Aku sedang berada di lobi hotel menunggu ojek online yang kupesan seusai melakukan check out. Kemarin malam setelah bertemu Widya, akhirnya kuputuskan untuk menghabiskan sisa waktu pelarianku ini di rumah Om Dewa, adik kandung ayah. Tidak sepenuhnya terpaksa, sebab jika kupikir-pikir lagi, mungkin ibu tidak akan mengomeliku lagi jika nanti aku bilang padanya bahwa aku menginap di sana.
Lagipula, rumah Om Dewa terlalu sayang jika harus dilewatkan. Siapa yang kini tak kenal dengan Desa Pinggan di Kintamani sana? Para pemburu sunrise pasti kerap mengelu-elukannya. Pun perjalanan menuju ke sana menggunakan motor adalah hal yang takkan pernah disesali.
Bali memang tak pernah berbohong dengan keindahan dan suasananya. Belum lagi istri Om Dewa—meme Ida, begitu biasa dia kupanggil—adalah sosok ibu yang selama ini diam-diam kerap kubandingkan dengan ibuku sendiri. Tidak bermaksud sepenuhnya membandingkan, hanya saja sifat ibu dengan meme Ida memang amat berbanding terbalik. Hingga kadang, aku kerap merasa iri dengan Widya karena memiliki orang tua seperti mereka.
Dulu, semasih ada ayah, kami kerap berkunjung ke rumah Om Dewa. Sekadar melepas penat dari bisingnya Ibukota agar bisa kembali waras, begitu kata ayah. Om Dewa dan meme Ida hanya punya satu anak, dialah Widya, yang jarak usianya hanya terpaut satu tahun denganku. Meski ia jauh lebih muda, namun hidupnya sungguh jauh lebih bebas daripada aku. Jangan tanyakan ke mana saja kakinya sudah melanglang, karena akan sangat menyedihkan bila dibandingkan denganku.
Ojek online yang kupesan pun tiba. Selama di perjalanan, aku terus memandangi foto liburanku dengan ayah dan ibu beberapa tahun lalu, yang selama ini selalu kusimpan di ponsel. Rasanya seperti memutar waktu pada satu-satunya kenangan indah yang kumiliki saat kanak-kanak. Jujur, tak banyak ingatan yang kumiliki pada masa lalu. Bahkan ada banyak kenangan yang bisa dibilang terlupakan begitu saja. Bahkan hingga dipaksa sekali pun aku tetap tidak bisa mengingatnya. Miris, bukan? Seolah isi kepalaku memang sengaja memblokir seluruh ingatan itu.
"Om swastyastu." Aku menyapa meme Ida yang tengah menyapu halaman rumah. Beliau lekas membalikkan badan dengan keterkejutan tercetak di wajahnya, sedang aku menyambutnya dengan senyum semringah.
"Layung? Ini bener kamu, Nak?" ucap meme Ida sembari memegangi bahuku, seakan tak percaya. Aku hanya mengangguk dengan senyum lebar di bibir. "Kenken kabare?" tanya meme Ida seraya memelukku erat.
"Sehat seperti kelihatannya," jawabku sedikit serak. Sambutan hangat yang ia berikan sukses membuatku seperti pulang ke rumah. Sesuatu yang tak pernah ibu lakukan sepanjang hidupku. Karena mau seberapa jauh sekalipun aku pergi, pelukan selamat datang darinya takkan pernah ada menyambut kepulanganku. Jangankan pelukan selamat datang, pelukan untuk mengurangi rasa sedih pun tidak pernah kudapatkan darinya.
Sebuah pertanyaan terus berulang di kepalaku saat ini, kapan ya ibu bisa seperti meme Ida? Penuh dengan kehangatan, penuh dengan kasih sayang, bahkan tidak ada kecanggungan yang tercipta denganku dengan meme Ida, meski kami sudah lama tidak bertemu. Padahal jika dengan ibu, walau kami setiap hari bertatap muka pun, rasanya tidak mudah untuk sekadar mengajaknya berbicara. Entah kenapa seperti selalu ada sekat yang menghalangi kami untuk bisa menjadi dekat dan bersikap seperti ibu dan anak sewajarnya.
Aku mengedipkan mata beberapa kali untuk menghalau bulirnya yang ingin muncul. Setidaknya aku tidak boleh menangis saat ini, karena sepertinya tidak adil bila aku harus membawa masalahku dengan ibu ke sini. Aku tersenyum sembari menggandeng lengan meme Ida, membuatnya menoleh ke arahku dan mengusap pelan rambutku.
"Kamu itu kapan datang, Nak? Sendirian aja? Ayo masuk, Om Dewa-mu kebetulan ada di dalam." Aku hanya menjawab pertanyaannya singkat sambil tetap bergelayut manja di lengannya. Lagi-lagi hal yang tak pernah berani kulakukan pada ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEKANG
Teen FictionImpian yang dipaksa berhenti sebab tak pernah punya kekuatan apa-apa.