Sudah setengah jam berlalu setelah aku sampai di depan gedung DPR untuk menyambangi kak Yudha dan Gio. Tadi aku sempat bercengkerama dengan mereka sebelum kuputuskan untuk memisahkan diri dari kak Yudha agar tak mengganggunya liputan. Semula ia setuju-setuju saja, namun begitu aku akan beranjak ia justru meminta Gio untuk menemaniku.
Berulang kali aku menolak dan mengatakan tak apa bila sendirian. Namun, ia tetap bersikukuh bahwa Gio harus menemaniku. Jika aku menolak, ia akan segera menelepon kak Purba dan memberitahukan keberadaanku. Menyebalkan sekali sungguh, bagaimana mungkin semua gerakku dihalangi. Di rumah oleh ibu, di kampus oleh seniorku sendiri.
Sebenarnya aku teramat heran mengapa kak Purba tidak mengizinkanku untuk meliput. Padahal kalau dilihat sekarang dengan jarak sedekat ini, demonstrasi yang dia sebut menyeramkan itu biasa saja. Meski memang tak bisa disamakan dengan kondisi ramai biasanya, tapi tetap saja, para demonstran itu jauh lebih tertib daripada bayanganku.
"Kenapa Kak Purba ngelarang gue ke sini? Padahal banyak bisa dapet foto bagus nih, Yo." Aku menoleh pada Gio yang masih asyik menyeruput es teh manisnya di tengah panas terik.
"Karena lo perempuan."
"Bawa gender lagi."
Gio lekas menggeleng sembari meletakkan topinya di kepalaku, "Nggak gitu maksudnya. Tapi tanggung jawab dia sebagai ketua memang lebih besar ke lo, kak Gista bahkan Kinar. Perempuan harus dilindungin, Yung."
"Hm."
"Apaan lo 'hm' doang?"
Aku menggeleng lalu berjalan meninggalkan Gio, enggan menjawab pertanyaannya sebab di kepalaku hadir begitu banyak kenangan tentang Arya yang jauh dari kata melindungi. Kalau diingat lagi, kapan terakhir kali aku merasa dilindungi sebagai seorang perempuan?
Semenjak ayah pergi, harapan pulangku hanya ibu. Namun sayang, ia tak pernah bisa kujadikan tempat pulang itu. Lantas Arya, satu-satunya lelaki yang kukira bisa menjadi tempatku bersandar justru jadi orang yang paling kuhindari.
Entah sudah berapa banyak trauma yang kudapatkan karena perlakuan Arya, hingga akhirnya aku memberanikan diri untuk pergi darinya. Sebuah keputusan yang tidak pernah seorang pun tahu karena aku terlalu takut dan malu untuk mengungkapkannya.
Bahkan ibu yang begitu menyanjung Arya pun belum bisa kuberitahukan. Bukan karena tidak mau, hanya saja aku takut ibu akan merasa gagal telah menjagaku. Aku takut ia akan merasa disalahkan atas apa yang terjadi padaku. Sama seperti waktu ayah berpulang dulu, orang-orang dengan lantangnya meneriaki ibu tidak becus merawat ayah. Dan nampaknya, itu juga alasan lain yang membuatku dan ibu semakin jauh. Oleh karenanya, bagiku, masalah Arya cukup untuk kusimpan sendiri agar tak perlu lagi ada jarak yang semakin besar tercipta antara aku dan ibu.
Aku masih asyik menenggelamkan diri pada potret-potret menarik yang kudapat, hingga kudengar sayup seseorang meneriaki namaku. Kutolehkan kepala mencari sumber suara, tapi yang kudapat justru keramaian yang mengepung. Entah apa yang sedang terjadi, tapi yang kutahu hanya orang-orang yang berlarian ke sana ke mari dengan bebatuan yang sudah melayang di udara.
Kakiku semakin tak sanggup bergerak ketika gas air mata mulai disemprotkan. Pandangan yang memburam membuatku berkali mengucek mata dan mencari sosok orang yang sejak tadi meneriakkan namaku itu.
"Layung! Layung!"
Kutolehkan kepala dan mendapati kak Purba dari kejauhan berlari mendekat ke arahku. Namun sayangnya, belum sempat aku mengeluarkan suara, gelap kembali memelukku sekali lagi.
***
Wangi menyengat obat-obatan menyeruak memenuhi hidungku. Perlahan kupindai ruangan yang didominasi dengan warna putih ini. Aku masih berusaha mengingat kejadian yang membawaku ke sini, ketika sebuah suara menyadarkanku. "Layung, Yung, Layung. Udah sadar lo? Gue panggilin dokter dulu, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
KEKANG
Teen FictionImpian yang dipaksa berhenti sebab tak pernah punya kekuatan apa-apa.