Chapter 24 : Penyelidikan 02

74 10 0
                                    

"Lagipula itu berisiko," Reina muncul juga dan berdiri di sebelah Vano.

Vano tersenyum kecil saat melihat kalung pemberiannya dikenakan Reina di leher. Manis. Sangat kontras dengan leher putih Reina.

"Nah, Reina aja berpikir gitu," ujar Ana, dia menyeringai saat melihat Alan seakan mati kutu dengan pernyataan Reina.

"Apa maksud lo itu berisiko?"

Ana menggeser duduknya agar Reina bisa duduk di sebelahnya.

"Aku tidak mau mendapat masalah kalau kita terang-terangan menyelidiki ini."

Ana mengangguk. "Rein benar. Kenyataan kalau kasus Reihan dimanipulasi menjadi bunuh diri saja sudah cukup meyakinkan kalau memang ada yang ditutupi, tentu akan sangat bodoh kalau kita malah tanya banyak orang. Itu sama saja kita bunuh diri."

"Memangnya kalau tanya satpam nggak sama aja menguak kalau kita menyelidiki ini?" Alan masih belum mau kalah dari Ana.

Vano sedari tadi cuek tak bersuara saat memandang kedua temannya sedang bercekcok. Dia dengan santai menjadikan tasnya sebagai alas duduk dan bermain game. Reina melirik ke arah cowok itu sekilas sambil tersenyum simpul melihat kelakuannya kali ini.

"Sudah-sudah, kenapa kalian jadi berantem sih!" Reina menengahi keduanya. "Masalah ini nggak akan selesai kalau kita nggak bisa bekerjasama."

Baik alan maupun Ana masih saling buang muka.

"Informasi yang aku dengar kalau satpam sekolah yang dulu sudah berhenti dan diganti orang lain, seorang guru juga mengalami kecelakaan pada hari yang sama." Pernyataan Reina membuat Alan dan Ana menoleh. Begitu juga dengan Vano yang langsung melempar mata ke arahnya.

Ana maju dua langkah mendekati Reina dengan tatapan serius. "Berhenti? Kok kamu nggak ngasih tahu informasi sepenting itu ke kita sih, Rein?" Ana protes, tidak menyangka informasi sepenting itu akan dirahasiakan Reina darinya.

Reina merapikan rambutnya, terlihat menunduk. "Aku juga sempat berpikiran seperti Alan sebelum Mama bilang sekolah kita merahasiakan sesuatu. Dan aku harus berhenti mengusut kasus Kak Reihan."

Ana mengernyit saat Alan bersimpati melihat Reina. Ia kembali membuang muka, melihat Vano yang ternyata juga memperhatikan Reina. Gadis rambut pendek itu cemberut. Kenapa Reina sangat mudah mendapat perhatian dua cowok itu? Apa dia harus pura-pura malu juga seperti Reina? Tidak, tidak. Itu bukan dirinya.

"Jadi kamu mau menyerah?" Kini Vano yang bertanya.

Reina mendongak, dia menggeleng. "Enggak. Enggak akan pernah. Aku harus menemukan pembunuh Kak Reihan."

Vano tersenyum. "Kamu melakukan hal yang benar, Rein."

Alan berdeham, membuat dua insan yang bertatapan saling mengalihkan pandangan. "Jadi gimana sekarang? Kita cari si satpam sekolah dan guru yang meninggal itu?"

"Biar nggak memakan waktu, kita bagi dua saja pencariannya. Tanya si satpam sekolah, dan lainnya mencari informasi tentang guru itu. Bagaimana?"

Semua mengangguk setuju dengan saran Ana.

"Aku dan Reina akan mencari tahu tentang si guru, kalian bisa tanya satpam," usul Ana.

Vano berdiri, tampak tak setuju. "tung-tunggu! Gue berdua doang sama Alan?"

"Ya, iyalah, masa bertiga?"

"Yang ada, kita bisa ribut!" protes Vano.

"Kalian, kan cowok, sekali saja hilangkan ego masing-masing. Bukankah dulu kalian bersahabat?" tanya Ana.

Alan dan Vano saling berpandangan diam.

Ana menahan tawa melihatnya, dia berdiri lalu berkacak pinggang di depan Vano. "Kenapa? Kamu mau sama Rein saja, kan?"

"Diem lo!" Vano meletakkan tangannya di atas kepala Ana lalu seperti mendorong-dorong pelan untuk membuat gadis itu pusing. "Anak kecil sok tahu."

Ana menepis tangan Vano dan menendang kakinya. "Aku bukan anak kecil. Kalau aku biarkan kalian berduaan, bukan menyelidiki malah pacaran. Kita harus fokus!"

Vano masih mengaduh kesakita memegang kaki. Alan dan Reina tampak acuh, mereka membahas barang-barang yang ditemukan dekat mayat Reihan hari itu.

"Tapi kalian bisa dalam bahaya, kan?" Vano menantang Ana lagi. "Jadi, biar gue yang jagain Reina."

Ana mulai terhasut omongan Vano. Cowok itu ada benarnya, terlebih Reina sendiri yang bilang kalau pihak sekolah sengaja menyamarkan kasus Reihan.

Vano merangkul Ana, mereka sedikit menjauh dari Alan dan Reina. Keduanya yang fokus membahas Reihan menoleh bersamaan melihat kelakuan Vano.

"Gue tahu lo pasti juga pengen dekat-dekat Alan, kan? Kalau gue sama Reina, lo juga bisa lebih lama bareng Alan. Ayolah, Na, kita win-win," bisik Vano.

"Kamu jangan salah fokus, deh, Van. Tujuan kita itu buat menyelidiki Reihan."

Vano mendecak. "Sekali nyelam, bisa minum air, Na. Jadi, gimana? Setuju, kan?"

Ana mengangguk. "Terserahlah."

"Kayaknya gue mau ke kelas, Rein!" teriak Alan, sengaja, biar dua orang yang bisik-bisik itu dengar.

"Ah, aku juga. Ada tugas yang belum selesai," balas Reina.

Vano tersenyum lebar melihat wajah cemburu Reina. Gadis yang biasanya diam kini bersuara.

"Dengar dulu keputusannya!" teriak Ana, berdiri mengahalangi Alan yang hendak pergi.

"Masih butuh gue? Bukannya udah diputuskan berdua sama Vano?"

Ana cemberut, terlihat serba salah. "Yah, pokoknya dengar saja. Vano dan Reina akan menanyai satpam, kita berdua mencari tahu guru yang meninggal itu. Kamu setuju?"

Alan menahan senyum. Moodnya benar-benar berubah-ubah setiap berhubungan dengan gadis pendek di depannya. "Kenapa kita tidak yang menanyai satpam?"

"Kasihan Reina kalau mau membuat asumsi, tahu sendiri kan, Vano malas mikir." Ana menjulurkan lidah pada Vano yang tellihat kesal.

"Gue cuma berharap lo berdua nggak adu mulut sampai lupa sama penyelidikan. Tau sendiri, kan, kalau kalian udah berargumen, kayak perang!" balas Vano, tak mau kalah.

"Sudahlah!" Alan bicara lebih dulu sebelum Ana membuka mulut. "Lebih baik kita ke perpustakaan untuk mencari data guru itu."

Ana mendengkus pada Vano. "Benar. Tidak ada gunanya berhadapan dengan otak udang yang gila balapan!" Ana berlari lebih dulu, seolah tahu Vano akan menjitaknya.

🍀🍀🍀

TBC
Thank you for reading...:)

Secret Clover [Book 01]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang