•
•
•Rintik air hujan itu seolah tak berhasil meruntuhkan ego wanita itu, ia masih tetap di sana. Memandang kosong patokan salib yang berdiri di depannya. Sekalipun area pemakaman ini sudah sepi, namun rasanya Hwayeong masih ingin menemani Ibunya di sana. Air matanya seolah tak mengering kala ia kembali memutar kenagan-kenangan lamanya bersama sang Ibu. Setidaknya, selama ini ... Hanya sang Ibu yang ia miliki, hanya wanita itu tanpa siapapun, melupakan fakta jika Hwayeong masih memiliki seseorang yang sedang menunggunya untuk pulang.
Hwayeong masih setia mengusap lembut patokan salib itu, ia tersenyum miris. Rasanya baru kemarin, saat ia bisa melihat senyuman Ibunya, bagaimana wanita itu tersenyum bahagia dan mengatakan pada Hwayeong bahwa ia akan segera menikah lagi. Rasanya baru kemarin, saat wanita itu menangis haru melihat bagaimana Hwayeong berjuang di dalam ruang operasi untuk melahirkan sebuah nyawa. Itu semua benar-benar baru kemarin, saat di mana sang Ibu berpamitan padanya untuk menyelesaikan bisnis di Singapura dan kembali dengan keadaan tak bernyawa.
Tak jauh dari wanita itu, seorang pria dengan setelan kemeja hitam dan celana kain berwarna senada berdiri di belakangnya sambil memegang sebuah payung lumayan besar. Ia tau siapa wanita yang sedang terisak cukup keras di depannya, seorang wanita yang sangat berjasa untuk Jimin sebab telah memberikannya buah hati setampan Juan. Ia paham betul, Hwayeong adalah kebohongan, semua yang ada pada wanitanya itu adalah bualan semesta. Ia tak lebih dari wanita bertopeng, selama menjalin hububgan sepanjang 3 tahun ini, Jimin bahkan nyaris tak pernah melihat wanita itu menangis sepilu saat ini. Ah mungkin pernah tapi tak lebih dari 2 kali, pertama ia menangis saat Jimin mengucap janji suci di atas altar dan kedua, saat ia berhasil melahirkan Juan. Selebihnya, ia akan menjelma menjadi sosok Ibu dan istri yang kuat, tanpa air mata, dan bertahan dengan sorotan mata dinginnya. Ia bahkan tak meneteskan air mata sama sekali saat Jimin menceraikannya. Jimin hanya bisa menatap sendu punggung Hwayeong yang bergetar hebat, sempat menghela nafas pelan sebelum memutuskan untuk menghampiri wanita itu, berjongkok di sampingnya lantas merangkulnya dari samping dengan hati-hati.
“Kita pulang? Juan pasti sudah menunggumu.” Wanita itu menatap sang pria sesaat lantas menunduk dalam, ia terisak lagi.
“Apa yang kau takutkan, Yeongiee? Kau masih memiliki banyak orang di sampingmu, ada Jin hyeong, ada Taehyun, Ayahmu, Juan, dan juga aku. Sekalipun kita sudah berakhir, percayalah jika aku masih milikmu.” Faktanya, setiap perkataan Jimin malah tak membuat hatinya jadi lebih tenang, sebaliknya ... Ia malah merasa semakin kosong, Jimin adalah pahit dan manis secara bersamaan. Ia menggeleng pelan, ia tak bisa terus bergantung pada pria yang notabenenya adalah mantan suaminya itu. Ia tak bisa terjebak dalam masa lalunya terus menerus, ia harus lepaskan Jimin. Ya ... Harus!
“Kita pulang? Juan pasti sudah menunggu Ibunya.” Hwayeong hanya mengangguk singkat mengiyakan perkataan sang mantan suami.
Jimin membantu wanita itu untuk berdiri lantas merangkul pinggang wanita yang pernah menemaninya membangun bahtera rumah tangga selama 3 tahun itu, menuntunnya dan membawanya pulang.
] [
“Hwayeong, bangun. Makanlah sesuatu, kau tidak lapar, hm?” Jin duduk di samping adiknya, mengelus surai lembut itu dan memperhatikan seberapa parah mata wanita itu bengkak dan sembap.
Jin paham, adiknya ini menghabiskan malamnya dengan menangis. Ia bahkan tak mengisi perutnya dari kemarin, ia juga meminta Jimin membawa Juan untuk sementara sampai keadaan hatinya sedikit membaik.
“Hari ini oppa libur, mau jalan-jalan?” Kali ini Jin mengelus pelan pipi tirus sang adik membuat Hwayeong menggeliat pelan dalam selimutnya.
“Kau mau makan?” Jin bertanya lagi lantas Hwayeong hanya mengangguk meski matanya rasanya masih sulit untuk digerakkan. Pria 30 tahun itu terkekeh pelan lalu mengeratkan selimut sang adik.

KAMU SEDANG MEMBACA
Malicious Husband
Fanfiction[SUDAH DIBUKUKAN] *** E-book tersedia, bisa dibeli kapan saja *** Jeon Jungkook. Jelek. Menyebalkan. Dingin. Jahat. Tak pernah tersenyum kecuali saat ia berhasil melubangi kepala musuhnya dengan pistol yang selalu bersemayam di balik jaket kulitnya...