin menuntaskan keinginan Vanilla. Tidak sebelum Vanilla memintanya.

"I.. can't wait, Maddy. Touch me.. now!" Vanilla melengkungkan tubuhnya ke atas. Kakinya membelit pinggang Maddy. Kedua tangannya mendakap erat tubuh lelaki itu hingga Maddy tidak lagi dapat menahan dirinya.

"My sweet bitch!" Maddy berguman setelah tubuh mereka menyatu dengan sempurna. Vanilla mendengarnya, tetapi dia tidak peduli. Saat ini Maddy benar-benar sudah membawanya melayang, hingga untuk seketika dia melupakan Ivander dan kebahagiaannya bersama lelaki itu yang sudah musnah.

"I'm going to make you mine, Vanilla. Kebahagiaanku dengan Anila sudah musnah. Kebahagiaanmu dengan Ivander juga harus musnah," hatinya terus berbicara seiringan dengan gerakan tubuhnya di atas tubuh Vanilla.

Hampir dua jam Maddy menunaikan janjinya pada Vanilla. Tubuh Vanilla yang terasa remuk hanya mampu pasrah tatkala Maddy menekan tubuhnya dalam dan menyemburkan cairan kental yang terasa hangat ke dalam rahimnya.

Maddy berbisik nakal di telinganya," Malam ini aku menyemburkan spermaku yang paling berkualiti. Aku berani bersumpah, saat ini dua dari ribuan spermaku pasti sudah bercantum dengan dua ovummu. Kau akan menjadi milikku, Vanilla."

"Aku akan menjadi milik Ivander," balas Vanilla.

"Masihkah dia mahu memilikimu, Vanilla? Gadisnya yang sudah kujadikan seorang wanita. Dan sebentar lagi gadis yang dulu dia jaga perawannya akan menjadi ibu kepada anak-anakku?" ucap Maddy penuh keangkuhan.

"Aku tidak akan pernah mengandungkan anakmu, Maddy. Aku mencintai Ivander," tuturnya dalam isakan. Lagi-lagi Maddy tertawa sinis mendengarnya.

"Mahu bertaruh denganku, Vanilla? Kau lupa berapa kali sudah tubuh kita menyatu dan berapa banyak benihku yang sudah kutanam di dalam rahimmu?" kata-kata Maddy membuat Vanilla terdiam. Apa yang dikatakan lelaki itu memang benar. Peluangnya untuk mengandungkan anak lelaki itu menang cukup besar.

" Ingat, Vanilla. Aku akan memiliki tubuhmu. Aku akan membuatmu rosak dan kotor hingga tidak ada lelaki yang sudi menyentuh tubuhmu, selain aku," Maddy mengelus perut Vanilla.

"Bertumbuhlah, anakku," ucapnya.

Mohon maaf, ya readers. Bahasa dalam cerita ini memang.... kerana sudah alur ceritanya begitu.

Sebarang komen akan saya terima dengan hati terbuka.

Please, Release Me ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang