Chapter 15 - Dyscommunicatia

835 92 10
                                    

Fajar belum menyingsing, namun aku, Widya dan Om Dewa sudah siap menuju puncak Bukit Cinta untuk melihat matahari terbit yang menjadi incaran para pelancong. Aku tengah mengikat tali sepatu dengan sedikit terkantuk ketika meme Ida sudah berdiri di antara kami sambil membawa nampan.

"Layung, ini, minum teh hangat dan sarapan dulu, ya."

Aku menatap nampan yang di atasnya sudah tersedia nasi jinggo serta teh hangat. Hal yang begitu menenangkan sekaligus membingungkan untuk aku sikapi. Karena seumur-umur, aku lupa kapan terakhir kali ibu menyiapkan sarapan untukku seperti ini, bahkan kalau tidak salah ibu memang tak pernah menyiapkan apa-apa untukku.

"Ngg... Layung nggak biasa sarapan berat, Meme. Minum teh aja ya?" tolakku halus seraya mengambil satu cangkir teh.

"Jangan, jangan! Perutmu nggak boleh kosong, harus diisi makanan juga. Sebentar, kalau gitu Meme buatkan roti aja ya. Kalian harus sarapan, ini masih pagi sekali. Terutama kamu Layung, kamu belum terbiasa dengan udara di sini. Tubuhmu bisa shock kalau nggak dijaga baik-baik. Sarapan, ya?"

Aku kehabisan kata-kata untuk menolak meme Ida, ucapannya begitu benar dan tepat sasaran. Meski aku terbiasa untuk menolak ibu, namun lain halnya dengan permintaan meme Ida yang tidak terkesan memaksa tapi tak jua bisa untuk ditentang. Maka mau tak mau aku pun mengangguk mengiyakan.

"Iya tuh, harus sarapan, Kak. Apalagi semalem Kak Layung nggak tidur." Widya menyela di tengah kunyahannya.

Hampir aku memuncratkan teh yang tengah kuteguk ketika mendengar ucapan Widya barusan. Lekas aku melirik pada Om Dewa lalu kembali berpura-pura memeriksa tas dan ponsel. Sial, kenapa Widya harus tahu aku tidak tidur. Bukankah semalam dia sudah tidur nyenyak?

Sebenarnya bukan aku tidak ingin tidur, atau sengaja tidak tidur, namun kebiasaanku yang tak bisa tidur bila pagi belum tiba memang cukup susah untuk dihilangkan. Belum lagi, isi kepalaku juga terus-terusan dipenuhi oleh bagaimana cara untuk mengatasi ibu saat pulang nanti. Mereka tidak tahu saja aku pun lelah dengan insomnia yang kualami ini.

Aku masih sibuk menggerutu di dalam hati, menyesali diri kenapa tidak berpura-pura saja tertidur agar Widya tak perlu tahu bahwa aku terjaga, hingga kemudian mm Dewa menyelesaikan makannya dan berdeham menatapku intens. "Benar kamu nggak tidur, Yung?"

"Tidur kok, Om."

"Kalau tidur juga paling cuma sebentar. Aku aja sempat kebangun jam 2 masih ngelihat Kakak duduk di kursi dekat jendela."

Widya masih kukuh menyanggah ucapanku. Ingin rasanya aku membekap mulut Widya agar berhenti membicarakan hal itu di depan ayahnya. Namun sayang, itu tidak mungkin untuk kulakukan, maka aku hanya tersenyum masam menatap Widya, berharap ia menyudahi ucapannya.

Belum usai kekesalanku, Widya justru kembali bersuara seusai menyelesaikan suapan terakhirnya. "Sekarang coba dihitung, Yah, kita siap-siap tadi jam berapa? Dikit banget, kan, berarti waktu tidur Kak Layung tuh."

Aku kembali meneguk teh hangat yang sejak tadi kuaduk-aduk. Bingung harus membela diri seperti apalagi. Meski ini hanya hal sepele, tapi tetap saja Om Dewa pasti tak suka jika tahu aku tidak tidur dan harus melakukan kegiatan sepagi ini. Orangtua akan tetap seperti orangtua pada umumnya, kan?

Beruntung meme Ida datang dengan setangkup roti gandum di piring, sehingga membuatku tak harus berkontak mata dengan Om Dewa. "Ini dimakan dulu, Sayang."

Aku menerimanya dengan ragu, mengunyahnya hati-hati dengan isi kepala yang melayang entah ke mana. Sepertinya dewi keberuntungan sedang tak ada di pihakku pagi ini, baru aku ingin menelan roti yang tengah kukunyah, mataku berserobok dengan kepemilikan Om Dewa. Hingga tersedak aku dibuatnya.

"Pelan-pelan aja, Sayang. Om-mu sama Widya pasti nungguin kamu, kok. Lagian kalau dari sini, puncak itu nggak terlalu jauh." Ucap meme Ida seraya menepuk-nepuk punggungku. Aku mengangguk sambil menyeka tetesan bekas air teh di seputar bibir.

Sarapan pagi ini mungkin akan jadi salah satu sarapan yang kurindukan nanti saat kembali ke Jakarta. Meski sempat diwarnai kecanggungan karena ucapan Widya yang membuat Om Dewa tampak seperti ingin mengulitiku hidup-hidup, namun perhatian meme Ida membuatku takkan pernah menyesali kedatanganku di sini. Andai ibu bisa seperti ini juga, mungkin aku akan jauh lebih tenang berada di rumah.

***

Kami akhirnya tiba di camping ground pukul empat pagi. Beberapa orang yang berkemah nampak mulai sibuk dengan perlengkapan kameranya. Aku memandang ke sekeliling yang sejauh mata memandang hanya terlihat warna abu-abu. Hawa dingin berkali-kali menerpa tengkuk, membuatku terus merapatkan jaket.

"Dingin banget, Kak? Hidungnya udah mulai merah tuh." Widya merangkul lenganku sambil tertawa.

Aku lekas memegangi hidung dan ikut tertawa. "Lumayan, Wid. Nggak pernah nemu kayak gini di Jakarta. Kecuali pake AC. Hehe."

"Kata Ayah, Kakak jago foto. Nanti mau dong difotoin di sana," tunjuk Widya ke arah salah satu tebing yang katanya tempat terbaik untuk mengambil potret Desa Pinggan dengan kabut yang menutupinya.

Belum sempat menjawab, Om Dewa sudah berseru memanggil kami agar melanjutkan perjalanan mencari spot terbaik untuk menikmati matahari terbit. Sebetulnya aku sedikit dibuat heran dengan ucapan Widya. Sejak kapan Om Dewa tahu aku jago memotret? Apa mungkin gara-gara aku mengeluarkan kamera kemarin? Tapi.... Entahlah, rasanya janggal saja mendengar Om Dewa berkata seperti itu pada Widya.

Widya menarik lenganku dan bergegas menghampiri ayahnya. Hingga tanpa sadar kakiku seketika melemah dengan pemandangan yang ada di hadapaku saat ini. Semburat oranye perlahan tampak meski sedikit malu-malu. Tak ada suara kasak-kasuk berisik yang mengganggu, seketika hening mengambil alih dan merajai tempat di mana aku berdiri saat ini.

Kutatap sekeliling yang sedang memandang kagum pada apa yang tengah Tuhan kerjakan. Beberapa kali kuarahkan kamera pada setiap momen yang bisa dikenang dalam gambar. Di antara semua sepi yang kubenci, entah kenapa hening kali ini mampu membuatku merasa jauh lebih utuh.

"Gimana, Yung?"

Aku menoleh dan mendapati Om Dewa sudah berdiri di sampingku sambil tetap memandang lurus ke depan. "Om, ini, ini, nggak bisa digambarin indahnya sih. Layung sampai bingung mau bilang apa," jawabku terbata-bata karena masih begitu terpukau dengan keindahannya.

"Layung, terlepas dari semua alasanmu ada di sini, Tuhan mungkin ingin mengajakmu berdialog dengan seluruh kuasa-Nya. Alam yang manggil kamu ke sini, Nak. Bukan untuk dibandingkan mana yang lebih baik atau mana yang buruk. Tapi itu semua untuk kamu temukan maknanya."

Aku mengernyit namun enggan menatap Om Dewa. Hanya diam membisu, menikmati surya yang bersinar, sekaligus membuka telinga baik-baik untuk mendengar petuahnya.

"Tanya hatimu baik-baik, Layung, apa sebenarnya lagi kamu cari dan kamu kejar saat ini. Tanya hatimu lagi, buat siapa sebenarnya hidupmu dan untuk apa semua yang sekarang sedang kamu lakukan. Semua itu panggilan, Yung. Nggak semata hanya kemauan pihak tertentu."

Aku masih tak menanggapinya, justru dibuat sedikit mencelos pada setiap ucapan yang beliau katakan. Om Dewa menepuk pundakku beberapa kali sebelum akhirnya ia melangkah menjauh, menghampiri Widya. Aku menoleh, menatap ia yang kini sudah berdiri di samping Widya dan tengah mengacak rambut anak perempuannya itu dengan penuh kasih sayang.

Setetes air mata jatuh di pipi kananku menyaksikan kedekatan mereka. Dingin tiba-tiba saja kembali merayap. Pagi ini, berkali-kali kurasakan kehadiran ayah di sekitar. Kerinduanku pada sosoknya seketika membuncah dan tak lagi bisa terkendali. Kubiarkan air mata terus mengalir tanpa kucegah bahkan kuhapus. Biar saja bila orang lain menatapku aneh, kali ini aku benar-benar tak peduli, karena yang ada di benakku hanya satu. Rasa rindu pada ayah, tak lagi bisa terbendung.

Sambil merapatkan jaket, kupeluk erat diriku sendiri. Kuhirup udara pagi sebanyak mungkin seraya memejamkan mata. Lirih aku bergumam, "Pah, Layung kangen. Kangen banget sama tawa dan pelukan Papa. Gimana caranya udahin kangen ini, Pah? Gimana?"

KEKANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang