Chapter 6 - Disfamiliation

1.1K 103 9
                                    

Pagi akan selalu jadi hal yang menakutkan untuk kembali dijelang, terlebih jika aku harus melaluinya di rumah dengan ibu. Namun, rasa bosannya pun akan tetap sama bila aku harus menghabiskan waktu di rumah orang lain, tanpa ada kegiatan yang bisa dilakukan. Itu sebabnya siang ini aku memutuskan pulang dari Kinar.

Semula Kinar memang sudah mengajakku untuk menghabiskan waktu di luar karena kebetulan kami tidak ada kelas hari ini. Tapi entah mengapa rasanya aku terlalu malas untuk berbasa-basi dan bersosialisasi. Aku jauh lebih memilih untuk kembali ke rumah, menghindar dari keramaian, bahkan jika perlu aku ingin mengurung diri di kamar saja tanpa seorang pun mengganggu.

Baru saja aku menutup pintu depan dan hendak menuju kamar ketika ibu keluar dari kamarnya dan menyapaku dengan sederet pertanyaan yang berulang setiap hari. "Kamu dari mana aja, Layung? Kenapa telpon Mama nggak diangkat?"

"Dari rumah Kinar, Ma. Kan, kemarin Layung udah bilang."

"Emangnya nggak bisa angkat telepon? Susah banget emang ngabarin orangtua? Minimal kasih tau kamu udah sampe emang apa susahnya, sih?"

Aku menghela napas lelah, menatap ibu dengan malas sembari mengeluarkan ponselku dari saku celana. "Ma, Layung ke kamar dulu ya. Ada tugas yang harus Layung kirim ke Kinar," jawabku lalu lekas berlari ke kamar mengindahkan pertanyaannya tadi.

Kututup pintu kamar dengan pelan lalu menyandarkan kepala di baliknya. Aku berusaha mencari tenang di antara amarah yang selalu saja membuncah ketika menginjakkan kaki di rumah ini. Entah apa yang membuatku tak pernah bisa mengontrol emosi ketika bertatapan dengan ibu. Seakan semua kebencian menumpuk karenanya. Padahal aku pun tak yakin dengan alasan di balik semua perasaanku itu.

Namun, jika saja bisa berteriak, ingin rasanya kutanyakan pada dunia, adakah orang lain di luar sana yang pernah mengalami rasa jenuh seperti yang kualami saat ini? Terus-menerus diberikan pertanyaan yang intinya itu-itu saja. Pertanyaan yang tidak pernah jauh dari rasa curiga yang kerap menyudutkan.

Kadang, aku sering bertanya-tanya apakah ibu tak pernah bosan mengajukan pertanyaan serupa? Apakah ia tidak punya ide untuk menanyakan hal lain padaku? Semisal bertanya tentang bagaimana hariku telah berlalu, senangkah, sulitkah, bahagiakah, atau entah apa pun itu pertanyaan yang setidaknya memang bisa membuat kami duduk damai di satu tempat.

Tapi sayangnya, pertanyaan-pertanyaanku itu hanya akan selalu berakhir tanpa jawaban. Bukan karena aku tak berani menanyakannya pada ibu, tetapi karena aku takut dengan responsnya. Lucu ya, bagaimana manusia sekarang jauh lebih takut pada reaksi seseorang daripada takut akan kesalahan-kesalahannya yang disengaja.

***


Mungkin aku masih akan terbuai dalam tidur bila ibu tidak mengetuk pintuku berkali-kali, menyuruhku untuk makan malam bersamanya. Sebetulnya aku malas untuk makan malam, tapi aku jauh lebih malas jika harus mendengar ibu yang tidak berhenti memanggilku sejak tadi. Setidaknya, malam ini aku tak ingin kembali menangis hanya karena bertengkar dengannya.

Sempat aku tersenyum kecil ketika mendapati piring di atas meja berisi makanan-makanan yang kusukai. Mungkin malam ini ibu sengaja memasak untuk mengurangi intensitas ketegangan di antara kami, pikirku demikian. Langkahku yang semula berat berubah menjadi sedikit lebih ringan karenanya.

Lekas kuambil air mineral dari dalam kulkas dan menyantap makanan yang sudah tersedia. Namun ketika aku baru mengambil sendok dan garpu, ibu sudah membuka meja makan ini dengan pertanyaan yang malas untuk kudengar lagi. "Kemarin itu kamu beneran nginep di rumah Kinar?"

Aku menaruh ayam balado ke piring nasiku lalu menatap ibu dengan lelah. "Kalau Mama nggak percaya sama Layung, Mama mau percaya sama siapa lagi?"

"Kan Mama cuma nanya, bisa nggak sih kamu tuh jawabnya nggak usah narik urat. "

Aku hanya meliriknya sekilas tanpa menanggapi apa-apa untuk menghindari percakapan dengan beliau, namun sepertinya ibu justru mengira aku menantinya bertanya karena kini ia kembali melanjutkan tanyanya. "Terus, kalo kamu di rumah Kinar gitu, kalian ngapain aja, sih?"

Aku yang semula ingin tetap memilih diam, sontak mengernyitkan kening menatapnya. "Ya nugaslah, Ma. Mau ngapain lagi sih emangnya? Toh di rumah Kinar kan ada orangtuanya juga."

Ibu hanya mengangguk mendengarnya, membuatku benar-benar tak habis pikir dengan dirinya. Semakin ke sini, sepertinya pertanyaan ibu semakin tak bisa diterima oleh akalku. Enggan untuk bertengkar, aku berusaha mengabaikannya dengan menyuap nasi ke mulut.

Namun baru beberapa kali kunyahan, ibu terlihat akan kembali membuka suara Buru-buru aku mengalihkan pertanyaannya dengan hal lain yang selama ini ingin sekali kutanyakan. "Ini makanannya beli jadi lagi, Ma?"

Ibu menutup mulutnya, menatap makanan yang ada di atas meja sebentar lalu menganggukkan kepala menjawab pertanyaanku. Ada senyum kecut yang kemudian tertoreh di bibirku yang semula ingin berterima kasih bila ini adalah masakannya. "Mama kapan, sih, mau masak lagi? Sibuk banget, ya, sama kegiatan Mama di sekolah?" tanyaku setengah menyindir.

"Layung!"

Aku menaikkan sebelah alis melihat reaksinya. "Layung cuma nanya, Ma. Nggak ada maksud apa-apa," ucapku seperti jawabannya padaku tadi dan kembali melanjutkan makan.

"Percuma Mama masak kalau makanannya belum tentu ada yang makan."

Tanpa kusangka ibu lagi-lagi berhasil membuatku merasa bersalah dan terpojokkan dengan jawabannya. Selama ini memang aku jarang berada di rumah namun, tidakkah ia sadar jika rasa malasku itu hadir sebab kosong yang selalu hinggap jika aku tetap berada di rumah ini? Tidakkah dia mengerti bahwa aku sebenarnya hanya ingin punya teman untuk berbagi cerita? Dan sayangnya, hal tersebut tak pernah bisa kudapatkan di rumah, karena ya rumah justru telah berubah menjadi musuh dan tempat semua amarah serta pertengkaran lahir.

Lama kami saling terdiam di antara keheningan, hingga ibu berdeham setelah meneguk gelas minumnya. "Layung, ada yang Mama mau bicarain sama kamu." Ia meletakkan sendoknya dan menatapku teramat serius. "Tentang—"

KEKANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang