Aku tersentak ketika pintu terbuka. Seraya mengucek mata, samar aku melihat seorang lelaki dengan sweater tebal tengah menggelengkan kepalanya terkejut melihat kehadiranku.
"Lo udah dateng? Pagi banget! Dateng sama siapa?" tanya Kak Purba, ketua UKM Jurnalis, lalu duduk di sampingku. "Nih, minum! Biar nggak dingin."
"Makasih, Kak. Tadi datang sendiri, Kinar belum bangun soalnya," ucapku singkat kemudian meneguk jahe hangat dari botol yang tadi dia sodorkan.
Kak Purba memang sering membawa jahe hangat ketika rapat di pagi hari. Katanya, itu adalah kebiasaan ibunya yang setiap pagi selalu membuatkan jahe untuk ayah dan anak-anaknya. Apabila mereka tak sempat meminumnya di rumah, sang ibu akan memaksa mereka untuk membawa minuman itu.
Di setiap rapat pagi, aku dan anggota yang lain pasti akan menyambutnya dengan senang hati. Aku sendiri, selalu merasa tenang ketika meminumnya. Ada kehangatan yang menjalar di tubuhku bahkan hingga ke dalam hati.
Kali ini aku tersenyum pilu sambil memainkan botol tersebut, bertanya-tanya kapan ibu akan seperhatian ini padaku. Berhenti membeli makanan dari luar, berhenti sibuk dengan seluruh kegiatan sekolahnya yang terlalu banyak menyita waktu. Berhenti mengajakku bertengkar. Dan, berhenti untuk mengatur hingga mematai semua kegiatanku.
"Kabur lo, ya?" tanya Kak Purba menghentikan lamunanku. "Yang lain mah jam segini juga paling mentok baru pada ngelap iler. Nah elo, malah ngiler di sini."
Aku mendengus. "Yeee, sentimen banget sih, Kak! Lo juga pagi-pagi banget udah datang. Gue nggak ngiler ya dan kabur tuh nggak pakai izin, Kak. Kalau gue mah izin."
Kak Purba tertawa kecil sambil memicingkan matanya menatap lurus manik mataku. "Izin ke mana? Berani memangnya bilang kalau mau rapat?"
"Izin ke kampus-lah, kan gue memang ke kampus."
Kak Purba tertawa sembari menoyor lenganku pelan. "Yeee, bisaan aja lo ngelesnya, haha. Semalem nggak tidur lagi lo, ya?"
"Hehehe, nggak bisa tidur, Kak," jawabku sambil memijat kening.
"Kurang-kurangin lah, Yung. Badan lo nggak bakal kuat kalau lo kayak gitu terus."
Aku hanya mengedikkan bahu sambil menyesap jahe hangat kembali. Insomnia yang kualami memang kerap kali keterlaluan. Tidak tidur selama 2 atau 3 hari pun aku pernah. Jangan ditanya rasanya seperti apa, karena aku sendiri ingin sekali berteriak lelah, tapi mataku tetap tak bisa terpejam. Dan bila sedang beruntung, aku baru bisa terlelap ketika matahari sudah menyingsing.
Tadi pagi, sewaktu melihat ibu salat Subuh dan aku yang tetap tak bisa terlelap, lekas aku buru-buru bersiap dan berangkat ke kampus seorang diri dengan menempelkan sebuah catatan di kulkas. Ya, sejak lima tahun lalu hal itu menjadi salah satu kebiasaan kami untuk berpamitan ketika tak bisa bersitatap. Jujur saja aku justru menyukainya, hitung-hitung mengurangi kemungkinan percekcokan dengan ibu.
Aku memang sengaja tak berpamitan agar tak diantar olehnya. Satu, aku tak suka melawan atau mengindahkan permintaannya. Dua, aku malas untuk menjelaskan kegiatan apa yang akan kulakukan hari ini bahkan memberikan kepastian tentang jam pulangku. Tiga, dan yang paling penting, aku tak ingin untuk berbohong mengenai apa yang akan kukerjakan di kampus sepagi ini.
Aku mengusap wajah beberapa kali, menghela napas dengan berat dan memijat pangkal hidung untuk meredakan resah. Pertanyaan Kak Purba tadi, begitu saja terngiang di kepalaku, berani memangnya bilang kalau mau rapat? Hingga tanpa sadar aku berdecak dan membuat Kak Purba yang sejak tadi sibuk memainkan laptopnya menoleh padaku.
"Layung, Layung, lo nggak capek kucing-kucingan? Pakai alasan A, B, C sampai Z buat nutupin hal yang jelas-jelas minat lo? Gimana mau maksimal hasilnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
KEKANG
Ficção AdolescenteImpian yang dipaksa berhenti sebab tak pernah punya kekuatan apa-apa.