Extra Alan
Alan buru-buru turun dari apartemennya setelah meninggalkan si sepupu menyebalkan penyebab mereka terlambat ke kampus hari ini. Dia bergegas masuk ke mobil, dan baru akan menginjak pedal gas ketika sosok yang berada di pikirannya muncul di depan mobil dengan seringai tanpa rasa bersalah.
"Lan, aku numpang, dong. Kita, kan satu kampus," kata lelaki rambut merah yang netra cokelat terangnya berkilauan penuh harap.
Alan menghela napas. Jika bukan karena ibunya yang ingin dia membawa cowok Jepang yang sialnya adalah sepupunya itu, maka sudah sejak lama si kulit putih di depannya ini, Alan tenggelamkan di Sungai Ciliwung.
"Lain kali kamu ajak aku mabuk-mabukan lagi, pindah dari apartemenku!" keluh Alan, tapi dibukakannya juga pintu mobil di sebelah sopir.
"Hihi, oke. Alan yang terbaik." Cowok Jepang itu kemudian merangkul lengan Alan, lalu dengan manjanya meletakkan kepala di bahu Alan. "Daisuki..."
"Yoshida Natsu! Kamu menjijikkan! Jauh-jauh!" Alan langsung mendorong kepala cowok itu sampai membentur kaca mobil.
"Alan kejam." Natsu manyun, tapi kemudian tersenyum ketika melihat seorang gadis di pinggir jalan. "Lan, hentikan mobilnya!"
Alan berhenti mendadak, tidak jauh dari gadis cantik yang dilihat Natsu. "Ada apa?"
"Ada cewek cantik," jawab Natsu polos, hendak keluar mobil.
"Begitu kamu keluar, aku akan tancap gas."
Natsu langsung menutup kembali pintu mobil, meringkuk ke sudut sambil memegangi sabuk pengaman.
Alan puas melihat Natsu menurut.
Selang beberapa menit, Alan menghentikan kembali mobilnya. Dia menatap penjual sup jagung di kios pinggiran jalan.
"Kenapa? Pengen sup jagung?" tanya Natsu, tapi Alan diam saja.
Alan tiba-tiba ingat Ana yang hilang kabar setelah menolak ikut ke Jepang. Tiga tahun lalu, Ana beralasan ingin menamatkan studi di sekolah itu, tapi beberapa bulan kemudian, ketika Alan diminta ibunya mengambil kampus di Indonesia saja, dan dia ingin mengabari Ana, gadis itu menghilang. Keluarganya juga pindah, tanpa ada satu pun tetangga yang tahu alamat baru mereka. Nomor gadis itu juga sudah tidak aktif lagi. Entah apa yang terjadi pada Ana selama Alan di Jepang.
Harapan Alan satu-satunya hanya Vano dan Reina, tapi keduanya juga tidak tahu apa-apa karena mereka hanya mendengar Ana pindah sekolah di pertengahan semester sebelum kenaikan kelas.
"Lan?" Natsu memanggil Alan, menyadarkan lelaki yang kini berusia 20 tahun itu dari lamunannya.
"Aku mau beli sarapan sebentar." Alan lantas turun dari mobil dan hendak menyeberang ke kios penjual sup jagung.
Baru beberapa langkah diambil Alan, terjadi kecelakaan di seberang sana. Sebuah sepeda motor menyerempet mobil. Sepeda motor itu bermaksud mendahului sedan, tapi karena di arah berlawanan ada mobil lain yang lalu lalang, sepeda motor jadi terlalu dekat ke sedan, dan pengemudi jatuh dari sepeda motornya.
Seorang lelaki tua keluar dari sedan, takut-takut ketika pengendara sepeda motor bangkit dan menendang mobilnya.
"Hei, Pak Tua! Nggak bisa nyetir mobil, ya?" keluh si pengendara sepeda motor.
Pak tua itu ketakutan, berulang kali minta maaf.
Alan kesal. Jelas-jelas itu salah pengendara sepeda motor, tapi sayangnya warga sekitar tidak berani membela Pak Tua karena tampang menyeramkan si pengendara motor. Sebagai seorang mahasiswa jurusan hukum di tahun ketiganya, Alan merasa punya kewajiban untuk menyelesaikan masalah itu. Apalagi dia mahasiwa UI, tanggung jawabnya lebih besar lagi. Lagipula, Alan memang harus menegakkan keadilan, agar suatu hari nanti bisa menjadi hakim yang benar.
Alan menyeberang jalan, bermaksud menghentikan pak tua yang akan menyerahkan beberapa lembar uang untuk ganti rugi si pengendra motor. Tepat sebelum dia membuka suara, ketukan sepatu hak tinggi di aspal menyita perhatiannya.
Seorang gadis rambut sebahu berkacamata hitam turun dari ferari merah, berjalan anggun ke tempat kejadian. Almamater kuning berlogo pohon dengan cabang-cabangnya dan makara itu jelas sangat dihapal Alan; almamater mahasiswa FHUI (Fakultas Hukum Universitas Indonesia). Ketika almamter tersebut dikenakan si gadis cantik, aura terhormat dan disegani menguar, membuat minder orang-orang yang memandangnya. Gadis itu melewati Alan, menyebarkan wangi lavender dari tubuhnya.
"Maaf, bapak berkumis, dalam hal ini, Andalah yang bersalah," ujar gadis itu ke pengendara sepeda motor.
"Hei, gadis kecil, tidak usah ikut campur urusan orang lain."
"Hah? Gadis kecil?" Gadis itu melepas kacamatanya, lalu memeriksa sepatu hak tingginya. "Dari mananya aku gadis kecil? Aku wanita dewasa! Aku sudah pakai sepatu hak tinggi biar nggak kelihatan pendek! Bapak berkumis, silakan periksa mata Anda di klinik!"
Alan terkikik mendengar gerutuan gadis itu. Siapa lagi gadis yang akan selalu mempermasalahkan tinggi badannya jika bukan dia, yang sedang dirindukan Alan saat ini. Agatha Neisha Arani a.k.a Ana.
Sebelum bapak berkumis kembali membantah, Ana mengangkat tangannya. "Dengarkan ini. Anda melanggar beberapa peraturan berkendara dan lalu lintas. Pertama, pasal 291 ayat 1. Setiap pengendara atau penumpang sepeda motor yang tidak mengenakan helm standar nasional dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu."
Pengendara sepeda motor mengernyitkan kening, sadar dia tidak memakai helm.
"Kedua, Pasal 287 ayat 5. Setiap pengendara yang melanggar aturan batas kecepatan paling tinggi atau paling rendah dipidana dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu.
"Ketiga, Pasal 287 ayat 1. Setiap pengendara yang melanggar rambu lalu lintas dipidana dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu. Anda melanggarnya, terlihat dari cara Anda berusaha menyalip mobil. Keempat, Pasal--"
"Cukup!" Pengendara sepeda motor tampak ketakutan. "Saya--"
Ana menyeringai. "Anda tidak bisa lari dari tanggung jawab. Mobil saya dilengkapi black box. Anda telah terekam. Jika kita melihat rekaman di sana, polisi akan tahu siapa yang bersalah. Coba hitung, dari yang saya sebutkan sebelumnya saja, sudah memakan denda lebih dari satu juta, belum lagi pasal-pasal yang tidak saya tahu."
"A-apa yang kamu mau?"
Ana melirik pak tua. "Tanyakan kepada bapak beruban yang Anda rugikan ini. Saya akan mengikuti keinginannya."
Pengendara sepeda motor segera berlutut di depan si pak tua. "Saya mohon jangan laporkan saya ke polisi. Saya terburu-buru karena anak saya masuk rumah sakit, Pak. Saya sedang emosi karena hutang menumpuk. Saya minta maaf, Pak. Saya benar-benar minta maaf."
Pak tua tampak kagum dengan Ana, kemudian memberdirikan pengendara. "Kali ini saya maafkan. Lain kali, berhati-hatilah di jalan raya. Kecelakaan bisa terjadi kapan saja ketika peraturan lalu lintas dilanggar."
Pengendara tampak lega, tapi juga malu.
Beberapa warga sekitar merekam kejadian itu dengan ponsel mereka, dan menyebarluaskannya. Tanpa Ana tahu, dia sudah menjadi trending topic di media sosial dan grup kampusnya. Judul-judul besar seperti 'Dewi Hukum beraksi di jalan' bahkan naik dengan cepat, menaiki posisi puncak pencarian paling banyak.
"Terima kasih, Nak," kata pak tua kepada Ana setelah pengendara sepeda motor yang malu itu buru-buru pergi.
Ana mengangguk, tersenyum sopan. Ketika balik badan, wajahnya pias. Dia berhadapan dengan Alan.
"Alan...?"
"Hai, Nona Pendek."
Sebelum mereka berbincang lebih jauh, Natsu berdiri di antara keduanya, mengulurkan tangan ke Ana dengan senyuman manis. "Halo, aku Yoshida Natsu. Yoroshiku, calon pacar!"
To be Continued in Summer Heart (Secret Clover S2)
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Clover [Book 01]
Teen FictionDi hari pertama sekolah, Ana harus berurusan dengan Alan, si anak kepsek yang mencoba kabur lewat pagar belakang. Pertemuan mereka membuka lagi tragedi yang pernah terjadi di sekolah itu. Ditambah hadirnya Reina, Alan terpaksa mengungkap kembali...