Sore hari, Halte bus
Alan datang tergopoh dengan ranselnya yang besar. Ana yang duduk menanti sampai terkejut melihat cowok itu seolah akan kemping.
"Kamu bawa apa aja, Lan?" Ana memberi sebotol air.
Alan menenggak separuh isi botol pemberian Ana. "Papa lebay banget, suruh gue bawa semua ini. Katanya jarang-jarang lihat gue mau gabung sama anak lain. Padahal gue cuma bilang nginep semalam di rumah Vano."
Ana tersenyum. "Kamu pakai saran itu juga ternyata."
"Ehh?" Alan mengalihkan pandangan, menggaruk kepala belakangnya. "Ah, iya. Gue nggak ada pilihan lain, kan!?" Dia duduk menunggu di sebelah Ana. "Kita lagi nunggu apa?" tanyanya.
"Bus. Aku nggak bilang mau ke desa. Jadi, biar nggak ada yang curiga, aku nggak pakai jasa sopir." Ana berdiri ketika bus besar melintas. "Ayo!"
Alan ragu saat tangan Ana menariknya, "Gue nggak bisa naik bus, Na!"
Ana menoleh. "Jangan bercanda, deh!"
Wajah Alan mulai pucat. "Serius! Gue pernah sekali naik, dan kondisi gue saat turun beneran parah banget."
"Cowok atletik kaya kamu masa nggak bisa naik bus sih, malu-maluin," cercah Ana.
"Gue lagi serius, kalau lo bercandain gitu, mending gue balik deh!" Alan geram dan berbalik. Namun tangan Ana mencegahnya,
"Mau ke mana?"
"Balik!"
Ana mendengus, "Idih ngambekan. Udah, nggak usah takut. Aku akan jagain kamu, tenang aja!" Ana tersenyum.
Alan pasrah, entah apa yang terjadi padanya nanti. Ana terlalu nekat membawanya naik bus.
***
Selama perjalanan, tak terhitung banyaknya kantong plastik yang dipakai untuk menampung muntahnya Alan. Ana yang duduk di sebelahnya dibuat repot.
Ana tak habis pikir, seorang cowok seperti Alan mengalami mabuk darat. Kali ini, lupakan Alan yang terlihat cool saat di sekolah. Dia lebih seperti anak manja yang berada di bawah rangkulan mamanya.
Ana beberapa kali menggelengkan kepalanya, "Alan, kamu coba tidur aja, deh!" pinta Ana membantu Alan untuk bersandar di kursinya, sementara Ana yang telah sedia membawa kotak P3K segera mengeluarkan minyak untuk dioleskan di kedua pelipis Alan.
Ini yang paling dibenci Alan saat naik bus, udara yang pengap dan sopir yang ugal-ugalan. Apalagi saat sopir bus menginjak rem mendadak. Tubuh Alan yang lemas langsung terjungkal ke depan dan membuatnya kembali muntah. Beruntung Ana bukan orang yang mudah jijik saat melihat muntahan Alan. Gadis itu sangat perhatian kepadanya. Bahkan beberapa kali mengolesi minyak ke pelipis dan tengkuk Alan.
Alan mencoba memejamkan mata, keningnya berkerut, tangan memegang perut yang kesakitan. Tubuhnya benar-benar lemah sekarang.
Tanpa sadar, setelah beberapa menit bertarung dengan ketidaknyaman di perut, kepala Alan terjatuh tepat di pundak Ana. Gadis itu terkesiap, tapi memilih untuk tak bergerak dan membiarkan si anak kepala sekolah menikmati tidurnya.
Sementara itu, di tempat lain.
"Kenapa rumahnya kayak kosong, ya, Rein?" tanya Vano ketika menginjak halaman rumah dengan banyak daun berguguran sepanjang jalan setapak.
Reina mengamati sekitar. Hanya rumah ini yang jaraknya sedikit jauh dari tetangga lain. Ukurannya yang tidak terlalu luas seolah mengindikasikan pemiliknya yang bukan golongan menengah ke atas. Gadis rambut panjang yang rutin mengenakan syal merah muda itu melangkah lagi, menuju pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Clover [Book 01]
Ficção AdolescenteDi hari pertama sekolah, Ana harus berurusan dengan Alan, si anak kepsek yang mencoba kabur lewat pagar belakang. Pertemuan mereka membuka lagi tragedi yang pernah terjadi di sekolah itu. Ditambah hadirnya Reina, Alan terpaksa mengungkap kembali...