Chapter 19 - Remortification

834 81 8
                                    

Aku sedang duduk di pendopo dan baru saja mematikan lagu I'm a mess milik Bebe Rexha. Lagu yang sukses membuatku semakin ingin menertawakan banyak tekanan dalam hidup ini.

"It's gonna be a good, good, life. That's what my therapist say. Everything's gonna be alright. Everything's gonna be just fine. It's gonna be a good, good life." Lirih aku menyanyikan liriknya yang masih bergema di kepala.

Seraya memeluk lutut, aku memutar-mutar zippo kesayangan, sementara isi kepala ini masih sibuk berkelana pada perjalanan sore tadi, dan pesan singkat dari ibu siang tadi yang berkata aku dapat salam dari ayah. Ya aku tahu, kemungkinan ibu pasti sedang berada di makam ayah lagi.

"I'm a mess, I'm a loser. I'm a hater, I'm a user. I'm a mess for your love, it ain't new."

Aku tertawa kecut sekaligus pilu mengingat semua kejadian yang kulalui selama di Jakarta. Hingga tiba-tiba kehadiran Om Dewa mengagetkanku. "Ngetawain apa, Yung?"

Aku menoleh, mengambil ponsel yang tergeletak dan berpura memainkannya. "Eh anu, Om. Nggg.... Ngetawain hidup dan berita-berita konyol di media online, Om. Politik tuh makin gampang dijadiin ajang adu domba ya. Tapi...lucunya lagi media yang ada sekarang lebih gampang lagi buat menilai hidup orang lain. Bisaan banget gitu mereka nentuin mana yang benar mana yang salah buat orang lain. Padahal mereka ngelihat cuma luarnya doang," ucapku sambil terkekeh.

Om Dewa duduk di depanku sambil memicingkan matanya, memberikan sekaleng minuman instan padaku. "Kamu ngikutin politik juga, Nak? Om kira, yang seumuran kamu itu cuma sibuk mikirin eksistensi dan pergi-pergian aja. Kayak Widya, adikmu yang satu itu tuh, kelakuannya makin menjadi. Semua yang dia mau harus banget diturutin. Kalau nggak, ngambeknya bisa berhari-hari bahkan makin nekat."

"Widya, Om?"

"Iya, Widya. Dia itu nggak bisa banget diem di rumah. Setiap ada libur, selalu aja pergi ke sana sini. Om sama Meme itu bukan ngelarang, tapi kami pengin sekali-sekali ngehabisin waktu sama dia sedikit lebih banyak dari biasanya. Om juga paham kegiatan di luar pendidikan formal itu bisa memperluas pengetahuan dan pergaulan. Tapi ya kamu tahulah, Yung, anak perempuan itu ketika berkeluarga kelak pasti akan ikut suaminya.

Kesempatan buat nikmatin waktu bareng orangtuanya ya kayak sekarang ini. Ketika kalian belum sibuk dengan ruwetnya pekerjaan dan urusan cinta-cintaan. Baktinya kalian ya sekarang ini. Bukan berarti Om sebagai orangtua minta untuk balas budi. Hanya, kami juga pengin kalian meluangkan waktu buat orangtua, selagi masih ada kesempatan."

Aku susah payah menelan saliva. Semua ucapan Om Dewa seolah menamparku dengan telak. Lantas dibuatnya aku bertanya-tanya, mungkinkah ibu juga berharap seperti ini? Apakah jika ayah masih hidup beliau juga mengharapkan hal yang serupa? Aku masih terus bertanya-tanya hingga Om Dewa kembali mengungkapkan keluh kesahnya.

"Dulu, Om pengin banget lihat Widya cepat besar. Biar bisa nemenin Om jalan-jalan, atau sekadar duduk cerita kayak gini. Kan, enak ya, Yung? Om jadi punya teman ngobrol dan tukar pikiran. Tapi semakin dewasa, malah Om kehilangan kebiasaan waktu dia masih kecil. Nggak ada lagi Widya yang minta diantar ke sana sini, nggak ada lagi Widya yang minta didongengin. Semuanya udah dilupain. Om kadang kangen, Yung."

Aku tersenyum kikuk menatap Om Dewa. "Hmmm.... Widya juga pasti kangenlah, Om. Cuma caranya buat nunjukkin kangen aja yang beda. Mungkin sekarang Widya lagi pengin banyak tahu tentang dunia luar, Om. Hal yang kadang jarang bisa didapat di rumah." Terangku malu-malu karena seperti sedang mengeluarkan keluh kesahku sendiri.

Helaan napas yang begitu berat meluncur dari Om Dewa, seolah semua bebannya sedang ia urai satu per satu. "Layung, Om itu selalu nggak ngerti gimana caranya orangtua bisa menyamakan pendapat dengan anaknya. Apa yang Om bilang baik, kalian belum tentu anggap itu kebaikan. Kecuali saat kalian udah kena akibat buruknya. Gitu juga sebaliknya, kadang apa yang kalian anggap baik, nggak bisa kami terima dengan baik juga sebagai orangtua.

Padahal alasan kenapa orangtua sering bilang mana baik buruk tuh sederhana. Kami yang udah tua ini, udah lebih dulu pernah mengalami atau pernah melihat hal serupa yang nggak berakhir baik hasilnya. Atau pengakuan lebih buruknya lagi adalah kami bisa jadi nggak pernah melaluinya sama sekali. Jadi kami takut, takut kalau kalian mengalami kesedihan dan hal-hal nggak baik lainnya."

"Om, Layung jadi mau nanya sesuatu deh. Tapi, maaf nih kalau Layung sampai nyinggung. Nggak maksud apa-apa deh, serius. Boleh ya?" aku menegakkan posisi duduk dan menatap lekat manik mata adik ayah tersebut.

"Nanya apa, Yung?"

"Sebenarnya... orangtua itu bilang takut karena memang nggak mau ngelihat sesuatu yang buruk terjadi sama kita. Atau... atau sebenarnya orangtua nggak sepenuhnya bisa terima, kalau sampai anaknya bisa bertahan untuk bahagia tanpa campur tangan mereka? Sebenarnya siapa yang paling egois, Om? Harapan kami sebagai anak yang katanya terlalu banyak menuntut kebebasan? Atau tanpa sadar harapan orang tua?

Yang ternyata, orangtua selalu menganggap anaknya ada di dunia ini, berkat mereka. Dan akhirnya malah membuat hak kami seakan-akan sepenuhnya milik orangtua. Padahal jelas-jelas kami bukan komoditas, Om. Anak juga ingin punyak hak untuk bisa memilih apa yang dipercaya dan diyakini, tanpa langsung harus dihakimi."

Tanpa sadar emosiku mulai naik, maka lekas-lekas aku menghentikan ucapan. Meski emosi yang tengah kurasakan sekarang bukanlah amarah, melainkan keinginan untuk menyuarakan apa yang selama ini tak bisa kusampaikan pada ibu. Segalanya meluap namun meragu, masih ada sedikit kekhawatiran Om Dewa merasa tersinggung. Sebab sekarang ia hanya diam, menatapku tanpa mengatakan apa-apa.

"Lanjutin aja, Yung. Om mau dengar dari sudut pandangmu. Mungkin, bisa jadi Widya juga ternyata berpikir begitu. Siapa yang tahu, kan?"

Aku tersenyum, menunduk malu dan mengusap tengkuk berulang. Rasa canggung itu menyergapku seketika. Namun sepertinya sudah kepalang tanggung bila tak selesai ditumpahkan seluruhnya.

"Ya kayak gitu, Om. Sebenernya yang egois itu siapa? Dan ketakutan itu tuh tanggung jawabnya siapa? Bukannya banyak orang bilang, bahagia itu tanggung jawab masing-masing? Tapi kenapa orangtua seolah pegang tanggung jawab itu dan akhirnya juga memberatkan hal serupa ke anaknya?"

Om Dewa tersenyum dan memandang lurus ke depan. "Mungkin bahagia memang tanggung jawab masing-masing orang, tapi sebagai orangtua, mau gimana pun juga kita akan tetep khawatir sama anak, Yung. Karena kalau kalian sampai sedih, terluka, dan ngerasa sakit, percayalah kalau orangtua rasa hancurnya jauh lebih berkali-kali lipat."

"But, why?"

"Gimana rasa sedihmu waktu Papamu meninggal, Yung?"

Wow, langsung menuju ke inti sekali memang pertanyaan Om Dewa hingga membuatku tercekat. "Hmm, sedih, kesel, kecewa, ya hal-hal semacem itu, Om. Ngerasa belum sempet aja banggain Papa."

"Itu juga yang dirasakan orangtua kalau anaknya mengalami kesusahan, Yung. Kami merasa gagal jadi orangtua, kami merasa gagal untuk memastikan kalian baik-baik aja. Ada orangtua yang melampiaskan ketakutannya dengan ngelarang anaknya, ada yang dengan marah-marah, ada juga yang justru kayak orang nggak peduli, Yung. Caranya beda-beda, tapi intinya sama, kami hanya nggak mau kalian sampai terluka."

Aku menunduk dan memainkan jemari. "Layung tuh kadang mikir Om, memangnya selalu anak yang akan durhaka ke orangtuanya? Hmmmm.... Maaf, Om, Layung nggak maksud mencampur adukkannya ke dalam agama. Ini cuma sedikit pemikiran nyeleneh aja, yang Layung juga paham urusan dosa pun amal, manusia nggak pernah ada yang benar-benar tahu.

Cuma kadang Layung kepikiran, masa iya kita sebagai anak nggak bisa sedikit aja punya hak untuk bilang nggak. Sedikit aja punya kesempatan untuk melawan apa yang orangtua bilang 'nggak baik'. Bukan melawan sih, lebih tepatnya memperjuangkan apa yang kita anggap benar. Karena zamannya kan beda. Aksinya mungkin iya sama, hasilnya kan belum tentu sama, Om. Dan Layung rasa, setiap anak juga pasti cukup tahu kenapa begitu menginginkan sesuatu dengan terlalu."

Kalimatku berakhir dengan sedikit perasaan yang terbebas. Kusandarkan dagu di kedua lutut yang kembali kupeluk. Tangan kananku memutar-mutar zippo di dekat kaki. Tak sadar bila Om Dewa masih memperhatikan. "Layung, kamu sekarang ngerokok?"

KEKANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang