Kepalaku masih terasa berat ketika membuka mata, entah pukul berapa ini. Dengan pandangan berkunang-kunang aku mencoba mengenali langit-langit ruangan tempatku berada saat ini yang terasa asing olehku.
"Aku di mana?" gumamku sambil berusaha duduk, tapi betapa terkejutnya aku saat menyadari pakaianku sudah berganti entah dengan kemeja milik siapa ini, yang jelas terlihat kebesaran di tubuhku.
"Ya Tuhan! Apa yang terjadi denganku?" cemasku. Pada saat bersamaan pintu kamar terbuka dan muncul seseorang yang kukenal--Adit membawa nampan berisi mangkok dan segelas susu coklat.
"Kamu!" pekikku. Refleks kuraih bantal di dekatku lalu kulempar ke arahnya dengan penuh amarah.
"Apa yang kamu lakukan terhadapku? Kenapa aku bisa berada di sini, heh?!" teriakku histeris. Beruntung Adit bisa mengelak sehingga nampan yang dibawanya berhasil selamat dari lemparan bantalku.
"Fe, tenangin diri, lo." Buru-buru Adit meletakkan nampan tersebut ke nakas di dekatnya dan menghampiriku.
"Stop! Jangan mendekat, Dit!" teriakku sambil meraih selimut untuk menutupi bagian depan tubuhku. Bayangan buruk tentang kemungkinan yang bisa terjadi membuatku bertambah kalut.
"Fea... jangan salah sangka dulu. Tenangin diri lo, Fe." Adit terus berusaha menenangkanku tapi kuabaikan.
"Apa yang kamu lakuin, Dit?"
"Elo pikir apa yang gue lakuin, Fe?" Adit balik bertanya.
"Ini... kenapa aku bisa memakai kemeja ini? Ke mana bajuku? Kamu apain aku, Dit?" erangku. Air mata dengan deras meluncur membasahi pipi, sungguh aku takut membayangkan hal terburuk yang sudah terjadi denganku.
"Semalam elo muntah, Fe... baju lo kotor. Jangan berpikir gue yang mengganti pakaian lo, tapi Laras--adik gue. Fe, gue masih waras, nggak mungkin ngelakuin itu sendiri. Dan kemeja yang lo pakai itu punya gue, badan lo terlalu besar untuk memakai baju Laras yang masih kelas dua SMP." Panjang lebar Adit berusaha menjelaskannya, kelegaan sedikit menenangkanku.
Lalu apa yang terjadi sampai aku muntah? pikirku. Aku mencoba mengingat apa yang sudah terjadi denganku, tapi nihil. Kepalaku justru semakin pening saat berusaha keras untuk mengingatnya.
"Aku kenapa, Dit?"
"Elo nggak inget?" tanya Adit yang kujawab dengan gelengan lemah.
"Semalam gue nemuin lo pingsan di klub. Gue nggak punya pilihan lain selain membawa lo pulang ke rumah gue, karena nggak berhasil nemuin kartu nama atau semacamnya yang menerangkan di mana alamat lo."
"Ya Tuhan... Dory!" Aku langsung panik begitu menyadari apa yang sudah terjadi. Kemarin saat hendak berangkat ke acara perpisahan sekolah, lalu pertengkaran yang terjadi di antara kedua orang tuaku, yang akhirnya membuatku membatalkan untuk pergi ke acara perpisahan tersebut, dan malah kabur ke klub. Buru-buru aku turun dari ranjang dengan panik.
"Lo mau ke mana? Badan lo masih lemas, Fe... elo harus makan dulu."
Aku menggeleng keras. "Nggak, Dit... aku harus segera menemui Dory, dia pasti sangat kecewa karena semalam aku nggak datang ke acara perpisahan."
"Sssttt... iya, tapi elo harus makan dulu, baru boleh menemui Dory," tegas Adit.
"Nggak, Dit... nggak... aku harus menemui dia sekarang juga," kataku berkeras.
Adit menyerah setelah tidak bisa membujukku untuk tinggal dan sarapan dahulu.
"Oke, tapi elo harus tenang dulu, setidaknya minum susu coklat hangat ini untuk mengembalikan tenaga lo, Fe." Adit mengulurkan gelas berisi susu coklat tersebut yang mau tidak mau kusambut dan meneguknya perlahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sad Boy ✔
Teen FictionDory Saputro--cowok super kalem yang aku kenal di bangku SMA Angkasa. Ia murid baru pindahan dari kota Solo. Entah mengapa sosoknya yang berbeda dari kebanyakan cowok yang pernah dekat denganku justru mengusik hatiku untuk mengenalnya lebih jauh. Do...