Baru saja hendak kembali dari aula setelah sesi penyerahan jabatan sebagai kapten cheerleaders kepada Ayushita--anak kelas dua yang menggantikan posisiku, mengingat sekarang aku telah duduk di bangku kelas tiga dan sebentar lagi menghadapi ujian kelulusan, mendadak langkahku terhenti tak jauh dari kelas ketika melihat Mirna tengah mengobrol dengan Dory di depan pintu.
Entah apa yang sedang mereka bicarakan, tapi terlihat wajah Mirna begitu berseri-seri, senyiman tak lepas dari bibirnya. Hatiku berdesir hebat karenanya, gemuruhnya membuatku seketika sesak napas.
"Permisi, kalo ngobrol tuh jangan di tengah jalan, dong!" ketusku sambil menerobos masuk di tengah-tengah Mirna dan Dory. Keduanya terlihat kaget dengan kehadiranku.
"Fe," panggil Dory yang lantas menyusulku, tapi bel keburu berbunyi saat ia berhasil menyusul, akhirnya Dory berjalan menuju bangkunya dengan Mirna yang mengekorinya.
Rasa cemburu membutakan hatiku hingga saat jam pelajaran terakhir usai, buru-buru aku mengemasi buku serta peralatan tulisku dan segera beranjak meninggalkan kelas. Dory memanggilku dan berusaha mengejar tapi kuabaikan dan terus saja berjalan cepat menuju halaman depan sekolah.
"Fe. Fea, tunggu." Ia berhasil juga mengejar, lalu mencekal pergelangan tanganku.
"Apa, sih, Dor," sentakku.
"Kamu kenapa?" tanya Dory dengan nada lembut.
"Nggak apa-apa," ketusku.
"Jangan bohong, Fe. Dari tadi kamu cuekin saya dan terlihat ketus seperti ini."
"Kamu memang nggak peka, Dor," gumamku.
"Kenapa, Fe?"
Aku menggeleng dan mengalihkan pandangan. "Nggak, lupain aja," balasku malas.
"Kamu marah ya sama saya, Fe? Bilang biar saya tahu salah apa."
"Aku cuma lagi pengin sendiri saat ini, Dor," elakku.
"Ya sudah kalau begitu, kamu sudah mau pulang, kan, saya antar, ya."
Lagi-lagi aku menggeleng. "Nggak, makasih. Aku bisa pulang sendiri, Dor." Entah kenapa egoku begitu mendominasi hari ini, ketika hatiku ingin mengatakan 'iya', tapi justru aku menggelengkan kepala menolak tawarannya. Padahal aku sendiri juga belum tahu mau pulang naik apaan, karena hari ini Pak Udin tidak menjemput. Sudah seminggu ini aku berangkat dan pulang sekolah bersama Dory.
"Kamu mau naik apa?" tanya Dory.
"Gampang, aku bisa naik taksi, kok."
"Tapi, Fe__"
"Taksi!" seruku memotong kalimat Dory ketika sebuah taksi melintas di depan kami. Aku segera masuk ke dalam taksi tersebut dan meninggalkan Dory begitu saja.
Air mata tiba-tiba saja menetes membasahi pipiku, rasa sesak yang sedari tadi kutahan akhirnya pecah juga di sini. Dari spion, aku masih bisa melihatnya, Dory masih mematung menatap laju taksi yang membawaku pergi.
Maafin aku, Dor, sepertinya aku terlalu berlebihan meluapkan kekecewaanku, batinku resah. Aku menengok melalui kaca belakang, dari kejauhan masih terlihat kamu tetap berdiri di tempat tadi aku meninggalkamu.
***
Dari semalam aku dibuat gelisah karena sikapku terhadap Dory di sekolah kemarin. Uring-uringan nggak jelas, meluapkan rasa cemburu yang berlebihan kepadanya. Kasihan Dory, ia pasti sangat bingung dan kepikiran karena ulahku. Belum lagi pesan-pesan yang ia kirimkan kepadaku sejak sore yang sama sekali tidak kubalas. Kembali kubaca beberapa pesan darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sad Boy ✔
Teen FictionDory Saputro--cowok super kalem yang aku kenal di bangku SMA Angkasa. Ia murid baru pindahan dari kota Solo. Entah mengapa sosoknya yang berbeda dari kebanyakan cowok yang pernah dekat denganku justru mengusik hatiku untuk mengenalnya lebih jauh. Do...