Seminggu kemudian.
"Aaa, satu suap lagi!" Vano dengan telaten menyuapi Reina makan bubur rumah sakit.
Gadis itu tampak sangat sehat dan memiliki nafsu makan yang besar. Terkadang sifatnya akan terlihat seperti anak kecil yang manja dan haus perhatian, lalu di lain waktu, dia akan tampak kosong seolah memikirkan banyak hal. Vano sedih melihat kondisi Reina, tapi di depan gadis itu, ia memasang wajah bahagia.
Bubur dalam mangkok itu sudah hampir habis dilahap oleh Reina, dan gadis itu tersenyum puas sambil menepuk-nepuk perutnya. "Makasih Devan, kamu baik banget. Sekarang aku kenyang."
Vano tersenyum. Di balik musibah yang dialami Reina, ia masih memanggil namanya dengan 'Devan' bukan Vano seperti teman-temannya. Yah, ini masih Reina yang sama dengan lesung pipi indahnya di sana. Masih Rein-nya Devan yang manis.
Setelah selesai menyuapi Reina, Vano menaruh mangkok di nakas, kemudian mengambil buah apel dan pisau. "Kamu mau makan buah?" tawarnya.
Reina mengangguk, "Tentu." Reina tampak begitu ceria.
"Aku kupasin ya?"
"Jangan, Devan, sini buahnya!" katanya, persis anak kecil yang keras kepala.
"Lho kenapa?" Belum sempat Vano mengupas apelnya, Reina sudah lebih dulu mengambilnya.
Krauk
Reina menggigit apel itu, wajahnya tampak puas meski air apel membasahi sampai dagunya. "Ini jauh lebih enak kalau dimakan langsung." Ia tertawa, sangat renyah, serenyah apel yang digigitnya. Ia seakan tanpa beban.
"Reina, itu kotor! Kami ini, ya!" Vano geram dan langsung mengambil apel itu, kemudian mengusap dagu Reina yang basah.
"Bukannya kamu sudah mencucinya?" Reina protes, mengambil alih tisu dari tangan Vano untuk mengelap sendiri dagunya.
"Tapi itu tadi jorok, Rein, banyak kumannya. Lebih baik aku motong apelnya dan nyuapin ke kamu."
Reina menggerutu. "Kamu menyebalkan!" Ia manyun, sambil bersedekap di brankarnya.
Vano mengusap-usap kepala Reina. "Jadilah penurut. Ini nggak akan lama. Oke?"
Reina mengangguk, tersenyum. Setelah sadar dari koma, ia menyukai perhatian dari Vano dan cara lelaki itu mengusap-usap kepalanya. Kalau bisa, ia ingin merasakan usapan di kepalanya itu selamanya.
Reina diam memerhatikan Vano yang fokus mengupas apel. Ia dengan detail melihat wajah tampan Vano yang cenderung tirus karena kurus. Untuk sesaat ia merasa agak sedih.
"Devan, kamu ini sebenarnya siapa?"
"Hemm?" Vano menghentikan sejenak mengupas apel untuk memerhatikan Reina yang binar di matanya haus rasa ingin tahu. Ia pun tersenyum. "Memangnya kenapa?"
"Kamu datang setiap hari ke sini. Bawain aku banyak makanan dan buah, juga bawain banyak foto-foto kita. Dari foto-foto itu, kelihatannya kita sangat dekat."
Kemarin Vano memang membawa foto-fotonya dan Reina di taman hiburan untuk memicu ingatan gadis itu. Sementara ibu Reina tidak berani menunjukkan banyak foto Reina kecil yang kebanyakan bersama Reihan, karena khawatir momen menyedihkan tentang Reihan akan membuat kepala Reina sakit. Dokter juga menyarankan untuk memulai ingatan dari kenangan yang menyenangkan. Maka kenangan saat bersama Vano lah yang kemudian mereka pilih.
Vano tersenyum. "Menurutmu, hubungan kita apa?"
Reina memgernyit sangat dalam. "Nggak mungkin pacar, kan?"
Vano menghentikan mengupas apelnya. "Aku memang pacarmu."
Mata Rein melotot mendengar ucapannya, "Huh, kamu serius?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Clover [Book 01]
JugendliteraturDi hari pertama sekolah, Ana harus berurusan dengan Alan, si anak kepsek yang mencoba kabur lewat pagar belakang. Pertemuan mereka membuka lagi tragedi yang pernah terjadi di sekolah itu. Ditambah hadirnya Reina, Alan terpaksa mengungkap kembali...