Chapter 21 - Pensilent

664 70 13
                                    

Aku terbangun dengan debar dada yang begitu kencang sebab mimpi yang cukup mengerikan datang. Kulihat jam di dinding yang baru menunjukkan pukul delapan pagi. Kepalaku masih terasa berat, sebab hanya tidur selama dua jam seusai adzan subuh tadi. Beberapa kali aku mengusap wajah untuk coba menenangkan diri. Namun sayangnya, kelebat mimpi itu masih berulang-ulang setiap kali aku memejamkan mata.

Lekas kuperiksa ponsel untuk mencari pesan yang biasa singgah, tapi tak kudapati satu pun pesan di sana. Cemas mengusik perlahan, namun segera teralih dengan suara teriakan yang sayup terdengar semakin kencang.

"Terserahlah. Pokoknya Widya tetap akan pergi, diizinin ataupun nggak!"

Aku tersentak mendengar nada tinggi itu, buru-buru kusingkirkan selimut sembari menguncir rambut menuju pintu. Kudekatkan telinga di daun pintu, namun yang terdengar hanyalah suara isak tangis tertahan. Perlahan kubuka pintu, mencoba memberi celah agar aku bisa mendengar dengan lebih jelas.

"Kenapa sih, Nak? Kenapa kalau sekali aja nggak pergi? Firasat Ibu nggak baik, kali ini aja tolong nggak usah pergi ya."

"Bu, khawatir itu perlu. Apalagi kalau mau perjalanan. Tapi bukan berarti ngehentiin kita buat ngelakuin perjalanan, kan? Ibu selalu bilang, resah sewajarnya, doa sebanyaknya. Terus sekarang, kenapa Ibu jadi ngelarang-ngelarang sih? Widya nggak ngerti kenapa kalian nggak pernah paham maunya Widya apa. Selama ini Widya padahal nggak pernah nuntut apa-apa, cuma mau jalan doang, Bu. Ke Nusa Penida doang, Yah, kan nggak jauh. Yaelah."

Nada tinggi Widya membuatku menutup mulut dengan sebelah tangan, kaget sekaligus terheran dengan apa yang sedang terjadi. Tubuhku sedikit bergetar mendengar pertengkaran yang terjadi pada keluarga kecil yang sering kubanggakan ini. Alih-alih marah karena sikap tak sopan Widya, sebersit perasaan iri justru muncul ketika mendengar segala ucapan Widya.

Selama ini aku tak pernah membayangkan bagaimana rasanya bisa seberani dan selantang itu menyuarakan keinginan. Jangankan bersuara, mengeluarkan nada tinggi pun aku sering terbata-bata. Namun bagi Widya, mengapa segalanya terkesan mudah dan seperti sudah jadi sebuah hal yang biasa?

"Cukup Widya!"

Suara Om Dewa kembali terdengar, membuat aku sedikit ketakutan dan teringat dengan sosok ibu yang kukenali sewaktu kecil dulu.

"Kamu itu makin dibiarin makin kurang ajar! Ayah nggak habis pikir, ternyata dunia luar itu bukannya ngebuat kamu makin menghargai orangtua, tapi bikin kamu semakin jago ngelawan orangtua. Apa pernah, Ayah ngajarin kamu ngomong dengan nada tinggi kayak gitu? Hah? Pernah, Widya? Apalagi kamu ngomong ke orangtuamu sendiri dengan cara bicara gitu, pernah Ayah ajar kamu begitu?"

Sepertinya, baru kali ini aku mendengar Om Dewa mengeluarkan amarahnya. Selama ini, Om Dewa yang kukenal selalu merendahkan suaranya ketika berbicara, bahkan sangat berhati-hati dalam bertutur. Suasana hening yang biasanya menenangkan kini berganti menjadi hening yang mencekam, pelan hanya kudengar suara isak tangis yang semakin menyayat. Mungkin itu meme Ida, pikirku.

"Sekarang Ayah tanya, maumu apa lagi? Bebas? Iya? Bebas kayak apalagi sih yang kamu mau? Selama ini apa yang udah Ayah dan Ibu kasih ke kamu itu masih kurang, Wid? Jawab! Mana Widya yang tadi berani ngejawab semua ucapan Ibunya sendiri? Hei, kalau ditanya tuh jawab!"

"Yah, Widya tuh cuma mau ke Nusa Penida. Kenapa sih malah dibesar-besarin gini? Ibu juga udah nangis, Yah. Widya tuh nggak maksud kurang ajar, tapi Widya mau Ayah sama Ibu ngerti kalau anaknya udah gede. Udah nggak seharusnya dilarang-dilarang. Bahkan sampai harus berantem kayak gini."

Aku bersandar di tembok, lututku melemas mendengar suara Widya yang tetap kukuh memperjuangkan inginnya. Aku merosot dan terduduk di dekat pintu, kembali terbayang semua pertengkaran yang pernah kualami dengan ibu. Semua bayangan itu silih bergantian hadir dengan mimpi yang tadi sempat membangunkanku.


***

Love Letter from Me


Hi, long time no see! How's your day?

Akhirnya setelah sekian purnama, saya memutuskan kembali untuk melanjutkan Layung. Cie, udah nungguin, ya? Udah nunggunya lama, eh sekalinya update cuma secuil banget ceritanya hehehe. Maklumin aja, bukan Bella namanya kalau nggak bikin kalian belajar sabar. Tapi tenang, orang sabar, rezekinya banyak!

Well, hari ini saya sengaja mengunggahnya hanya sedikit. Karena ya namanya juga baru mulai lagi, kan harus pemanasan dulu. Benar atau betul? Lumayan kan kalau chapter ini dikit tuh kalian jadi bisa menghemat waktu untuk membaca ulang dari chapter pertama. Ya siapa tahu lupa, kan jadinya asyik toh kalau semalaman ini bisa mengulang membacanya tanpa terputus?

Janji deh minggu depan saya akan kembali lagi. Tapi jangan terlalu banyak berharap jika saya akan hadir untuk waktu yang lama  dalam cerita ini. Karena bisa jadi,  kita justru bisa bertemu Layung di tempat yang lebih baik.

Kapan? Belum tahu, nikmati saja proses yang ada sekarang. Karena Layung ada untuk menemani, bukan sekadar menyelesaikan.

Oke?

Selamat membaca lagi, dan terima kasih sudah banyak memberi apresiasi untuk Layung, bahkan setia menantinya kembali.

Salam sayang,
Bella.















KEKANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang