Chapter 7 - Discredulous

997 108 6
                                    




Ponsel ibu yang kebetulan ada di sampingku bergetar, menandakan ada pesan masuk. Belum sempat kulihat nama pengirimnya, ia sudah lebih dulu mengambil ponsel itu dan memasukkan ke dalam saku daster yang dikenakan.

Raut wajah ibu yang semula serius, kini berubah jadi sedikit pias bahkan ada kegugupan yang terpancar di sana. Aku menyungginkang senyum sinis melihatnya, pasti Arya pikirku. "Tentang apa, Ma? Tentang Mama yang masih nyari tahu semua kegiatanku ke Arya?"

Kuletakkan sendok dan garpu, lalu menyiram sedikit air mineral ke atas piringku yang isinya sudah tandas. Aku menatap ibu yang tak bereaksi apa-apa, membuatku tak kuasa untuk kembali bertanya padanya. "Jadi, Mama sudah dapat berita apalagi dari dia?"

"Pesan yang tadi bukan dari Arya, Yung." Ibu menatapku dengan sesuatu yang sulit kuartikan. Namun jika dipikir-pikir lagi, nampaknya selama ini memang aku tak pernah bisa mengartikan apa-apa dari sikap dan tatapan ibu.

Aku menatap ibu dengan sebuah senyuman. "Oh ya? Mama tahu, nggak? Bukan cuma Layung yang nggak jago bohong, tapi Mama juga nggak pinter buat bohong. Lagian, kalau itu bukan dari Arya kenapa hapenya langsung disembunyiin, Ma?" todongku padanya, lalu berdiri dari duduk untuk mencuci piring.

Baru saja aku hendak melangkahkan kaki ke bak pencuci piring, jawaban yang keluar dari mulut ibu sukses membuatku terkejut. "Itu, itu dari Kang Ramdan."

Piring yang berada di genggaman kini kupegang dengan erat. Ada perasaan tak enak ketika mendengar ibu menyebut nama seseorang yang tak pernah kudengar sebelumnya itu. Kecurigaan muncul di benakku ketika mengingat tingkah ibu yang tadi tampak terburu-buru menyembunyikan ponselnya.

Memangnya siapa kang Ramdan sampai membuat ibu sepanik itu? Sejak kapan ibu memiliki teman laki-laki yang menghubunginya selarut ini? Dan lagi, seingatku, ibu jarang memanggil seseorang dengan begitu akrabnya dengan sebutan akang. Ingin rasanya aku bertanya pada ibu tentang siapa Ramdan, namun aku berusaha menekan keingintahuanku itu sedalam mungkin.

Toh ibu sendiri yang mengajarkanku untuk terbuka, jadi rasanya kalau sesuatu itu perlu kuketahui beliau pasti sudah memberitahuku. Tapi jika ia hanya diam seperti ini, berarti memang tidak ada sesuatu yang berarti tentang Ramdan untuk ibu. Aku lekas menggelengkan kepala dan memilih untuk membersihkan peralatan makanku.

Setelah selesai mengembalikan piring makan dan gelas yang sudah kucuci ke tempatnya, lekas kukeringkan tangan pada lap yang terletak pas di samping bak cuci piring. Baru saja aku hendak berbalik dan pamit menuju kamar, pernyataan ibu sukses membuat lututku lemas seketika.

"Kang Ramdan itu, mungkin akan jadi Papa kamu."

Aku masih bergeming, enggan menatap ibu apalagi untuk sekadar melangkahkan kaki. Gigiku sudah bergemeletuk menahan amarah dan sesak yang memenuhiku. Aku tak pernah menyangka akan mendengar ibu mengatakan hal seperti ini. Sebab bagiku, sampai kapan pun takkan pernah ada yang bisa bahkan boleh menggantikan ayah.

Selama ini kukira ibu merasakan kehilangan seperti apa yang kurasa, namun sayangnya aku salah. Bahkan tiba-tiba saja saat ini aku sudah dihadiahkannya sebuah kabar yang sangat mengejutkan.

"Layung? Mama mau—"

"Layung ke kamar dulu, Ma." Kulemparkan lap yang tadi kugunakan untuk membersihkan tangan lalu bergegas melangkah ke kamar.

"Denger dulu, Yung. Mama mau jelasin ke kamu."

Tanganku yang semula berada di genggaman ibu kutarik dengan kencang, lantas menatapnya terluka. "Jelasin apa, Ma? Jelasin keputusan Mama yang tiba-tiba ini?" tanyaku dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya. "Mama sadar nggak kalau Mama egois? Mama tahu, nggak?"

Aku tahu bahwa sikapku saat ini mungkin tidak sopan padanya. Tapi persetan dengan itu semua. Karena ya, siapa yang peduli dan siapa yang akan berpikir tentang hal itu bila nyatanya aku sudah terlampau terluka karena pilihannya? Semenjak kepergian ayah, sudah banyak kehilangan yang aku terima. Dan sekarang, bisa-bisanya ibu membuatku kembali harus kehilangan lagi.

"Mama tahu mungkin ini kedengerannya tiba-tiba, makanya Mama mau jelasin ke kamu biar kamu ngerti, Yung."

Kupandangi langit-langit ruang makan menahan air mata yang ingn keluar dan tertawa miris mendengar ucapannya. "Apa, Ma? Biar aku ngerti? Apa yang harus aku ngerti, Ma? Keputusan Mama yang tiba-tiba mau nikah? Iya? Layung nggak mau punya Papa baru, Ma. Buat Layung, Papa itu cuma satu. Nggak bisa diganti sama siapa-siapa."

"Yung, kamu harus ngerti—"

"Mama aja nggak pernah mau ngertiin Layung, kenapa sekarang Layung harus ngertiin Mama?" tanyaku seraya menyeka sebulir air mata yang menetes dan mengepalkan tangan kuat-kuat takut jika emosiku tumpah seluruhnya.

"Yung, selama ini Mama berusaha untuk ngertiin kamu. Mama—"

"Apa, Ma? Apa? Mama nggak pernah ngertiin Layung! Yang selama ini Mama lakuin itu hanya memaksakan Layung untuk ngertiin Mama. Untuk ngerti dengan pola pikir Mama, untuk ngerti dengan larangan-larangan Mama. Selama ini, Mama minta Layung seterbuka itu kan sama Mama? Tapi, sekalinya Layung terbuka, emang Mama bisa nerima semua hal yang Layung coba sembunyiin? Enggak, kan? Justru semuanya malah semakin dilarang. Mama sadar itu?"

Alih-alih menjawab ibu hanya kembali duduk di kursi makan, menundukkan kepala sembari memijat lehernya. Jujur aku kecewa melihat ibu yang bahkan tidak ada niat meredakan amarahku. Ia hanya sibuk menenangkan dirinya sendiri, sibuk dengan pikiran dan keinginannya sendiri. Persis seperti saat ayah tiada dulu. Ibu membiarkan diriku berjuang sendirian dengan kesedihan yang tidak hanya miliknya seorang.

Air mataku masih mengalir begitu deras namun tak jua mendapatkan respon apa-apa dari bibirnya. "Mama selalu nyuruh Layung untuk terbuka, tapi sekarang, Mama pun nggak terbuka sama Layung. Oke, kalau Mama bilang ini terbuka. Tapi telat, Ma. Telat. Harusnya Mama bilang sejak awal, bukan tiba-tiba ngasih keputusan yang kayaknya nggak butuh sedikit pun pendapat Layung. Mama selama ini anggep Layung ada nggak sih? Atau, atau jangan-jangan selama ini Mama cuma mau menguasai Layung? Iya, Ma? Apa jangna-jangan, Mama emang nggak mau menerima bahwa ada hal di hidup Layung yang nggak bisa Mama atasi! Layung anak Mama bukan sih?"

Lama aku menunggu jawaban atau mungkin bantahan yang keluar dari mulut ibu, tapi sayangnya ia tetap tak memberikan apa-apa. Hanya diam yang dijunjungnya tinggi-tinggi. Bahkan, sedikit pun ia tidak melirik ke arahku. Entah apa maksudnya, tapi mungkin, ini sudah lebih dari cukup untuk membuatku sadar bahwa bagi ibu aku tidak lebih dari seorang anak yang terpaksa harus ia jaga.

Atau mungkin, sekarang ia sedang menyesali waktunya yang terbuang untuk membesarkan anak sepertiku. Yang jauh dari kata penurut, yang tidak pernah berkata manis, yang tidak memiliki kelebihan untuk dia pamerkan ke teman-temannya. Ya, mungkin itu artiku untuk ibu, mengingat selama ini aku memang tak pernah dia kenalkan pada teman-temannya. Jangankan dikenalkan, diizinkan keluar rumah saja aku harus bertengkar dulu dengannya.

Di sela isakan tangisku, ibu bangkit dari duduknya, kukira ia akan menghampiriku dan membawaku dalam pelukan. Namun aku salah, ia hanya diam dan membawa piringnya ke bak cuci piring lalu membiarkan air mengalir membasahi tangannya.

Diam-diam aku tertawa dan menggeleng pelan melihat sikapnya yang benar-benar tidak peduli denganku. Kuseka air mata yang mengalir percuma di wajah lalu lekas berlari menuju kamar tanpa berpamitan dengannya. Untukku perbincangan ini selesai dan akan selalu berakhir seperti sebelumnya; tanpa jawaban, tanpa kepastian, dan lagi-lagi hanya menghempaskan semua harapan.

KEKANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang