Disini hitungannya malam, sekitaran segitu. Wendy ada bareng Seulgi, di rumah.
Dari klinik sebentar, niatnya disana mau nenangin pikiran. Tapi biang penyakit ada tanpa tau dulu kapan datang, kaget jelas mungkin Wendy waktu itu.
Pintu rumah di biarkan nutup, lampu nyala semua, luar dalam. Dan di meja makan ada dua gelas cola dingin pake es batu.
“Kenapa cola?” tanya Wendy pake outfit baju tidur bahan satin yang keliatan terang di mata Seulgi.
“Kenapa cola? Tanya dirimu aja. Suka champagne memang? Bu bidan.”
Wendy mendelik males, lalu tisu makan dia lempar keras kedepan—tujuannya wajah Seulgi, ya tapi kena tangkis tangan manusia Kang yang cekatan. Berakhir Seulgi terkekeh sekilas lalu melet pasang wajah menyebalkan. Total nyebelin.
“Aku gak lembek,”
“Ya siapa yang bilang begitu. Aku enggak ada ngomong kamu lembek kan.”
“Seulgi, colanya lho.”
“Di kasih yang berat nanti kamu mabuk.” balesan ini malah bikin mata Wendy muter males.
“Sebagai perayaan, apa salahnya aku mabuk? Sekali kali. Gak setiap hari.”
“Kok kamu ngeyel?”
“Yayaya, gak usahlah beliin alkohol. Bodo.”
Sekali lagi Seulgi terkekeh, bahkan di akhir ketawa keras. Muka merengut Wendy yang lipat tangannya rapi di atas meja itulho—tolong, gemas. Yang begini memang sikap asli Wendy.
Irene pasti iri kalau nonton ini.
Tapi Seulgi tau permintaan Wendy buat minum alkohol pasti ada sebab akibatnya. Dia ambil gelas colanya dan teguk cepet dua kali lalu di simpan ketempat semula colanya itu di atas meja.
“Lagi stress ya non?”
Wendy wajahnya datar, dia tarik nafas sekali, Seulgi bales senyum tipis dan sedikit ubah posisi duduk cari nyaman.
“Gak ada stress stress, nanti mukaku tua duluan.”
“25 bos, masih mau ngaku muda? Kamu pikir kamu si Rosie??”
Wendy lempar lagi tisu makannya, tapi kena tangkis lagi.
“Halah, beda 3 tahun doang.” ngelesnya tetep gak mau kalah.
Kepala Seulgi ngangguk santai gestur iyain aja biar cepet, colanya mulai ganti suhu dan mata monolidnya tatap Wendy intens sekali, ada rasa kangen yang sulit banget buat keucap—sampe rasanya gemes sendiri.
“5 bulan gak ketemu. Apa kabar sayang?”
Katanya sih sayang keluarnya enteng, hati Seulgi langsung heboh gak karuan lalu Wendy turunin tangannya dari atas meja dan ketawa sekilas. Ya geli di panggil sayang, mau lempar pake tisu lagi tapi barangnya sudah di ambil cepet duluan. Seulgi pelakunya.
“Kabar buruk sih.”
“Ho, gitu. Kasian,”
“Iya kamu sebabnya, ngaku suamiku ya pasti ngarep juga jadi suami.”
Disini Seulgi ketawa dulu sebelum geleng kepala. “Konyol ya aku jadi suami bu bidan?”
Wendy jadi tumpu dagu, cola dia masih penuh dan jam malam ini dia hela nafasnya teratur di depan Seulgi.
“Ya konyol kalau Mingyu denger ini kamu kena bogem. Mau?”
“Huhu, maaf? Bercanda, gak gitu lagi. Tapi masih niat buat jadi suamimu. Asli. Apa Mingyu? Gak takut.”
Dan muka Seulgi langsung kena timpuk sendok sama garpu. Anehnya ya beruang itu masih bisa cengengesan, padahal tulang hidung rasanya mau patah.
Sakit bajingan.
;
Misalnya sekarang bahas perbandingan antara Irene, Dahyun sama Seulgi—diantara mereka mana yang lebih tau soal Wendy, dari titik rendah sampai sekarang.
Jawabannya ya gak ada.
Okay mungkin Seulgi memang tau Wendy daripada Dahyun ataupun Irene. Tapi taunya Seulgi juga gak begitu banyak, ada beberapa persen yang masih lost.
Rumah Wendy masih jadi tempat ternyaman mereka dudukin bokong di kursi makan, bahkan hampir dua jam ini obrolan kecil masih berlanjut.
“Aku nginep disini ajalah.” kata Seulgi, gelas cola kosong di ganti air putih hangat. Sesekali telapaknya nempel disana supaya hangat karena pengaruh cuca dingin yang tiba-tiba hujan.
Malam ini hujan, suara Seulgi yang minta nginep juga samar hilang di telinga Wendy.
“Hoi,” tangan Seulgi keliatan ngibas supaya Wendy stop bengong.
“Apa, pulang sana.”
“Gak mau, mau bobo disini.”
Wendy berdecih geli, geli banget. Asli.
“Pulang Seulgi. Mingyu dateng kamu mati.”
“Halah sok protektif dia itu.”
Sedang membayangkan gimana protektifnya seorang Kim Mingyu ke Wendy—Seulgi senyap sebentar, gak suka aja rasanya kalau jadi orang yang banyak tau.
“Okay, bobo disini. Kamar papaku kosong.”
;
“Bae, kamu tau kan kegagalan adalah awal dari sebuah kesuksesan. Mungkin kamu harus lebih berusaha lagi, jangan sekali coba. Bu bidan pasti mau sama kamu.”
Tau kan di luar hujan? Irene injak pedal gas dari rumah ke tempat Mingyu yang memang cowok ini selalu pulang dari tempat prakteknya malam. Berakhir duduk saling hadap seperti biasa, gak ada minuman apapun. Cuma ada kotak makanan kosong bekas Mingyu.
Barusan dia di kasih semangat lagi, Mingyu nadanya kalem dan Irene juga dengerin itu tanpa ada balasan yang keluar.
“Hampir jam 9, aku mau pulang. Bae?”
Mingyu mulai beresin meja, dia lirik sekilas Irene sebelum akhirnya berdiri dan copot jas putihnya lalu di gantung di lengan.
Irene buang nafasnya percuma, kakinya ikut berdiri—masih merasa bingung mesti gimana. Tadi doktrinan Mingyu ketumbenan gak masuk ke otaknya sama sekali.
“Gyu, besok aku mau ngomong lagi sama bu bidan. Kira-kira bisa?”
Mingyu senyum kecil dan ngangguk beberapa kali.
“Hajar terus sebelum dapat. Aku dukung.”
_____________________________________
Gyu,
kmu gila y :))
:'))
KAMU SEDANG MEMBACA
Insecure (WenRene) | Completed ✔️
Fanfic"Don't let fear or insecurity stop you from trying new things. Believe in yourself. Do what you love. And most importantly, be kind to others, even if you don't like them." - Stacy London