Chapter 14 - Irresolve

714 87 2
                                    

"Halo, assalamualaikum," ucapku selembut mungkin.

"Kamu ini bener-bener ya, nggak bisa apa sekali aja ngabarin Mama?"

Dadaku berdegup kencang mendengar suara ibu yang sudah berteriak itu.

"Ma...."

"Harus ya Mama duluan yang telepon? Kamu ini, Mama udah nelpon berkali-kali tapi nggak juga diangkat. Sibuk apa sih kamu di sana?"

"Iya maaf, Ma. Soalnya Layung—"

Lagi-lagi belum selesai aku memberi penjelasan, ibu sudah menghentikan ucapanku. Aku buru-buru mengenakan sepatu dan beranjak menjauh dari pendopo. Merasa canggung bila Om Dewa harus mendengar ocehan ibu. Setidaknya Om Dewa tak perlu tahu apa yang menyebabkanku terbang sejauh ini ke Bali.

"Makanya, hape tuh dinyalain deringnya. Kalau ada yang penting gimana? Ibaratnya nih kalau Mama kenapa-kenapa, mungkin pas Mama udah mati kali ya baru kamu angkat dan peduli untuk telepon balik."

Sesak memenuhi relungku, aku memejamkan mata mendengar ucapannya. Aku tahu ucapannya benar. Namun yang lebih kutakuti adalah bagaimana jika malaikat mengamininya? Sungguh, aku tak pernah bermaksud mengabaikan semua teleponnya. Hanya saja, aku butuh menepi sejenak, untuk melonggarkan isi kepala agar tak lekas tersulut emosi dengan semua tuduhan yang biasa ia sarangkan padaku.

Hening aku berdoa pada Tuhan semoga kelak jika aku punya kesempatan menjadi orangtua, aku tidak lantas menuruni sifat ibu. Agar kelak anakku tidak perlu merasakan apa yang saat ini kurasa. Tapi bagaimana jika benar buah jatuh tak jauh dari pohonnya? Bagaimana jika akhirnya aku akan seprotektif ibu?

Aku menggeleng kuat, berharap semuanya tidak akan mungkin terjadi. Bahkan jika perlu, mungkin sebaiknya aku tak usah membina keluarga saja agar tidak usah mencemaskan bagaimana upaya untuk mendidik dan membesarkan anak. Aku masih setia mendengar ocehan ibu yang tak berjeda, seraya mencoba menyusun kata-kata yang tepat agar bisa dimengerti ibu dengan baik.

"Hape tuh gunanya buat apa sih, Yung? Komunikasi sama senior-seniormu yang ngajarin kamu ngebangkang doang? Iya? Kamu pikir yang beliin kamu pulsa itu siapa? Mereka?"

Aku mengigit bibir menahan amarah dan tangis yang hadir setiap mendengar ucapannya. "Nggak gitu, Ma. Maksud Layung nggak gitu, cuma tadi emang hapenya Layung taruh di tas dan Layung lagi di jalan. Kan Mama sendiri yang bilang, kalau di jalan nggak usah mainan hape."

"Kalau orangtua ngomong itu selalu aja bisa ngejawab. Kamu tuh harusnya dengerin Mama aja, gausah terus ngebangkang kayak gini. Sekarang Mama tanya, kamu udah beli tiket pulang, kan?"

"Hmm," aku memilin ujung baju mendengar semua ucapan ibu di telepon. "Hm, belum, Ma."

"Kamu tuh kapan pulang? Kinar masih sama kamu? Terus sekarang kamu di mana? Di Bali tuh ngapain sih, Layung? Mumpung libur tuh kamu harusnya di Jakarta aja, istirahat, nggak usah sibuk-sibuk terus."

"Nanti, Ma. Layung pasti pulang kok. Percaya ya sama Layung. Tolong, Ma. Kasih kepercayaan ke Layung, ini Layung kan cuma liburan, Ma. Udah lama juga Layung nggak pernah ke mana-mana selama ini."

"Nanti-nanti itu kapan Layung? Pokoknya Mama nggak mau tahu, nggak usah lama-lama gitu. Kalau Kinar masih mau di sana yaudah nggak apa-apa. Kamu duluan aja yang pulang. Bisa, kan?"

"Kakak!!!"

Baru saja aku hendak membuka mulut, sebuah teriakan membuatku mau tak mau menutupi speaker ponsel agar tak didengar ibu. Aku menoleh, Widya tengah melongok di daun pintu dengan wajah semringahnya yang sedikit kemerahan. Aku hanya menggerakkan bibir mengucap kata nanti sambil mengangkat ponsel yang kupegang. Widya kemudian mengangguk dan menghilang setelah sebelumnya ia mengisyaratkan akan pergi ke kamar.

"Hmmm, Ma, Layung ada perlu dulu ya. Nanti Layung kabarin Mama lagi, tenang aja, Ma. Layung bisa jaga diri di sini. Assalamualaikum."

Tanpa menunggu jawaban dari ibu aku lekas menutup panggilan. Aku tahu itu sama sekali tak sopan, tapi aku masih belum sanggup mendengar pertanyaan dari ibu yang takkan pernah ada habisnya itu. Bahkan aku rasanya sudah tak kuasa untuk menahan semua tangisan bila terus lanjut mendengar ucapan ibu.

Setelah kembali memasang flight mode, aku lalu duduk di dekat Om Dewa dan menyesap habis teh yang sudah mulai dingin. Menggerak-gerakkan kaki untuk mengurangi kecanggungan yang ada, dan berharap Om Dewa tak mendengar apa-apa dari pembicaraanku dengan ibu tadi.

"Mamamu nggak tahu kamu di sini, ya?"

Aku terbatuk mendengar pertanyaan yang baru saja dilontarkan Om Dewa. "Eh? Itu, hm, Mama tahu kok Om kalau Layung ke Bali."

"Kamu ada masalah apa sampai sejauh ini terbang ke Bali, Layung?"

Aku mengalihkan pandangan ke arah lain, enggan bersitatap dengan Om Dewa, sambil mencari jawaban yang tepat untuk kedatanganku di negeri dewa dewi ini. Andai saja aku berani, mungkin sudah kulontarkan jawaban bahwa aku tengah mencari tempat untuk berbagi cerita. Mencari rumah untuk pulang, tanpa ada ketakutan yang mengisi.

"Kok, kok Om ngomongnya gitu? Layung cuma mau liburan aja kok, lagi kangen sama Bali. Jadi yaaa, nggak ada masalah apa-apa, Om."

Om Dewa mengernyitkan dahi dengan respon yang kuberikan. Aku tahu, sebersit curiga pasti sekarang sedang merajai benaknya. Tapi biarlah, belum saatnya untuk aku bercerita. Aku masih merasa tak percaya untuk berbagi tentang ini pada siapa pun. Lebih tepatnya tidak berani pada jawaban orang-orang yang bisa saja membenarkan semua perkataan ibu.

"Ya udah sana, kamu ke kamar Widya, anak itu pasti seneng banget kamu ada di sini."

Aku tersenyum dan bersyukur Om Dewa tidak seperti ibu yang gemar memaksakan sesuatu sesuai kehendaknya. Bahkan beruntungnya lagi, sikap Om Dewa yang memilih tak bertanya lebih jauh ini, justru membuatku terang-terangan menjadi lebih tenang dan tidak lagi merasa dituntut. "Iya, Om. Layung ke dalam dulu kalau gitu, ya."

KEKANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang