9

84 57 7
                                    

Vana's pov
Aku masih terduduk diatas tempat tidurku saat ini, aku gugup. Sangat gugup, entah apa yang akan kukatakan nanti. YaAllah kuatkan hati hamba.

Kriett...

Pintu kamar terbuka, ternyata Bunda masuk kekamarku.

"Na, kebawah yuk. Tamunya udah datang." Bunda memberi tahu.

Deg.

YaAllah, sungguh. Aku belum siap.

"Lo harus yakin sama diri lo Na."
Sepintas, perkataan Jay bergema ditelingaku. Bismillah. Aku harus siap.

Aku hanya mengangguk pelan, lalu mengikuti langkah Bunda sambil memegang tangan Bunda. Aku takut, gelisah, gugup. Itulah yang aku rasakan, kami pun menuruni anak tangga satu persatu. Aku hanya menundukkan wajah saja tetapi telingaku bisa mendengar suara Ayah yang sedang berbicara dengan laki laki seusianya, mungkin. Itu suara teman Ayah.

"Nah, anak saya sudah datang. Sini Na." Pinta Ayah agar aku duduk disampingnya.

Aku pun duduk disamping Ayah, diatas sofa dengan tiga dudukan itu. Sedangkan Bunda, ia kedapur terlebih dahulu.

Sungguh, keringat dingin sudah membanjiri telapak tanganku. Aku masih tertunduk, tidak berani untuk melihat kesegala arah. Takut. Ya Allah, kuatkan Vana.

"Ini anakmu, Karna?" tanya teman Ayah.

"Iya, Ncek. Nak, angkat kepalamu. Gak biasanya kamu jadi pemalu seperti ini." Bisik Ayah. Meledek.

Ya Allah, Ayah. Gak ngerti apa perasaan Vana sekarang, kenapa masih sempet sempetnya ngeledek sih. Huh, aku harus tenang.

Dengan rasa takut, akupun mengangkat kepala perlahan. Entah, wajah laki laki seperti apa yang akan kulihat nantinya. Rasanya aku ingin pingsan sekarang.

Deg.

Pandanganku lurus kedepan menatap laki laki yang akan mengkhitbahku ini.

"Mashaallah, tambah cantik aja." Aku mendengar suara seorang perempuan yang usianya sama dengan Bunda. Aku jadi merasa percaya diri.

Laki laki ini tersenyum padaku, tetapi. Wajahnya agak familiar, apakah aku pernah bertemu dengannya? Aku masih menatapnya sambil mengingat ingat wajahnya ini. Kalau tidak salah. Bukannya, dia laki laki yang tadi pagi yah?.

"Ehem," Dehaman Ayah membuyarkan tatapan mataku, aku pun langsung memutar bola mata kearah teman Ayah, sambil tersenyum manis. Malu malu juga sih.

"Hahaha, anak muda zaman sekarang masih suka tatap tatapan rupanya." Kata teman Ayah kepadaku, aku hanya membalas dengan cengiran malu malu.

"Na, bagaimana?. Anaknya teman Ayah ini adalah laki-laki yang baik." Kata Ayah.

"Inshaallah." Suara berat itu membuatku semakin merinding.

YaAllah, bagaimana ini? Antara gugup dan bingung. Aku harus menjawab apa? Aku hanya ingin laki laki bersuara merdu itu, andaikan saja. Ya Allah. Jika memang ini jodoh yang Engkau berikan untukku, aku hanya berserah pada-Mu.

"Bagaimana Na? Nak Sheva ini, sudah membuat Ayah yakin Nak. Dia itu dulu satu pondok sama kamu. Jadi, Inshaallah. Dia bisa membimbingmu kejalan- Nya, Na." Kata Ayah untuk menyakinkan diriku.

Aku sempat terkejut, apa kata Ayah. Satu pondokkan? Yah, memang sih. Dipondokku itu, untuk urusan santri putra dan putri sangat ketat jadi, sampai lulus pun. Aku tidak tahu menahu tentang teman laki-laki seangkatanku.

Laki laki itu pun mengeluarkan sebuah kotak kecil berbentuk hati dari saku celananya, yang dimana tempat cincin bermata satu itu berada.

Tak lama, Bunda pun datang dengan membawa minuman. Lalu ia duduk disebelahku. Bunda sadar akan kegugupanku saat ini, lalu ia pun memegang tanganku.

"Jawab sayang." Kata Bunda.

Aku menghela nafas, seenggaknya. Dengan sentuhan tangan Bunda, aku merasa lebih tenang dari sebelumnya.
Bismillah Ya Allah.

"Atas Izin Allah, saya menerima lamaran ini." Kataku sedikit gemetar.

"Alhamdulillah..." ucapan itu seketika memenuhi ruangan ini. Cincin bermata satu pun sudah berada dijari manisku. Aku gugup, sangat gugup. Tadi pun, laki-laki itu tidak memegang tanganku sama sekali. Ia hanya memasukkan cincin pada jari manisku dengan penuh hati-hati. Aku merasa, laki-laki ini sepertinya. Sangat menghormati kaum hawa.

Setelah berbincang bincang, alhasil. Pernikahan kami pun, akan diselenggarakan dua minggu lagi. Sungguh, sebenarnya. Itu waktu yang sangat singkat, tapi. Mau bagaimana lagi, itu adalah pilihan dari kedua keluarga ini. Aku tidak bisa menentang.

Laki laki ini pun mengajakku untuk berbicara diteras depan rumah.

"Ada apa?" tanyaku.

"Tidak ada, aku hanya ingin mengenalmu." Jawabnya, Ya Allah. Lagi lagi, suara berat itu membuat bulu kudukku berdiri.

"Namaku Sheva, dan siapa namamu?" tanyanya.

What!?, dia belum tahu namaku. Tapi yaudahlah, sebelumnya. Aku juga belum mengetahui namanya. Tadi namanya siapa? Sheva?, haruskah aku menambahkan kalimat 'Mas' sebelum memanggil namanya.

"Namaku Vana, kamu lucu yah." Kataku sambil menyipitkan mata.

"Kenapa?" katanya polos.

"Ngelamar orang kok, gak tau namanya."

Ia pun tersenyum.

Deg.

Lagi, senyumannya membuat jantungku berdegup. Aku tahu, senyuman itu hanya untuk menutupi rasa malunya, tapi. Entah mengapa. Jantungku bisa berdegup karena senyumannya.

"Sebenarnya, aku hanya mau melihat calon istriku langsung dengan mata kepalaku dan menanyakan nama calon istriku langsung kepada pemilik nama tersebut." Jelasnya.

Deg.

Sungguh, gombalan apa ini Ya Allah. Dia menyebut diriku calon istri? Astagfirullah, kenapa jantung hamba berdegup kencang?.

"O-oh, gitu."

Hening.

"Kamu, bukannya yang tadi pagi yah?" tanyaku sedikit gugup.

"Iya, gak nyangka yah. Kita udah dipertemukan dari tadi pagi."

"Iyah, aku juga gak percaya. Yaudah, aku masuk kedalam yah. Mau bantuin Bunda untuk mempersiapkan makan malam." Kataku sebelum masuk kedalam rumah, Sebenarnya. Hatiku sudah tidak kuat lagi untuk mengobrol bersamanya.

"Iya." Ia pun meninggalkan senyum itu lagi.

YaAllah, perasaan apa ini?.

💖

Hai semuanya,

Jangan lupa vote dan coment yah.

Love u all😘

Secret Of Heart (Slow Update) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang