Alunan lagu "Setengah Mati Merindu" bergema memenuhi seisi mobil, saling bersahutan dengan bunyi wiper yang membuat isi kepalaku semakin berisik. Sudah sejak satu jam yang lalu aku berada di sini. Di dalam mobil yang gelap gulita, seorang diri, hanya bertemankan dingin serta hujan yang turun semakin deras.
'Aduh, lagunya Judika tuh memang jago bikin malam minggu para jomlo makin teriris ya, Sobat. Ngomongin soal rindu, Winda mau tanya nih, siapa sih orang yang sedang Sobat rindukan malam ini? Biasanya kalau rindu, kalian ngapain? Ketemukah? Atau gimana, nih? Yuk yang mau cerita-cerita Winda tunggu di nomor--'
"Cot! Makan, tuh, rindu!" Aku bergegas mematikan radio, jengah dengan kalimat-kalimat manis yang diucapkan si penyiar. "Gimana caranya ketemu, kalau rindu sama orang yang udah nggak ada? Mati dulu?"
Mesin mobil masih tak jua kumatikan, justru kuturunkan suhu pendinginnya agar aku semakin menggigil. Ya, setidaknya sebagai pengalih rasa pilu di dada akibat rindu. Sebuah zippo berwarna hitam berulang kali kunyalakan. Menyesap aromanya sesekali, menghirup ketenangan di sana. Aku melemparkan tatap ke luar jendela, pada sebuah rumah yang didominasi warna biru. Samar, hanya terlihat pendar lampu teras dengan warna kuning yang begitu hangat.
Hangat? Aku lupa seperti apa kehangatan memeluk tubuh. Aku lupa seperti apa rasanya hangat memenuhi rongga paru-paru. Pantulan lampu ruang tamu tergambar di gorden. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya terlihat bayangan kursi yang sekiranya sudah begitu tua. Dulu, di rumah itu, bertahun-tahun yang lalu, ada seorang anak perempuan yang begitu mencintai kedamaian yang hanya bisa ditemukan di dalamnya. Begitu mendamba setiap waktu yang ada untuk bercengkrama dengan kedua orang tuanya.
Tapi kini, anak perempuan itu lebih memilih untuk menginjakkan kakinya hanya di setiap lelah. Baginya, rumah tak lebih dari sekadar tempat untuk tidur tanpa perlu mengeluarkan sepeser pun rupiah. Dan sekarang, anak perempuan itu masih bergeming di balik kemudi. Memegangi gawai sambil membalas pesan.
Kinar: Lagi di mana lo? Udah sampai?
Me: Udah.
Singkat aku membalasnya agar membuat percakapan berhenti sampai di situ. Namun sayang, gawaiku kini kembali bersuara, menampilkan sebuah panggilan dari nama yang sama.
Kinar:
"Bohong banget lo udah sampai. Sampai mana sih? Nyokap lo tadi sms gue, nanyain lo udah balik apa belum."
Tanpa ada salam pembuka, Kinar—sahabatku, sudah meninggikan suaranya dan membuatku harus menjauhkan ponsel. Aku menghela napas dan mengusap wajah mendengar kalimat Kinar. Entah sampai kapan hal-hal seperti ini harus berulang.
Aku masih tak habis pikir dengan sikap ibuku yang akan selalu menelepon Kinar mencari tahu keberadaan bahkan kegiatanku. Padahal, aku bukan lagi anak-anak. Tolong, bagaimana bisa seorang perempuan yang kini sudah duduk di semester tiga, dikategorikan sebagai anak kecil?
Atau sebegitunyakah dia tak mengenali kebiasaan putrinya? Sebegitunya dia tak mengerti bahwa putrinya ini sudah besar, serta punya keputusan dan kesibukan juga? Sebegitunyakah dia tak bisa mencari diriku sendiri, bahkan harus melibatkan orang lain untuk mencari?
Aku ini bak burung dalam sangkar yang di kakinya dipasang sebuah tali kekang tak berwarna. Terkunci, tak bisa leluasa bergerak, namun tak seorang pun tahu akan hal itu, kecuali Kinar. Lucu, seorang perempuan berumur 19 tahun, bahkan sudah memiliki kartu identitas masih harus selalu melapor akan melakukan apa, sedang berada di mana, dan bersama siapa. Bahkan parahnya dua tahun lalu aku sempat dilarang berada di luar rumah lebih dari pukul tujuh.
"Woy, jawab! Lo kan udah balik dari dua jam lalu, masa iya nggak sampai-sampai."
"Gue beneran udah sampai."
KAMU SEDANG MEMBACA
KEKANG
Genç KurguImpian yang dipaksa berhenti sebab tak pernah punya kekuatan apa-apa.