Chapter 4 - Disapathy

1.4K 106 10
                                    

Kunyahan nasi padangku yang terakhir menjadi lebih susah ditelan mendengar nama itu kembali disebut. Aku lekas mengambil gelas air minum sebelum tersedak. Berusaha mendinginkan isi kepalaku agar tak lekas terpancing emosi, baru setelahnya bersuara.

"Mama habis dapat info apalagi dari Arya?"

"Lho, kok, jawabnya gitu? Kan, Mama cuma nanya Arya apa kabar. Kalian kan sekampus, jadi pasti bisa ketemu, kan?"

Ingin rasanya aku terbahak saat ini. Namun, buru-buru kuhabiskan minuman dan mulai merapikan bungkusan nasi padang yang sudah tandas. "Sekampus tapi beda jurusan, Ma," ralatku.

"Lagian, Mama kan lebih sering komunikasi sama Arya. Jadi rasanya, nggak masuk akal aja Mama nanyain kabar dia ke aku. Justru aku yang harusnya nanya, Mama habis dapat info apalagi dari dia tentang aku?" tanyaku sedikit ketus.

"Layung! Nggak boleh kayak gitu. Arya tuh anak baik, kamu kok kasar banget, sih, sama dia?"

God!

Ingin rasanya aku berteriak menyerukan semua kelakuan Arya agar ibu tahu masih pantaskah lelaki itu disebut baik. Namun, tetap saja kuurungkan agar tak memicu pertengkaran yang lebih panjang.

"Apanya yang kayak gitu, Ma? Udah ah, Layung malas nyebut-nyebut nama dia. Layung mau beres-beres dulu. Ada janji sama Kinar mau ngerjain tugas." Jelasku sembari beranjak ke dapur untuk mencuci peralatan makan kami. Meninggalkan ibu yang masih saja geleng-geleng kepala melihat tingkahku.

Percayalah, Ma. Andai Mama tahu siapa Arya yang sebenarnya, mungkin Mama nggak akan pernah bisa bilang dia baik lagi, kataku di dalam hati sambil menoleh ke punggung ibu. Sungguh, aku tak habis pikir bisa-bisanya ibu menanyai kabar mantan pacarku itu, bila beliau sudah lebih sering berkomunikasi dengannya daripada denganku—anaknya sendiri.

Salah satu kejenakaan lainnya dalam hidupku adalah mendapati kenyataan tersebut. Dulu, sejak pertama kali aku mengenalkan Arya pada ibu, sejak saat itu juga ibu menjadi lebih dekat bahkan berubah menjadi sosok yang begitu menyenangkan untuk berbicara dengan Arya. Sesuatu yang tak pernah sekali saja kurasakan.

Semula ketika mengetahui hal itu sebetulnya aku merasa sangat bersyukur, karena mungkin siapa tahu kehadiran Arya bisa menjadi jembatan antara aku dengan ibu. Namun sayangnya, jika melihat apa yang terjadi dengan aku dan Arya sekarang, rasa-rasanya aku salah mengambil keputusan telah mengenalkannya pada ibu.

Arya bukan menjadi jembatan untuk mendamaikanku dengan ibu, bukan juga membuatku bisa lebih dekat dengan ibu, justru ia malah berubah menjadi mata-mata ibu. Mengawasi kebebasan dan setiap gerak-gerikku di kampus, lalu melaporkannya pada ibu.

Aku kembali melewati ibu yang masih duduk di meja makan menekuri bacaannya. Belum sempat aku melangkah lebih jauh, ibu sudah menahanku dengan pertanyaannya yang membuat bulu badanku meremang. "Kamu mau ngerjain tugas atau mau motret buat beritamu?"

Arya, pasti lelaki itu yang sudah memberitahu ibu. Aku kemudian berbalik menatap ibu, dengan sekuat mungkin menahan getar di suara. "Maaf, maksud Mama gimana, ya?"

"Kamu ikut UKM Jurnalis, kan, Layung?"

Aku menelan ludah mendengar pertanyaan ibu yang kini sudah semakin jelas. Baiklah, rasanya rahasia ini memang tak lagi bisa untuk ditutupi. Aku kemudian memberanikan diri melihatnya dengan senyum yang sedikit menyeringai. Menatap manik matanya yang kini tengah menatap lurus padaku, seolah takut aku akan kembali mengelak.

"Oh, jadi benar, Mama habis nanya-nanya sama Arya tentang aku di kampus? Itu anak udah jadi detektif kesayangan Mama sekarang? Iya, Ma? Kenapa nggak sekalian aja, Ma, pasang nih cctv di badan Layung. Biar Layung mau ke mana aja, sama siapa dan ngapain aja, Mama bisa selalu tahu. Jadi nggak perlu nanya-nanya ke dia," jelasku diiringi sebuah tawa kecil.

KEKANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang