Chapter 17 - Fractalize

909 91 3
                                    

Semula kukira makan malam yang diawali dengan kebingunganku pada sikap Om Dewa dan meme Ida akan membuat makan malam ini diselimuti keheningan, tapi ternyata aku salah. Meme Ida dan Om Dewa masih tetap mengajakku bersenda gurau seperti biasa.

Ada perasaan yang mengganjal di hati ingin bertanya tentang Widya. Namun kuurungkan karena aku cukup paham ini bukan termasuk urusanku. Dan sebaiknya memang tidak perlu memancing emosi di hadapan makanan, bukan? Seperti hal tak baik yang biasa aku dan ibu lakukan di Jakarta. Lagi, aku tersenyum miris sambil menyendokkan sesuap nasi.

"Besok kamu ada agenda mau ke mana, Layung?"

Aku yang tengah membantu meme Ida merapikan meja makan kemudian diam sejenak, berpikir. "Hmm, belum tahu, Om. Mungkin di sekitar Kintamani aja, banyak juga ya ternyata tempat yang belum Layung kunjungin. Kurang update banget kayaknya Layung hehe."

"Makanya sering-sering ke Bali, Sayang." Meme Ida ikut menimpali. Aku hanya tersenyum, dalam hati ingin sekali berteriak andai ibuku adalah meme Ida mungkin aku bisa sering-sering berkunjung ke sini.

"Kamu coba ke Bengkala, ajak Widya kalau kamu nggak mau sendirian."

"Ada apa memang di sana, Om?"

Om Dewa tersenyum teduh. "Lihat langsung aja ya, Yung. Nggak usah cari di internet juga buat tahu apa yang mau kamu temui di sana. Widya juga nggak akan ngasih tahu apa-apa sama kamu."

"Ih Om, kenapa sok rahasia-rahasiaan gitu deh?" gurauku menanggapi ucapannya.

"Anak muda zaman sekarang kebanyakan tahu apa-apa. Informasi udah ada di mana-mana, ada enak ada enggaknya. Tapi banyak nggak serunya. Rahasia udah nggak jadi rahasia lagi. Kejutan juga udah bukan kejutan lagi jadinya." Aku tersenyum mengiyakan perkataan Om Dewa, sepenuhnya sepakat dengan ucapannya.

Setelah selesai membantu meme Ida aku berniat kembali ke kamar, sekaligus menanyai Widya kenapa ia tak kunjung keluar untuk makan. Baru saja aku hendak mengambil minum, Om Dewa mengayunkan tangannya memanggilku.

"Iya, kenapa Om?" tanyaku sambil meneguk air mineral di gelas.

"Om tahu kamu punya masalah, tapi Om nggak tahu itu apa, kan Om bukan cenayang," selanya bergurau. "Tapiiii, coba gih ke Bengkala, belajar di sana. Siapa tahu, setelah balik dari sana, kamu jadi mau cerita sama Om."

Mataku belingsatan mencari arah pandang lain, berusaha menghindari tatapan tajam Om Dewa. Hening selama beberapa saat, hanya terdengar detik jam yang berdetak. Aku lekas beranjak pamit kembali ke kamar untuk menghentikan kecanggungan ini. "Layung, Layung ke kamar dulu ya, Om," ucapku dan disambut dengan anggukan olehnya.

Lekas aku kembali ke kamar dan tanpa sadar aku menghela napas lega sambil menyandarkan kepala di balik pintu kamar. Bersyukur karena tak harus memperpanjang obrolan. Widya yang sejak tadi ternyata memerhatikanku langsung berseloroh, "Kak? Kenapa deh, kayak habis dikejar-kejar aja."

Aku tersenyum kikuk. "Gapapa kok. Eh, kamu kok nggak ikut makan tadi, Wid?"

"Lagi mogok makan, Kak."

"Lho, kenapa? Kamu berantem sama Om dan Tante?"

Kuletakkan gelas minumku di atas nakas lalu mengambil duduk di dekatnya.

"Mereka tuh nyebelin, Kak," ucapnya sambil menutup laptop, fokus untuk bercerita. "Masa ya, aku nggak boleh ke Nusa Penida minggu depan. Padahal teman-teman sekelasku lagi mau short trip gitu ke sana. Kan asyik, Kak. Terus aku nggak ikut? Duh siap-siap dikatain deh. Dan Kak Layung harus tahu, alasan Ayah dan Ibu tuh enggak banget. Sumpah deh, kenapa sih orangtua tuh kadang alasannya suka nggak masuk akal. Suka nggak bisa dicerna gitu, heuh." Jelasnya berapi-api.

KEKANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang