6

95 63 11
                                    

Vana's pov
Huh, lelah sekali. Aku masih terduduk dikursiku yang berada dikantor.Waktu dzuhur sudah tiba, tetapi ada yang aneh. Suara adzan ini sepertinya lain, kemana orang yang biasa mengumandangkan adzan? Aku bisa merasakan perbedaan suara ini. Semoga dia dalam lindungan Allah.

"Na," Bu Ayu membuatku terkejut dari lamunanku, ia sengaja menyenggol bahuku.

"Kenapa Bu?" tanyaku spontan.

"Ngelamun aja, ayo sholat. Udah adzan, abis itu kita pulang."

"Oh, iya." Aku dengan Bu Ayu pun bergegas menuju masjid seperti biasa.
Sheva's pov
Aku tengah mengendarai mobil saat ini, biasanya aku selalu mengumandangkan adzan dimasjid dekat kantor. Tetapi hari ini tidak, aku terburu buru. Karena tadi Papa memintaku pulang sebentar siang ini, alhasil. Aku hanya sholat di mushola kantor saja.

Drrttt...Drrttt... Drrttt....

Ponselku bergetar terus menerus, sepertinya ada yang menelpon. Aku pun meraih ponselku yang berada disaku celana, benar saja. Nama Raffi tertera diatas sana. Aku pun langsung menggeser tanda hijau.

"Halo," kataku.

"Oy, Shev." Suara Raffi.

"Kenapa? Gue lagi dijalan nih,"

"Bisa kesini sebentar gak?"

"Kemana? Lo bukannya dirumah sakit?"

"Nggak, gue lagi istirahat nih. Lo ke cafe biasa yah, gue tunggu."

"Ya, nanti gue kesana."

Tutt...

Sambungan telpon pun terputus, kenapa lagi si Raffi? Tumben, tuh anak. Aneh memang dia, aku pun segera berbalik arah dan menginjak pedal gas. Jujur, aku masih memikirkan lamaranku nanti malam, bagaimana tidak? Ini sangat mendadak sekali, kalau dipikir pikir. Apakah aku bisa memaksakan diri untuk menikah dengan perempuan yang tidak sama sekali aku cintai?, difikiranku terlintas, aku ingin membatalkan lamaran itu. Tapi bagaimana? Aku sudah memutuskan jawabanku dihadapan Papa dan Mamah, ah. Ini salahku, kenapa tidak berfikir dua kali? Menikah itu artinya aku akan hidup sehidup semati bersama perempuan itu, bodoh. Bodoh sekali, huh, aku tidak boleh gegabah begini. Toh, aku nanti masih bisa berjalan bedua bersama Vita, atau merasakan masakannya setiap pagi hari. Aku menikah hanya ingin membahagiakan kedua orang tuaku itu saja.

Aku pun tiba di cafe biasa, setelah memakirkan mobil. Aku pun bergegas masuk kedalam, kusapu pandangan bermaksud mencari Raffi. Ternyata dia duduk di meja nomor sepuluh, aku pun langsung menghampirinya yang masih sibuk dengan ponselnya.

"Oyy, bro." Aku sengaja mengaggetkannya dengan menepuk bahunya.

"Oyy, kaget gue." Spontan Raffi.

Aku pun langsung mengambil alih kursi yang ada dihadapan Raffi lalu duduk diatasnya.

"Ada apa sih?" tanyaku tanpa basa basi.

"Santuy aja sii, Mas latte nya dua!" Raffi berteriak pada pelayan cafe.

"Oke Mas." Balas pelayan cafe tersebut, pelayan cafe disini sudah lama mengenal dengan kami jadi, tidak perlu canggung untuk memesan seperti Raffi tadi.

Tak lama, Mas Isal pun sampai dengan membawakan dua kopi pesanan kami tadi, yah nama pelayan itu adalah Mas Isal.

"Silahkan Mas," Mas Isal menaruh cangkir berisi kopi yang kami pesan  dengan hati-hati.

"Eh, ada Mas Sheva. Makin ganteng aja deh." Puji Mas Isal kepadaku, Hahha, aku jadi semakin percaya diri.
"Iya dong Mas, Mas Isal mau ganteng kaya saya gak?" kataku sedikit tertawa.

Secret Of Heart (Slow Update) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang