Dory memacu motor bebeknya dengan perasaan yang ia sendiri tidak bisa mendeskripsikannya. Marah, kesal, kecewa, merasa dibohongi, atau apalah.. ambyar rasanya!
Sepertinya saya belum benar-benar mengenal kamu, Fe, batinnya.
Ia semakin kencang melajukan motornya. Berharap bongkahan kekecewaan yang saat ini membuatnya resah bisa terbang terbawa hembusan angin, dan ia bisa mendapatkan kembali rasa percayanya terhadap Fea.
Sesampainya di rumah, ia langsung masuk ke kamar dan tidak keluar untuk makan siang. Hal yang tidak biasa ia lakukan saat pulang sekolah, yang jelas saja membuat ibunya bertanya-tanya.
Tok.. tok.. tok..
"Le," panggil Nur.
"Dalem, Bu," sahut Dory dari dalam kamar.
"Boleh ibu masuk?"
"Nggih, Bu. Masuk saja pintunya ndak Dory kunci."
Nur membuka pintu dan mendapati putranya tengah duduk selonjoran di dipan dengan lesu, kepalanya ia sandarkan pada kepala dipan.
"Ono opo to, Le? Kok sajak nggrantes ngono awakmu. Apa kamu ndak enak badan, to?
Dory menegakkan posisi duduknya, ia melipat kakinya, sementara Nur duduk pada tepian dipan.
"Ndak kenapa- kenapa, kok, Bu. Dory cuma capek saja."
"Tapi ndak biasanya lho kamu seperti ini. Pulang sekolah langsung masuk kamar, ndak makan juga. Kenapa, to? Sudah ndak usah bohong sama ibu, Le," tanya Nur prihatin.
Dory mendesah. Rasa kecewanya terhadap Fea seakan menjadi beban yang tiba-tiba memberati pundaknya.
"Berantem sama Nak Fea? Iyo, Le?" tebak Nur.
Berat, tapi akhirnya Dory mengangguk lemah.
"Kenapa, ono masalah opo, to?
"Sebenarnya ndak berantem, Bu. Hanya saja Dory merasa kecewa terhadap Fea."
"Alasannya opo, Le? Memangnya Nak Fea kenapa?
"Bu, apa menurut ibu, Dory ini salah kalau meminta Fea untuk meninggalkan kebiasaan buruknya? Apa Dory terlalu egois, ya, Bu?" tanya Dory meminta pendapat Nur.
Nur mengusap puncak kepala putranya sambil tersenyum. "Kamu ndak salah, Le. Ibu percaya niat kamu semata-mata untuk kebaikan Nak Fea. Tapi caranya harus pelan-pelan. Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan seseorang itu ndak bisa dengan mudah diubah. Kamu harus bisa sabar menghadapinya."
Dory tersenyum mendengar nasihat dari ibunya. Ibu benar saya memang harus lebih sabar lagi, batinnya.
"Yo wes, kamu sing sabar karo Nak Fea. Kalau memang kamu benar-benar menyayangi Nak Fea, ya perjuangkan dia dengan kesabaran kamu, Le."
"Nggih, Bu."
"Yo wes, ibu mau istirahat sebentar yo, Le. Kamu ndang makan dulu sana, Le."
Nur pun beranjak dari kamar Dory setelah menutup kembali pintunya.
Tapi tak bisa dipungkiri keresahan yang bergulat dalam batin Dory nyatanya tidak bisa luntur dengan mudahnya. Ia masih saja terpuruk dengan perasaan kecewa dan merasa dibohongi. Apalagi tadi ada lelaki yang melihat Fea di klub dan mengajak berkenalan.
Dory tidak bisa membayangkan Fea berada di dalam klub, ditengah kerumunan orang-orang yang sebagiannya dalam keadaan mabuk, seperti yang sering dipertontonkan di layar televisi. Laki-laki dan perempuan bercampur jadi satu di sana. Belum lagi cara berpakaian Fea yang tentunya menarik mata lelaki untuk menggodanya.
"Ahhhh!!" gusar Dory, ia mengusapkan kedua telapak tangan pada wajahnya untuk mengusir bayangan-bayangan yang baginya sangat menakutkan.
"Fea, kenapa to kamu ndak mau nurutin apa yang saya bilang? Sebagus apa tempat itu sampai kamu terus kembali ke sana?" racau Dory.
Sepanjang hari itu Dory sama sekali tidak keluar kamar, kecuali hanya untuk menunaikan sholat. Bahkan seharian itu, perutnya dibiarkan kosong.
Hari sudah beranjak petang. Matahari yang sesiang tadi bersinar begitu terik, kini telah lengser ke peraduan digantikan oleh bulan yang malam ini terlihat enggan menyinari bumi, hanya memperlihatkan bentuk sabit.
Dory duduk terpekur di balik jendela kamar, menatap ke langit yang pekat, sepekat hatinya saat ini. Ia masih terus bergulat dengan pikirannya tentang Fea.
Apa saya yang terlalu egois, dengan mengekang apa yang menjadi kebiasaan Fea. Atau mungkin memang saya dan Fea ndak bisa dipaksakan untuk menyatu. Fea dengan dunianya, sementara saya ndak akan mungkin bisa melebur didalamnya bersama Fea.
Kami bagaikan dua sisi mata uang yang ndak mungkin bisa disatukan. Kehidupan kami saling bertolak belakang, seperti dua kutub yang ndak mungkin bisa bertemu.
Ahh, harusnya dari awal saya menyadari itu, Fe. Sebelum perasaan ini semakin dalam. Seharusnya saya menciptakan jarak bukan malah memberi celah untuk kamu, batin Dory pilu. Dipejamkan kedua netranya, berharap bayangan Fea menjauh dari pikirannya.
Bersambung...
Update!!
Mana suaranya untuk Sad Boy's??
Terima kasih untuk kalian yang masih setia membaca kisah ini. Terus berikan vote kalian, ya..
Kritik dan saran kalian juga diterima, kok.
See you next part
😊😊😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Sad Boy ✔
Teen FictionDory Saputro--cowok super kalem yang aku kenal di bangku SMA Angkasa. Ia murid baru pindahan dari kota Solo. Entah mengapa sosoknya yang berbeda dari kebanyakan cowok yang pernah dekat denganku justru mengusik hatiku untuk mengenalnya lebih jauh. Do...