Aku menurunkan kaca mobil ketika melihat Mang Didin yang sudah berada di pos satpam berlarian menuju ke arahku. "Pagi, Neng, rapat lagi, ya?"
"Tahu aja, Mang. Udah banyak yang datang?"
"Lumayan, Neng. Tapi kalau si bos, mah, udah datang dari pagi." Aku tersenyum, tahu bahwa yang dimaksud 'si boss' adalah Kak Purba.
"Oh yaudah, kalau gitu, Mang. Layung langsung ke dalam, ya. Eh bentar, bentar." Aku mengambil kotak berisi makanan yang tadi kubawa dari rumah. "Nih, buat Mang Didin."
"Waduh, kok repot-repot, Neng. Nggak usah ah, tadi Mang Didin udah sarapan."
"Buat entar siang juga gapapa, kok, Mang. Insyaa Allah nggak basi. Tadi Mama masak lebih, Layung nggak sanggup ngehabisin sendiri. Sayang juga, kan, kalau dibuang," ungkapku jujur sambil mengingat sarapan yang terlalu banyak disiapkan ibu pagi tadi. Dalam hati aku tersenyum miris, ibu nampaknya lupa bahwa aku tak bisa untuk sarapan berat kecuali buah.
Seulas senyum tulus tergambar di wajah Mang Didin hingga membuat hatiku menghangat karenanya. "Makasih banyak, Neng."
Aku mengangguk dan menyunggingkan senyum, kemudian melajukan mobil ke area parkir, bergegas turun agar tak lagi sendirian. Tak lain dan tak bukan, hanya supaya isi kepala tidak terus menerus memutar kejadian kemarin malam.
Aku membuka pintu ruang Jurnalistik dan mendapati semuanya sudah duduk melingkari meja rapat. Tumben, kataku dalam hati seraya mengernyit. "Sorry telat."
"Santai, Yung. Masih nungguin si Yudha, kok." Aku lekas mengeluarkan buku catatan serta melepas earphone yang masih menggantung di telinga kananku. "Sepuluh menit lagi Yudha belum datang, kita mulai aja ya, guys? Gue soalnya habis ini ada urusan juga."
Belum sampai semenit Kak Purba menyudahi ucapannya, pintu dibuka dengan kasar diikuti dengan suara napas tersengal. "Gue belum telat, kan?"
Semua yang ada di ruangan hanya bisa menggeleng sambil memandangi Kak Yudha yang penuh peluh, nampaknya ia berlari dari parkiran. Kak Purba berdeham sebelum akhirnya membuka pembicaraan.
"Well, udah pada lihat atau ngecek berita tadi pagi, belum? Katanya siang ini bakal ada demo di gedung DPR terkait kenaikan harga bbm. Jadi, karena beberapa dari anggota UKM ini udah mulai kontribusi juga di media cetak, gue pengin minta kesediaan Gio mungkin atau Yudha buat ngeliput ke sana. Karena katanya, anak kampus kita juga bakal ikut turun. Gimana? Lo berdua bisa?!"
"Ayo aja gue mah, nggak ada kelas atau tugas juga." Kak Yudha menyanggupi.
"Oke, lo berangkat ditemenin Gio. Yo, bisa kan?"
"Siap, Boss!"
"Gis, lo bisa, nggak? Update media sosial harus banget, tuh."
"Gue ada kelas hari ini, gimana ya? Kinar sakit lagi."
"Masih ada gue, Kak," ucapku menawarkan diri.
"Eh, iya juga."
"Yaudah, nunggu apalagi? Yuk, langsung berangkat!" ajakku sembari merapikan buku catatan dan menyampirkan kameraku di bahu.
"Lo nggak ikut kali ini, Yung."
Aku yang sudah hampir beranjak menuju pintu segera menoleh pada Kak Purba yang masih bergeming di kursinya. "Lah, kenapa? Gue nggak ada kelas, kok, lagian kan udah lama gue pengin ngeliput demo gini. Jarang-jarang, eh nggak pernah malahan gue ke sana. Selalu Kak Gista, mentok-mentok juga Kinar."
Sempat ada jeda sebelum akhirnya Kak Purba menoleh dan menatapku dengan ekspresi tak bersahabat. "Karena bukan cuma skill yang dibutuhin, Layung. Lo juga harus kenal dan hafal tempatnya. Belum lagi koneksi lo antar sesama pencari berita di sana, sama aparat, bahkan sama para demonstran.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEKANG
Teen FictionImpian yang dipaksa berhenti sebab tak pernah punya kekuatan apa-apa.