10. 45 Kamar Alan.Alan rebahan di ranjang, menutup mata dengan lengannya. Setelah menghela napas, ia menoleh ke dinding sebelah kanan, tepat pada lemari berisi piala dari lomba lari sejak SD. Di bagian paling depan lemari kaca itu terpampang beberapa fotonya bersama anak klub lari. Alan pun kembali menghela napas kala mengingat kejadian beberapa bulan lalu.
Saat itu pagi hari di jadwal latihan klub lari, Alan baru saja mengganti seragam sekolah dengan kaos jersey kebanggaannya. Sudah banyak anak-anak yang berlatih di lapangan sejak tadi, sementara ia sendiri memilih datang terlambat.
"Alan!" panggil Tomi, salah satu teman di klub larinya. Rupanya ia telah berlari dua kali putaran untuk sesi latihan hari itu.
"Ke mana aja lo, kok baru datang?" tanyanya.
Alan tersenyum, ia meletakkan tas ranselnya di lantai, "Ada urusan, gimana latihannya?"
"Lo lihat sendiri. Anak-anak pada semangat banget. Oh, ya gimana latihan lo? Sebentar lagikan turnamen nasional bray, jangan malah makin malas. Entar gue tikung loh buat Nasional." Tomi menyenggol bahu Alan sambil tersenyum, usai menenggak minuman dari botolnya.
Alan tertawa pelan, geleng-geleng kepala melihat temannya itu. "Lo lihat aja nanti, siapa yang akan jadi perwakilan sekolah ke Nasional!" Alan berjalan ke depan, sengaja menyenggol bahu Tomi yang saat itu sedang minum.
"Anjir! Gue lagi minum, Nyet!"
Alan tertawa. "Lo santai aja di sana, Tom. Gue nggak bakal ngecewain sekolah!"
Senyum Tomi melebar, jelas di wajahnya yang menunjukkan kepuasan. "Iya, gue tahu!" teriaknya, harus memgakui kemampuan Alan yang memang tidak pernah mengecewakan sekolah dan klub lari mereka.
Bayangan itu, menjadi saksi bisu yang pernah diucapkan Alan satu bulan yang lalu, saat ia akan mendaftarkan diri ikut turnamen lari tingkat nasional. Tapi semua hanya kenangan. Impian yang selama ini ia banggakan akan pupus begitu saja karena ayahnya.
Alan memandang kembali foto lapangan yang selama ini dipakainya sebagai tempat latihan. Bukan hal mudah mengikuti porsi latihan pelatih, dan perjuangannya pun hampir pernah mencapai titik ingin menyerah, tapi akhirnya dia kembali bertahan demi kecintaannya dengan klub lari itu. Lalu sekarang, apa ia sanggup melepaskan semua ini? Jika mimpinya yang satu itu pun diambil, bisakah ia menemukan mimpi yang lain? Tapi jika ia bertahan, bagaimana dengan Reina? Ia tidak ingin terjadi sesuatu dengan adik sahabatnya itu. Cukup sahabatnya saja yang tak mampu ia selamatkan, jangan adiknya juga.
Ketika memikirkan dua pilihan itu, Alan tanpa sadar mengambil ponselnya dan melihat layar wallpaper hp nya adalah gambar Ana yang tertidur di bioskop saat itu. Dielusnya layar ponsel, bertanya lirih, "Gue harus gimana, Nona Pendek?"
***
Vano masuk ke kelas seperti biasa, lima menit sebelum bel berbunyi. Itu rekor terbaiknya selama di sekolah. Ketika kakinya menapaki lantai kelas, suasana XI IPA masih ramai dengan perbincangan beberapa anak yang saling bercanda. Berisik seperti biasa, tapi itu bukan urusan Vano. Ia memilih lanjut ke mejanya saja.
Mata Vano terfokus pada kursi kosong di depannya, tepat di meja Alan. Laki-laki itu belum juga muncul, apa Alan terlambat? Vano kembali melirik jam tangannya, tak seperti biasanya Alan datang terlambat, apa ia tak masuk sekolah? Apakah mungkin kepala sekolah yang melarangnya?
Tak menunggu lama. Suasana kelas menjadi hening, dan anak-anak kembali ke meja masing-masing saat Miss Selena, guru matematika masuk ke kelas.
"Pagi anak-anak!" seru Miss Selena menyapa setelah meletakkan buku di meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Clover [Book 01]
Teen FictionDi hari pertama sekolah, Ana harus berurusan dengan Alan, si anak kepsek yang mencoba kabur lewat pagar belakang. Pertemuan mereka membuka lagi tragedi yang pernah terjadi di sekolah itu. Ditambah hadirnya Reina, Alan terpaksa mengungkap kembali...