Sudah tiga hari bunda dirawat disini, di kamar kelas 2 yang isinya 3 pasien perkamar. Walaupun bunda pasien kelas 2, tapi perawatan yang di berikan rumah sakit ini tak mengecewakan. Penyakit jantung dan darah tinggi yang di deritanya bunda, semakin parah belakangan ini. Kaya tak tahu kenapa, yang jelas ia yakin ada pemicunya.
Sering kambuhnya penyakit bunda membuat ia sudah tiga kali bolak balik di rawat dirumah sakit ini. Beruntung ada asuransi perusahaan yang bersedia menanggung sebagian besar biaya perawatan walaupun hanya kelas 2, Kaya sudah banyak bersyukur untuk itu.
Begitu sampai diruang ICU tampak dokter baru keluar dari ruangan itu. Wajah gusar dokter membuat hatinya tak tenang, pikiran negatif yang memenuhi kepala ditepisnya dengan merapal kalimat
'Bunda ga papa, bunda ga papa.'"Maaf, kami sudah berusaha sekuat tenaga, tapi Bu Maya sepertinya sudah lelah, kamu yang kuat ya." Dokter itu menepuk pelan pundak Kaya mencoba menenangkan dan menyalurkan kekuatan.
"Mak.. maksud dokter? Saya kurang paham?" Wajah Kaya pucat, rona di wajahnya perlahan hilang seiring ketakutan yang memenuhi otaknya.
"Masuklah dan kuatkan dirimu."
Kaya segera masuk keruang ICU dengan baju khusus, perlahan ia bergerak menuju brangkar bundanya yang penuh dengan selang dan kabel."Bun.. da.." Lirih Kaya sambil memegang lembut tangan bunda.
Perlahan mata sayu bundanya terbuka, perlahan ia menoleh kearah suara, menatap putri kesayangan yang menemaninya melewati masa penuh suka duka selama 17 tahun belakangan ini.
"Kaya.. buah hati bun..da, kesayangan bunda.. maka.. sih.. sudah mene..mani bunda." Ucap bunda Maya dengan nafas terputus putus.
Kaya menggeleng, melarang bundanya kembali bicara namun diabaikan bundanya.
"Ma..kasih mau diajak hi..dup susah sa..ma bunda." Air mata mengalir pelan di pipi bunda seiring dengan kata yang terpatah patah terucap dari bibirnya.
"Maafkan bun..da belum bisa bu..at Kaya baha..gia." Kaya terus menggelengkan kepalanya mendengar ucapan bunda, ia bahagia sungguh.
Bunda adalah kebahagiaan dan sumber kekuatan terbesarnya.
Air mata ikut menetes keluar di pipi Kaya seiring dengan genggaman nya di tangan bunda. Kulit bunda terasa semakin panas."Bun..da ada sesu..atu buat ka..mu dilaci le..mari bunda. Hanya i..tu yang bi..sa bunda ka..si ke kamu. Ja..ga diri baik ba..ik ya sayang. Bun..da pamit." Ucapan terbata bata bunda berakhir seiring dengan hilangnya bunyi detak jantung bunda dan rasa kulit yang berubah perlahan mendingin.
Kaya yang syok terdiam beberapa detik sebelum tersadar bahwa bundanya benar-benar pergi kali ini bukan beberapa hari tapi untuk selamanya.
Tubuh Kaya luruh seiring tangis yang turun deras dari kedua matanya, tangan bunda yang tadi ia genggam sudah terlepas.
"Bundaaaa.." teriak Kaya sambil memeluk tubuh bunda sudah kaku.
Sedang dokter dan perawat yang keluar tadi, masuk kembali saat mendengar suara tiittt dari alat monitor jantung yang dipasang di dada bunda, tak dihiraukan keberadaannya oleh Kaya.
"Bundaaaa.."
Kenangan beberapa tahun silam nyatanya tak bisa lepas dari otak Kaya. Memori itu tersimpan rapi berdampingan dengan memori sedih lainnya, memori saat ia berusia 5 tahun. Tak disangka otaknya masih bisa mengingat dengan baik kejadian buruk itu.
Saat banyak orang mengeluh karena menjadi pelupa, Kaya malah sebaliknya. Ingatannya yang terlalu kuat membuatnya ingin juga merasakan lupa. Entahlah, ia bingung harus bersyukur atau mengutuk kelebihan nya yang satu ini.
Suara mobil berhenti dan pagar dibuka menyadarkan lamunan Kaya, ia melirik jam dinding di ruang tengah rumah sederhana nya, peninggalan sang bunda. Pukul 20.15, berarti sudah lebih dari 30 menit ia melamun di sofa ruang keluarga ini.
Tepat 18.00 tadi ia sampai dirumah dengan mengendarai motor matik yang dibeli tunai dari tabungan uang gajinya. Setelah mandi dan berpakaian niatnya ingin memasak makan malam, namun berakhir dengan melamun di depan sofa menghadap televisi menyala.
Tok tok tok..
Bunyi ketukan di pintu depan membuat Kaya waspada, karena sangat jarang orang berkunjung kerumahnya, Kaya mulai mengisolasi dirinya sendiri dari sekitarnya sejak bunda meninggal.
Dengan berbekal gagang sapu, Kaya memutar kunci dan membuka pintu perlahan. Kaya terkejut melihat orang yang berdiri di depan pintunya sambil menatapnya tersenyum.
"Malem Key."
Tak disangka Dirga benar benar memenuhi omongannya. Awalnya Kaya mengira Dirga bercanda, karena dulu pasca bunda meninggal Dirga memang menemaninya disini tapi tidak menginap. Dari pulang sekolah hingga pukul 10 malam Dirga menemaninya, lalu pulang kerumahnya untuk beristirahat. Begitu terus setiap harinya kecuali hari libur. Dirga menemaninya dari jam 7 pagi hingga malam.
Dirga tak hanya diam didalam rumah menemani Kaya, dia membantu menyiram tanaman, membersihkan halaman, merawat tanaman yang ditinggal kan bunda dengan baik.
"Jadi maksud kamu apa kesini malam malam bawa koper?" Tanya Kaya langsung saat mengantar teh hangat untuk Dirga yang kini duduk diruang tamu.
"Kan udah aku bilang tadi siang, aku akan tinggal disini Key." Dirga meminum teh hangat didepannya dengan santai.
"Kalo kamu ingat, aku ga bilang setuju dengan keputusan kamu."
"Setuju atau enggak, aku udah memutuskan untuk tinggal disini. Ingat janjiku Key, sekarang giliran aku menjaga dan melindungi kamu setelah bunda Maya pergi."
"Jangan sebut nama bundaku! Kamu ga pantes. Bagaimanapun kamu anak mereka. Obrolan tadi siang itu cuma basa basi Dirga, jangan kamu kira aku udah nerima keberadaan kamu karena obrolan kecil itu."
Dirga tersenyum, Kaya yang di sampingnya jauh berbeda dengan Kaya yang dikenalnya dulu saat bundanya meninggal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji
General FictionSetelah lebih dari 15 tahun hidup berdua dengan bunda setelah ayah menceraikan dan mencampakkan mereka atas nama cinta dengan wanita itu. Kaya dipertemukan lagi dengan mereka, keluarga baru ayahnya tepat di saat bunda pergi meninggalkan dirinya untu...