Chapter 20 - Devade

1.1K 92 10
                                    

Aku terbatuk mendengar pertanyaannya. "Eh... Hm, ini...ini bukan buat ngerokok kok, Om." Debar jantungku mengencang seketika. Khawatir bila sampai Om Dewa salah menilai tentangku, selayaknya ibu yang tak pernah menganggap aku bisa menjaga diri.

"Lalu?" mata Om Dewa memicing pada zippo hitam kesayanganku ini. "Sebentar, sebentar, Om kayak kenal sama zippo itu. Mirip punya..."

"Punya Papa, Om." Selaku menuntaskan kalimatnya. Bulu kudukku meremang. Aku melemparkan pandangan ke sembarang tempat, sengaja tak ingin menatap Om Dewa.

"Memangnya gimana hubungan kamu dengan Mamamu, Yung?"

Aku mendongakkan kepala terkejut. "Hah? Ya, ya gitu-gitu aja, Om. Selayaknya ibu dan anak, ya kayak yang biasanya Om lihat."

Om Dewa meneguk sisa terakhir minuman kalengnya, lalu tersenyum hangat padaku. "Gitu-gitu tuh gimana, Yung?"

"Ya kita sering selisih paham, Om. Mama maunya apa, Layung maunya apa. Mama nggak mau ngalah, Layung juga nggak mau ngalah. Masalah semua anak dan orangtua kayaknya ya, Om?"

"Om sebagai orangtua pelan-pelan akhirnya belajar ngerti, mungkin iya, kami kadang seegois itu merasa memiliki hak terhadap anak. Itu pun karena kamu yang akhirnya ngejelasinnya ke Om. Orangtua sebenernya butuh itu, Nak. Butuh untuk mendengar kalian mengutarakan apa yang kalian pikirkan."

Aku beranjak duduk di tepian pendopo dan menggoyangkan kaki. "Tapi nggak semua orangtua kayak Om Dewa. Mau untuk mengakui keegoisannya, bahkan mau untuk sekadar mendengar." Aku tersenyum kecut sambil meremas kaleng kosong bekas minuman, "kadang malahan orangtua yang terlalu angkuh buat membandingkan persepsi mereka dengan persepsi anak. Sampai-sampai semua yang dilakukan si anak jadi dinilai salah. Padahal mereka nggak pernah tahu apa-apa, Om."

"Mamamu kayak gitu, Yung?"

Ada banyak keraguan untuk mengungkapkan keresahanku pada Om Dewa, terlebih aku memang terbaisa untuk menyimpan segala hal sendirian. Lama aku terdiam hingga akhirnya memutuskan untuk "Mama nggak pernah percaya dan ngeijinin Layung punya kesempatan untuk milih, Om."

"Itu sebabnya kamu ke Bali?"

"Mungkin iya, Om. Layung sebenernya kecewa karena dilarang ikut jurnalistik di kampus."

Om Dewa menepuk pundakku ringan, menyamakan posisi duduknya denganku. "Layung, kamu masih belum terima dengan kepergian Papamu? Apa kamu masih terus membandingkan hidupmu yang sekarang dengan hidupmu kalau aja beliau masih ada? Iya, Nak?"

"Hah?" Aku menoleh pada Om Dewa, lalu cepat berpaling sebelum sempat beradu pandang dengannya. "Mmmm. Nggak kok, Om. Layung tahu Papa sudah tenang di sana, Layung ikhlas, Layung terima apa pun yang sekarang ada di hidup Layung."

"Kalau kamu terima, kamu nggak mungkin akan terbang sejauh ini, ke sini, hanya karena Mamamu nggak ngijinin kamu, Yung. Coba Om mau tahu, kapan terakhir kali kamu ke makam Papamu, Yung?"

Aku bergeming, jantungku seolah tak berdetak sesaat. Kalimat tanya itu begitu tepat di sasaran hingga membuatku bingung harus berkata apa. "Hidup terus berjalan, Layung. Yang sudah nggak ada bukan berarti harus dilupakan, tapi kamu harus paham di mana sebaiknya meletakkan kenangan bersama mereka."

Kupejamkan mata sembari menangkupkan tangan di wajah. "Layung, setiap orang punya ketakutannya masing-masing. Dan yang bisa menyelesaikan ketakutan itu adalah dirinya sendiri. Cara setiap orang berbeda-beda, mungkin bagimu caranya adalah dengan dipercaya dan bisa menaruh percaya. Tapi nggak ada yang tahu juga, kalau bisa jadi mungkin bukan itu caranya.

Yung, istirahat kalau lelah. Ceritain ketakutanmu ke mereka yang membuatmu merasa takut. Jangan simpan semuanya sendirian, Nak. Yang ada lama-lama nanti mengakar dan bikin kamu sendiri yang akan hancur. Om sayang sama kamu, Mamamu juga pasti jauh lebih sayang sama kamu. Tapi yang paling penting, kamu yang harus sayang sama dirimu, Nak. Jangan sampai menyerah sama hidup hanya karena kamu nggak punya kesempatan untuk ngeluarin pendapatmu, Nak."

Om Dewa membelai puncak kepalaku lembut seraya berdiri. "Komunikasi masih jadi kunci utama untuk mengalahkan semua keegoisan, Nak. Mulai terima apa-apa yang sudah nggak ada dan nggak lagi bisa diulang, Sayang. Jangan lupa ziarah ke makam Papamu sepulangnya kamu dari sini, ya. Om masuk duluan, kamu jangan lama-lama di luar, semoga malam ini tidurmu nyenyak, Nak."

Tepukan halusnya di pundakku mengakhiri perbincangan kami malam ini. Aku mengangguk lemah dan menatap punggungnya yang mulai menjauh dan menghilang di balik daun pintu. Aku menghela napas, mengalihkan pandangan pada langit Bali yang gelap namun menyajikan banyak bintang.

Zippo yang sejak tadi masih kugenggam kini kupandangi lekat-lekat. Berulang kali kutiupkan udara agar apinya padam, tapi berkali juga kunyalakan kembali. "Pah, maafin Layung yang belum pernah ziarah ke makam Papa lagi. Maaf, karena ternyata Layung setakut itu ngehadapin kenyataan."

Air mataku seketika meluruh. Lima tahun sudah ayah pergi meninggalkanku, dan selama itu pula tak sekalipun aku menjejakkan kaki di makamnya. Aku pernah sekali ke sana, itu pun hanya saat ia sedang dikebumikan. Selebihnya, aku tak pernah datang, selalu ada alasan yang kuberikan setiap ibu mengajakku berkunjung. Mulai dari alasan yang paling masuk akal hingga tak masuk akal pun sudah kuberikan pada ibu.

Mungkin Om Dewa benar, aku belum sebegitunya rela dan ikhlas untuk mengakui ayah sudah pergi. Untuk menerima bahwa kini hanya ada aku dan ibu di keluarga kecil kami. Untuk membiasakan diri menceritakan apa-apa pada ibu. Untuk percaya bahwa ibulah satu-satunya orang yang bisa kupercaya saat ini, namun menjadi orang yang paling tak bisa dipercaya.

Dulu segalanya terbiasa kupercayakan pada ayah, mulai dari kerisauan, keinginan, kebahagiaan dan apa pun itu selalu ayah yang pertama kuberitahu. Tapi sejak beliau tiada, semua perasaaan percaya itu seolah ikut menghilang. Pergi bersama dengan kepergian ayah, tak menyisakan apa-apa.

Terlebih sejak saat itu ibu mulai terbiasa mendikteku untuk melakukan ini dan itu. Serta tak pernah memberiku kesempatan membuat pilihan, karena semuanya seolah sudah dia pilihkan. Aku hanya tinggal menerimanya sebagai keputusan mutlak yang tak boleh diubah, sama sekali.

KEKANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang