6. Tidak Ada Petunjuk

1.2K 153 14
                                    

“Sakura sedang pergi bersama Sasuke ke kota Anbu?” Ino mengulangi perkataan Rin. “Apa mereka akan melakukan sesuatu?”

Kedua pipi Rin tampak merona. “Mengapa kau memilih pertanyaan semacam itu? Seharusnya kau berkata “untuk apa mereka pergi ke sana”. Itu lebih baik.”

Ino mengerutkan dahi karena Rin seperti sedang tersipu malu. “Aku tidak melihat ada perbedaannya.”

“Baiklah. Mereka pergi memesan perabotan untuk paviliun baru yang pengerjaannya sudah hampir delapan puluh persen. Apa kau tidak berpapasan dengan kereta kuda Sasuke saat di jalan?”

“Tidak, Yang Mulia.” Ino terdiam sejenak. “Atau mungkin aku hanya tidak melihatnya. Tapi jika melihatnya pun aku tetap tidak akan mengetahui kalau Sakura ada di dalam kereta kuda itu. Bisa saja semua penutup jendela diturunkan sehingga siapa pun tidak akan bisa melihat ke dalamnya.”

Rin membuat suara seperti tercekik.

“Apa kau baik-baik saja, Yang Mulia? Wajahmu agak memerah.”

“I-ini... aku memakai semacam perona pipi yang dibuat dari kelopak bunga sakura oleh Izumi. Bagaimana menurutmu?”

Ino menggeser duduknya agak menjauh di sofa agar dapat memandangi Rin secara keseluruhan. Ia terpukau. “Sangat cantik, Yang Mulia. Cocok sekali untukmu. Sepertinya Izumi sangat berbakat. Aku tidak pernah menyangka kalau seseorang dapat membuat sebuah perona pipi. Hinata pasti akan sangat senang karena terkadang ia mengeluh tentang pipinya yang terlalu pucat.”

“Selain perona pipi, Izumi juga berniat untuk membuat pewangi tubuh yang beraroma manis seperti kue. Dia pintar membuat kue, alasan yang membuatnya ingin membuat minyak wangi dari kue.”

“Dia adalah wanita yang berbakat!” seru Ino.

Rin mengangguk setuju. Ia baru saja hendak mengajak Ino masuk untuk pergi ke ruang duduknya ketika sebuah kereta kuda muncul dan berhenti di depan jalur setapak menuju istana. Mereka berdua sama-sama menoleh ke arah seorang pria yang sedang turun dari kendaraan itu.

“Mengapa akhir-akhir ini para pria selalu bermunculan di istana?” gerutu Rin. “Yahiko hampir datang setiap hari, dan Toneri bahkan belum kembali ke rumahnya sejak entah kapan. Seharusnya pernikahan antara Sasuke dan Sakura lah yang dipercepat.”

Ino mengalihkan pandangannya dari sosok Sai yang sedang melangkah ke arah mereka. “Bagaimana kalau kitaㅡ"

“Yang Mulia.” Sai tiba di hadapan mereka dengan begitu cepat. Pria itu membungkuk memberi hormat pada Rin dan sepenuhnya mengabaikan Ino.

Rin tersenyum. “Ada urusan apa kau kemari, Sai? Jika kau mencari Sakura, sayang sekali kau tidak bisa menemuinya karena dia sedang pergi bersama Sasuke ke kota Anbu.”

“Bukan, tapi aku datang untuk berbicara dengan Sasuke.”

“Kalau begitu tetap sayang sekali.”

Ino melihat bahwa ini adalah saat baginya untuk berpamitan. “Yang Muliaㅡ”

“Oh tidak, aku lupa.” seru Rin tiba-tiba. “Aku harus pergi. Izumi pasti sudah menungguku.”

“Tapiㅡ” tapi Rin sudah terlanjur pergi. Ino menatap kepergian wanita itu dengan sedikit merana. Ia melirik sekilas ke arah Sai yang kembali menegakkan tubuh setelah tadi membungkuk saat kepergian Rin. Kepalanya langsung tertunduk setelah menyadari pria itu akan menatapnya. “Aku permisi.”

“Mengapa kau mengabaikan aku?”

Ino berhenti melangkah dan berbalik ke arah Sai. Apakah ia tidak salah dengar? Ia, mengabaikan pria itu? “Maaf, tuan, tapi bukankah kau yang melakukan hal itu kepadaku?”

R E D  E C L I P S ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang