Chapter 23 : Penyelidikan 01

86 13 0
                                    

Reading

Ana berkutat dengan kertas dan pulpen di lantai. Posisinya yang semula telungkup, menjadi rebahan sambil menatap kertas pemberian Reina hasil penyelidikan Reina selama ini. tidak banyak membantu karena semua informasi yang ditulis olehnya sudah Ana dapatkan dari sumber media.

Ana kemudian beralih pada kertas lain yang berisi coretan diary Reina yang mengulas tentang kebiasaan, sifat, dan kesukaan Reihan. Ana sedikit tertawa dengan apa yang ditulis reina tentang kakaknya itu, mulai dari kejadian berantem dengan Reihan, bahkan ada satu cerita saat Reina menangis waktu kecil karena berantem dengan kakaknya, lalu Reihan memberinya boneka untuknya.

8 September 2017.
Hari ini sikap Kak Reihan sedikit aneh. Dia jadi suka marah-marah. saat aku mengambil bukunya, Kak Reihan marah. aku nggak tahu kenapa Kak Reihan jadi kaya gini. Nggak biasanya Kak Reihan marah-marah.

9 September 2017
Hari ini, kak Reihan belum pulang. Aku sudah menunggu sampai larut malam. Aku sangat khawatir.

20 September 2017.
Ini untuk pertama kalinya aku menulis setelah Kak Reihan pergi. Kak Reihan, aku kangen.

Ana terus membolak-balikkan halaman demi halaman. Kosong. Ini diary yang ditulis Reina terakhir tentang kakaknya.

“Ini Aneh !” Ana mencoba mencerna setiap kalimat dari diary yang ditulis Reina.

“Pertama, Reihan marah. lalu besoknya dia nggak pulang dan tanggal setelahnya 14 sampai 19 kosong. Reina berhenti menulis. Tapi di tanggal 20 Reina menulis tentang Reihan yang sudah meninggal.”

“Malam itu Reihan nelpon gue. Dia minta gue datang di café clover sekat sekolah.”

Polisi bilang, Reihan bunuh diri dan semua anak di sekolah ini juga tahu kejadian itu. Dia ditemukan bunuh di gedung belakang sekolah.”

Dia dibunuh, pelakunya ada di sekolah ini.”

Ana mencoba menggabungkan satu persatu informasi yang ia ketahui.

"Alan bilang, Reihan menghubunginya untuk bertemu di kafe Clover sekitar pukul delapan. Tapi sampai pukul sepuluh dia nggak datang. Saat Alan ke sekolah, teman-temannya bilang Reihan izin keluar acara pensi sekitar pukul delapan. Lalu, ke mana Reihan? Kenapa keesokannya dia ditemukan tewas di belakang sekolah?" Ana menatap palfon, pandangannya seolah menerawang jauh.

"Arghh. Ke mana dia selama dua jam itu?" Gadis berambut pendek itu menutup wajahnya dengan kertas dan kembali menggumam.

"Jarak kafe dan sekolah bisa ditempuh dalam satu jam kalau berjalan kaki, dan lima belas menit kalau berkendara. Reihan tidak bawa mobil hari itu karena Reina memakainya  dalam acara pembukaan butik milik ibunya. Ada kemungkinan kalau selama dua jam itu dia masih di sekolah. Kalaupun ke luar sekolah, Reihan nggak mungkin berkendara selain dengan angkutan umum. nggak mungkin juga dia berjalan, kan? Jadi, akan ada kemungkinan kalau dia—ah, benar. Aku harus tanyakan pada satpam sekolah besok."

Ana merapikan semua kertas dalam satu tumpukan, kertas terakhir yang dipungutnya berisi semua teman dekat Reihan. Di sana tertulis: Alan dan Reihan bertengkar sebelum malam itu.

Ana menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak, Ana. Alan itu orang baik."

***

Suasana pagi itu masih cerah seperti biasa. Ana datang terlalu pagi hari ini. Ruang kelas bahkan baru mau dibuka oleh penjaga sekolah. Pandangan Ana berhenti pada seorang pria yang baru turun dari mobil. Sang kepala sekolah, disusul putra satu-satunya, Alan.

Ana berjalan pelan-pelan di koridor kelas dua belas, niatnya ingin menunggu Alan yang masih di parkiran sekolah. Dia mendecak kesal karena anak kepala sekolah itu masih membicarakan entah apa dengan ayahnya.

"Hoi, Nona Pendek!" teriakan dari Alan mengagetkan Ana yang hendak masuk ke dalam kelas. Laki-laki jangkung itu langsung berlari menghampirinya.

“Tumben berangkat pagi, pasti belum ngerjain PR ka?’ ledek Alan
Ana mendengus.

“Sembarangan, nggak ada di kamus seorang Agatha kalau dia belum ngerjain PR.” Ana kembali akan berjalan. Namun tiba-tiba dari belakang Alan menarik tudung jaket biru milik Ana, otomatis tubuh gadis itu tertarik ke belakang.

“Alan!”

“Gue mau bicara sama lo, Nona pendek!”

Ana berdecak, “Terus saja memanggilku Nona pendek, Nona pendek. Aku muak!” kesalnya mengabaikan Alan.

Dengan wajah cemberut. Ia pikir Alan tidak romantis sama sekali, dan selalu menganggapnya anak kecil dan anak kecil lagi.

"Aku mau ke kelas, Alan. Lagi buru-buru!”

Alan masih menahan tudung jaket Ana. "Buru-buru, kok jalan kayak keong? Ikut gue yuk!"

“Ih, Alan apa-apaan sih kamu. Jangan narik-narik jaket aku dong!” Ana memutar tubuhnya ke depan tepat di hadapan Alan. “Jaket aku bisa rusak  tahu!” gerutunya

Alan telah melepas cengkraman tangan dari jaket Ana. Kini ana menatap Alan dengan wajah kesalnya. “Sekarang apa?”

keduanya lantas duduk di bangku panjangnya. Gadis itu menghirup udara dari pepohonan di sekitarnya, menatap jauh lapangan luas berwarna hijau di depan mata. Sunyi. Hanya beberapa kicau burung yang sekadar lewat di langit Angkasa.

"Lo udah sarapan?"

Ana menoleh, tidak percaya Alan akan menanyakan itu. "U-udah. Kenapa?"

"Biar lo bisa mencerna informasi yang gue kasih."

Ana kembali cemberut, membuat Alan tersenyum samar. Gadis di sebelahnya terlalu mudah dibaca.

"Kamu mau kasih info apa?" Ana melepas ranselnya, mengeluarkan buku catatan kecil dan pulpen.

Alan terkikik melihatnya. "Lo udah kayak jurnalis."

Ana manyun. "Cepatlah, katakan saja."

Alan berdeham. "Gue udah baca catatan dari Reina tadi malam. Dan setelah gue ingat ulang tentang hari itu, gue yakin Rei nggak ke luar sekolah."

Ana hampir lupa kalau Alan tidak bodoh. "Aku juga berpikir begitu, tapi kita harus memastikan satu hal lagi."

Alan mengernyit saat menoleh. "Apa?"

"Kesaksian satpam sekolah. Kita harus tanya dia, apakah malam itu Reihan keluar sekolah atau enggak."

Alan meragukan saran Ana. "Ada banyak siswa yang akan keluar masuk sekolah hari itu. Nggak mungkin dia ingat semuanya."

"Kalau belum mencoba, kita nggak akan tahu."

"Lo terlalu naif. Nggak semuanya sejalan dengan yang lo mau."

"Kok jadi nyolot? Aku, kan, cuma kasih saran. Daripada kamu asal bicara Rei  masih di sekolah tapi nggak ada bukti."

"Gue baru mau kasih usul, Pendek. Lo udah motong penjelasan gue aja."

"Halah! Kamu cuma banyak alasan aja. Kamu—"

"Astaga kalian berdua!" Vano tiba-tiba muncul di depan mereka dengan tawa membahana. "Udah kayak Tom and Jerry. Jadi, apa yang kalian—"

"Diam!"

"Diam!"

Kompak Alan dan Ana.

Vano bungkam seketika.

Ana menghela napas. "Memangnya kamu mau kasih saran apa?"

"Kita tanya semua anak tentang hari itu."

Ana tertawa. "Kamu lebih gila. Kamu pikir, berapa anak yang ikutan pensi? Berapa yang akan ingat kejadian setahun lalu? Terlebih sekolah ini sangat luas."

"Lah, kalau lo pikirnya gitu, si satpam juga emangnya ingat kejadian setahun lalu?"

"Ya, aku nggak yakin. Tapi kalau ada acara khusus kayak pensi pasti dia masih ingat. Kita nggak punya waktu untuk nanyaian semua siswa.."

"Lagipula itu berisiko," Reina muncul juga dan berdiri di sebelah Vano.

Tbc

Secret Clover [Book 01]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang