Pengakuan

7 1 0
                                    

Suster senior menyuruh suster yang lain mengambil tali. Mereka mengikat tangan dan kaki Aira. Selang infus dan oksigen kembali di pasang. Mereka memeriksa semua dengan teliti. Benerapa menit kemudian mereka keluar.

"Pasien sudah tenang dan beristirahat. Tolong jangan di ganggu. Besok pagi dokter akan memeriksa keadaan pasien lagi,"

"Iya. Terimakasih sus," ucap ayah tiri nya Aira. Suster senior pun pergi.

Zack melihat Aira dari kaca pintu. Dia semakin terpukul karena melihat tangan Aira yang terikat.

"Salah gue. Emang salah gue," Zack menempel dahi nya di pintu.

"Jangan terlalu menyalahkan diri kamu. Aira sudah pernah seperti ini. Dan itu bukan hal yang baru. Sekarang mungkin yang terparah, tapi Aira pasti sembuh," ayah tiri Aira menenangkan Zack dengan penuh kesabaran.

"Tapi Aira pasti benci sama saya om. Saya nggak bisa deket dia lagi," kata Zack sedih dengan posisi masih sama.

"Lambat laun dia pasti memaafkan kamu. Aira anaknya memang keras. Tapi dia baik,"

"Tapi pasti dia nggak mau ketemu saya lagi om,"

"Kamu tenangkan diri kamu. Lebih baik kamu tidur. Semoga besok pagi keadaan Aira baik dan kita bisa menengok dia,"

"Nggak om. Saya nggak ngantuk. Saya tunggu disini saja," Zack kembali duduk.

"Rangga, kamu temani Zack. Om akan menemani Aira di dalam,"

"Iya yah," Rangga duduk di sebelah Zack. Ayah tiri Aira masuk dan duduk di sebelah ranjang. Dia menatap Aira tanpa bicara.

"Zack, lo istirahat aja. Kalau Aira bangun gue kasih tau,"

"Nggak. Gue nggak mau. Lo aja yang istirahat,"

"Ya udah gue temenin lo. Nih kopi," Zack menerima kopi itu tapi hanya dia genggam.

"Zack, lo bakal terus benci ke Brian ?,"

"Kayaknya,"

"Tapi gue paham. Setelah kejadian itu dia emang nyesel. Dia juga bilang ke gue ternyata lo teman yang baik. Dia bener bener pengen kalian jadi teman baik,"

"Tapi apa untungnya persahabatan yang di mulai sama kebohongan. Nggak guna. Itu namanya lari dari masalah. Pengecut. Gue nggak mau punya temen kayak gitu,"

"Tapi dia udah ngerasa bersalah. Sangat,"

"Tapi seharusnya dia jujur. Emang gue pasti marah. Tapi nggak akan seperti sekarang. Bahkan Aira kalau tau, dia juga mungkin marah. Bahkan lebih dari gue,"

"Ya gue paham pemikiran lo. Tapi lo harus bisa lupain itu. Kalian udah berteman baik beberapa tahun ini. Sayang banget kalau pisah,"

"Nggak perduli gue. Gue nggak butuh temen palsu," Rangga tersenyum miring.

"Padahal kita yang musuh. Kenapa gue malah baik ke lo ya," Rangga terkekeh menertawakan dirinya sendiri. Zack meliriknya.

"Sebenarnya gue nggak pernah anggep lo musuh,"

"Selama ini kita nggak pernah akur. Apa di sebutnya kalau bukan musuh ?,"

"Rival. Lo rival terbaik gue. Jujur, gue ngerasa kita sama. Sifat dan tekad kita nggak jauh beda. Kita sama sama keras kepala, nggak suka di remehin dan di kalahin. Gue seneng aja ada yang sama kuat nya sama gue. Gue malah anggep lo itu teman terbaik gue. Ya walaupun sikap gue selama ini nggak nunjukin itu, tapi lo tetep slalu gue anggep teman terbaik," Zack tersenyum kecil. Rangga yang mendengar itu terdiam.

Terikat WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang