Brian tiba di lokasi dengan napas berderu. Dapat ia lihat pemandangan keempat rekannya yang berkumpul di dalam ruangan dengan menunduk. Sebuah tali tampak terjulur dari langit-langit kamar itu.
"LO UDAH GAK WARAS?!"
"Bri, calm down. His mind still unstable." tegur Jaerand.
Brian mengacak rambutnya lalu duduk diatas kasur Dimas. Disebelahnya sang pemilik kamar hanya menunduk.
"Maaf..."
"Harusnya lo cerita, Dim. Kita semua punya masalah tapi gak pernah mikir buat mengakhiri hidup. Kalau aja Jackson gak nolongin dan ngabarin tadi, lo mungkin udah tinggal nama." kata Saka.
Dimas mengangguk pelan. Ia meremat bajunya.
"Salah jurusan tuh bukan akhir dari segalanya." sambung Wira, "Lo udah survive sejauh ini, itu artinya lo mampu, Dimas."
"Gue cuma hilang akal aja tadi... Maaf." lirih Dimas.
Jaerand merangkul pundak sahabatnya itu seolah menguatkannya.
"We treasure you so much. So don't ever think about suicide again. You deserve to life." sahut Jaerand.
Dimas mengangguk menanggapinya. Sementara Brian menghela napasnya.
"Ngomong-ngomong, Bri, tangan lo kenapa?" tanya Saka.
Ketiga rekannya langsung menoleh serempak. Brian yang sadar lalu menutup lukanya dan tertawa kecil.
"Kesenggol motor tadi, biasa hehe. Minta betadine dong."
Saka menunjuk tasnya yang segera dihampiri Brian.
"Udah. Abis ini kita bantuin lo. Materi apa yang lo gapaham kita ulangin lagi sampai lo paham. Jangan mikir untuk berhenti. Selalu ada jalan keluar," tutup Saka.
Dimas tersenyum, "Makasih, bang."
"Ka,"
Brian tiba-tiba menginterupsi lalu memandang Saka dengan tatapan tak percaya. Ketiga temannya jadi bingung tak terkecuali Saka sendiri.
"Lo ngajuin cuti kuliah?"
Saka langsung sadar dan merampas kertas yang dipegang Brian.
"Bukannya kita udah gak bisa cuti kuliah lagi?" timpal Wira.
Saka mendesah berat, "Yah gak bisa ya? Mau gimana lagi. Berarti harus berhenti."
"Lo gila?" sela Brian, "Barusan lo ngelarang Dimas buat berhenti dan sekarang malah lo sendiri yang berhenti? Yang paling penting, lo cuma tinggal sidang akhir doang, Ka!"
"Situasi gue beda, Bri."
"Masalah uang kan." Kali ini Jaerand yang bersuara, "Gue sempet denger obrolan lo di telpon."
Saka mengacak rambutnya frustasi. Padahal ia berusaha keras menutupi ini tapi ketahuan juga.
"Bokap gue kabur dan ninggalin hutang 1M. Gue gak tau harus gimana buat ngelunasinnya." jelasnya pahit.
"Lo bisa pake uang gue dulu--"
"Itu yang gue gak mau," potong Saka. Wira terdiam, "Gue gak mau ngerepotin kalian."
"Gak ada yang merasa direpotin. Bukannya kita semua keluarga? Ada gak yang keberatan buat ngebantu Saka?"
Brian mengajukan pertanyaan dan langsung ditanggapi Jaerand, Dimas dan Wira dengan kompak.
"Gue gak repot."
"Sama sekali enggak."
"That's whats family do tho."
"See?" Brian mengangkat alisnya.
Membuat Saka tertawa ringan. Benar. Selalu ada jalan dari setiap masalah. Lelaki itu mengangguk lantas bergumam tulus.
"Makasih ya."
Dan dengan begitu Brian langsung merobek surat ajuan cuti kuliah Saka tanpa tunggu lama.
— s k r i p s h i t —
Kinan memandang lelaki didepannya dengan kening berkerut, "Bukannya kita janjian jam 8? Ini kan masih jam 7--"
"Aku mau pamit." sela Wira, "Mungkin ini bakal jadi pertemuan kita yang terakhir. Maaf dan makasih."
Kinan mengerjapkan matanya. Ia tau ini pasti akan terjadi tapi tetap saja rasanya sakit.
"Apa kamu bisa baik-baik aja tanpa aku?"
Wira mengangguk yakin, "Harus bisa. Gimanapun, hubungan kita gak akan bisa dilanjutkan."
Kinan mencoba menahan air matanya karena itu akan jadi semakin sulit bagi Wira.
"Okay. Take care, Wir." gumam Kinan lalu tersenyum lemah.
"Dan aku mau ngasi tau juga biar kamu gak denger dari orang lain," Wira menghirup napasnya perlahan, "Aku punya tunangan."
Kali ini Kinan tidak bisa menahannya lagi. Gadis itu menunduk dan terisak pelan. Sementara Wira hanya mengusap bahu Kinan.
"Maaf.."
"G-gapapa." suara Kinan terdengar bergetar namun ia masih menunjukkan senyumannya, "I give you my best wishes. Be happy, Wira."
"Kamu juga ya. Aku berharap kamu bisa dapetin cowok yang lebih baik dari aku." tutup Wira.
Dan obrolan mereka selesai saat Wira membalikkan badannya meninggalkan halaman rumah Kinan.
Masih ada urusan lain yang harus diselesaikannya saat ini. Wira segera memutar mobilnya menuju jalan raya.
Mobil Wira sampai di pekarangan rumah Jihan. Namun ia tidak menemukan keberadaan gadis itu dari tadi. Belum sempat menekan bel Wira merasa ada sosok lain yang bergerak dibelakangnya.
"Sampai kapan lo mau menghindari gue?" celetuk Wira.
Tak lama tampak Jihan yang baru saja keluar dari belakang pohon jambu dengan menunduk. Tak berani menatap lawan bicaranya. Wira lalu menghampiri gadis itu.
"N-ngapain kesini?"
Suara Jihan terdengar sangat pelan. Wira tidak bisa menahan tawanya karena gemas.
"Emangnya gak boleh ngapelin tunangan sendiri?"
Jihan mengangkat kepalanya dan langsung bertatapan dengan manik Wira. Ia mengerjapkan mata spontan.
"Han, gue minta maaf. Mulai sekarang lo mau gak memulai kisah yang baru lagi sama gue?"
Dan seketika senyuman Wira merekah begitu Jihan menjawabnya dengan anggukan bahagia.
— s k r i p s h i t —
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] SKRIPSHIT
FanficKisah kelima mahasiswa tingkat akhir yang berjuang mendapatkan gelar sarjana di tengah konflik kehidupan dan percintaan. written on: Jan 3, 2020 - Mar 15, 2020. © Roxyrough