Chapter 3 : Still Care

888 110 41
                                    


Hubungan yang digadang-gadang akan berlangsung lama tanpa halangan itu ternyata tak berjalan sesuai kenyataan. Tak berpengalaman bukan jadi alasan, yang pada dasarnya memang berasal dari hati masing-masing.

Waktu yang terus dipersalahkan, padahal jika di telaah lebih dalam, kesalahan itu terletak pada diri masing-masing. Yang justru selalu merasa paling benar, dan tentu ingin diakui kebenarannya. Muda-mudi memang paling sering di sebut egois, sebab rasa untuk menyenangkan diri sendiri selalu lebih besar daripada memikirkan perasaan orang lain yang mungkin diam-diam menyerap sakit yang secara tak sadar diri berikan akibat ego itu sendiri.

"Tumben lo nggak nugas?" Kepalanya di tolehkan pada seseorang yang kini duduk di lantai dengan sebuah toples plastik berisikan kacang telur goreng di tangan.

"Udah selesai, tinggal dikumpulin aja." Sahut seadanya, sedang yang sebelumnya melontarkan pertanyaan mengangguk-angguk mengerti. Kini pandangnya di fokuskan pada layar televisi yang menayangkan kartun dua beruang dan satu panda lucu. Animasi yang jadi kesukaan hampir seluruh penghuni asrama tempatnya tinggal selama menjadi seorang mahasiswa perantauan.

Hening kembali menyelimuti, tak lagi percakapan terjadi selain suara keretakan kacang yang di kunyal di dalam mulut.

"Oh iya Lix, udah denger kabar soal Changbin belum?" Ia yang memang sedang fokus pada ponselnya itu kembali mendongak, bersirobok dengan manik sang lawan bicara.

"Kabar apaan?"

"Itu kemaren kakinya kena kaca." Keningnya mengkerut, jadi tanda bahwa kabar ini memang sama sekali belum ia dengar.

"Parah gak?" Yang ditanyai menggeleng sembari mengendikkan bahu. "Nggak tau gue, katanya sih parah soalnya sampe di jahit itu kaki."

Terang ia khawatir, hanya saja entah kenapa ia tak punya niatan untuk sekedar menengok keadaan seseorang yang masih jadi kekasihnya itu.

"Oh." Sahutnya singkat. Mengundang tatapan heran dari sang teman.

"Oh? Gitu doang? Serius lo Lix?" Ditanyai begitu, Felix justru terdiam. Yang sepenuhnya tak mengerti kenapa Edo, yang menyandang sebagai teman sebelah kamarnya itu kini memandangnya dengan pandangan aneh. Yang tak bisa ia artikan apa maksudnya.

"Emangnya salah?" Edo menepuk keningnya berkat jawaban yang diberikan Felix. Cowok itu menggeleng kepalanya.

"Ya menurut ngana? Ini yang sakit masih pacar lo loh kang. Kok respon lo biasa aja gitu kayak orang asing. Lo yakin cuma break doang sama Changbin?" Felix merasa tak ada yang salah akan reaksi yang ia berikan. Tidakkah itu normal? Memangnya kenapa jika Changbin sakit, tidakkah itu bisa sembuh dengan sendirinya?

"Kita break doang, lo tau lah. Lagian dia ada yang jagain, temennya. Gak usah alay lo, dodol." Edo terlihat seperti tersenyum, namun tersirat seolah cowok itu sedang kecewa pada sesuatu. Yang tak Felix sadari adalah dirinya.

"Sakit ini orang. Lix, gue kasih tau nih ya. Itu Changbin lagi sakit. Lagi sakit! Kakinya diperban, kena kaca tajam, dijahit. Lo nggak khawatir? Gak punya niatan nyamperin atau apa gitu?" Felix dengan mudahnya mengangguk, membuat Edo mengembus kasar. Ia sejujurnya tak ingin ikut campur, hanya saja ia dan Changbin berteman baik. Melihat reaksi Felix seperti ini, membuat sesuatu pada tubuhnya bergejolak, hendak melayangkan sesuatu pada wajah menawan itu.

"Calm down, he's okay."

"Lahh si anying--"

Lantas Felix mendesis pelan meminta Edo untuk berhenti berbicara ketika ponselnya berdering. Pada layarnya tertera nama seseorang yang tengah menghubunginya. Senyum Felix merekah dalam hitungan detik. Hanya karena si penelepon yang ia beri nama 'Amelia' ditambah dengan lambang hati berwarna ungu di sana.

[17] Hello (Goodbye) | Changlix/Felbin [2020] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang