In moments like those, when tears fill your eyes,
Hold my hand tight.
Should we run away?
Awalnya aku benar-benar tidak percaya ketika Kai mengatakan dia menemukan sesuatu yang ajaib. Pikirku saat itu, Kai pasti hanya mengada-ada. Dia terlalu terobsesi tontonan masa kecilnya tentang petualangan di sebuah sekolah sihir. Kai selalu menceritakan hal-hal di luar nalar yang terdengar konyol seperti jubah tak terlihat, ramuan yang bisa mengubah wajahmu menjadi orang lain, atau mantra-mantra kutukan yang bisa membunuh seketika. Maksudku, di zaman modern seperti saat ini, apakah menurut pendapatmu sihir itu ada?
"Kau sedang ingin pergi ke suatu tempat, kan? Aku tahu tempat yang bagus," ujarnya saat itu, seperti menyadari bahwa aku tidak begitu percaya padanya.
"Tempat yang bagus atau tempat yang aneh? Aku tidak tertarik dengan semua khayalan tidak pentingmu tentang dunia sihir itu ya!" Aku benar-benar muak jika dia mulai membahas hal semacam itu. Tidakkah dia tahu? Tidak semua orang bisa menerima pembahasan dengan topik yang tidak mereka sukai. Lagipula tidak baik juga memaksakan kepercayaan terhadap sesuatu kepada orang lain hanya karena itu adalah hal yang kauanggap benar selama ini. Tidak semua orang begitu peduli dengan dirimu. Aku mengatakannya berulang kali pada Kai, karena aku peduli, meskipun dia tidak.
Semenyenangkan apapun dunia sihir yang dia bicarakan, kita tetap hidup dalam kenyataan. Hal-hal yang terdengar mudah untuk dibayangkan tidak pernah menjadi sesederhana itu untuk bisa diwujudkan. Apalagi perjalanan-perjalanan indah yang menjanjikan. Untuk saat ini, aku memang benar-benar ingin lari dari kenyataan, entah ke mana. Dan Kai tahu hal itu.
"Ikut saja dulu, setelah sampai di sana kau baru boleh berkomentar," ujarnya mulai tampak serius. Dengan sedikit keraguan tersisa aku mengikuti langkah kaki Kai yang membawa kami ke sebuah bekas bangunan stasiun tua. Letaknya ada di sudut kota, sudah lama tak terpakai kecuali untuk keperluan khusus seperti syuting dan dokumentasi sejarah. Kami meloncat pagar pembatas kecil yang dipasang di bagian belakang stasiun. Hal pertama yang menyapa pandanganku adalah jalur-jalur rel kereta api yang mulai tampak berkarat di sana-sini. Aku sendiri tidak terlalu yakin kapan tepatnya tempat ini berhenti difungsikan. Kabarnya beberapa tahun sebelum kami berdua lahir pemerintah sudah menutup seluruh akses menuju kemari, entah karena apa. Beberapa penjaga ditugaskan untuk menghalangi orang asing yang ingin masuk tanpa izin. Mungkin karena banyaknya gerbong rapuh dan bangunan tua yang dinilai berbahaya.
"Kai, bukankah tempat ini terlarang?" bisikku mengingatkan. Meski suaraku pelan, di tempat sesunyi ini, Kai pasti bisa mendengarnya. Dia menggandeng tanganku erat, tampak yakin membawaku semakin ke dalam. Kami menyeberang rel-rel yang ada dengan sedikit meloncat lantaran permukaan yang tidak rata. Aku mulai tidak nyaman dengan tempat ini. Meski aku yakin Kai tidak akan melakukan sesuatu yang buruk kepadaku, tapi berada di tempat sepi dan jauh dari jangkauan orang lain membuatku merasa was-was. "Bagaimana kalau ada penjaga yang melihat kita?"
"Tempat ini terlarang bagi orang asing, tapi kita kan hanya penduduk sekitar. Lagipula jika pagi seperti ini para penjaga masih tidur," ujarnya. Benar juga, penjaga hanya ada di pos depan.
Tak lama Kai berhenti di hadapan sebuah dinding peron yang memang banyak ada di sana. Dinding-dinding itu tersusun dari bata merah yang tampak rapi. Sekilas tidak ada yang aneh, tapi semakin diperhatikan ada yang menarik dari dinding ini. Sesuatu yang tak dapat kujelaskan. Keinginan untuk mendekat.
"Ini yang maksudmu ajaib?" tanyaku menebak. Sedikit aneh karena tidak ada hal-hal berkilau atau sejenisnya yang biasa digambarkan film-film. Kai tersenyum dan memandang bagian atas dinding tersebut. Sebuah plakat dengan angka 9 ¾ tergantung di sana. Aku mengernyit heran. Merasa teringat akan satu bagian pada film favorit Kai tentang peron 9 ¾.
"Awalnya aku mengira ini hanya perbuatan orang iseng," katanya. Awalnya malah kupikir ini perbuatan Kai sendiri, batinku yang tak kuutarakan. Kai mendekati dinding tersebut dan menempelkan salah satu telapak tangan di sana. Hal selanjutnya yang kulihat sukses membuatku ternganga.
Tumpukan bata itu tampak berguncang di daerah tangan Kai menempel, seperti dinding tersebut hanya terbuat dari lapisan plastik bening yang tipis. Tangan Kai bahkan bisa masuk menembus dinding tersebut, tapi Kai segera menariknya. Aku menyakinkan diriku berkali-kali bahwa aku sedang tidak bermimpi. Setidaknya juga tidak mulai tersugesti dengan cerita-cerita khayalan Kai tentang dunia sihir.
Perlahan aku mendekat pada dinding berplakat 9 ¾ ini. Aku mengangkat telapak tanganku dan menempelkannya di sana. Tidak mungkin! Dinding ini benar-benar lembut. Aku bahkan seperti tidak menyentuh sesuatu. Sesuatu yang bersinar ada di baliknya dan aku terkesiap ketika merasa dinding ini―atau hal di baliknya―menarikku untuk semakin masuk. Sebelum aku benar-benar mengikuti tarikan tersebut, Kai mencekal pergelangan tanganku. Menariknya lepas dari dinding.
Aku menatap matanya, bertanya.
"Aku belum pernah masuk ke sana sebelumnya," ungkapnya.
"Lantas?" tanyaku tidak paham. Masih terpesona dengan sensasi yang baru saja kurasakan.
"Aku tidak yakin apakah ada jalan kembali dan aku juga tidak tahu dinding ini akan membawa kita ke mana." Meski dia sama penasarannya denganku, aku bisa merasakan keraguan dari pancaran bola matanya.
"Kau sudah jauh-jauh membawaku kemari dan baru merasa tidak yakin. Memangnya kau tidak ingin pergi ke dunia sihir seperti yang biasa kau bicarakan?" tantangku.
"Ingin! Tapi bagaimana jika dinding ini tidak membawa kita ke dunia sihir yang ajaib itu? Bagaimana jika ini adalah portal menuju tempat yang berbahaya?"
Aku berpikir sejenak, tapi rasanya tidak ada alasan cukup kuat yang bisa menahanku untuk tidak berlari ke dalam.
"Tidak ada yang bisa menjamin. Aku dan kau sama-sama belum pernah masuk. Belum pernah mendengar cerita tentang ini juga sebelumnya. Kenapa tidak kita coba dan bersenang-senang?" Aku tersenyum padanya, meski dia masih tampak ragu.
"Kalau kita tidak bisa kembali?"
"Memangnya kau punya seseorang yang akan menunggumu pulang?" Dia tampak diam, sebelum akhirnya turut membalas senyumku lebih lebar.
"Tidak sih." Tangannya kembali mengandengku erat, menarik tanpa ragu untuk berpetualang lebih jauh. Kami bersama-sama menabrakan diri ke dinding. Menembus penghalang kasat mata yang terasa tak memiliki batas. Melayang dan ringan adalah satu-satunya hal yang dapat aku rasakan. Bahagia yang sederhana. Entah apa yang menunggu kita di ujung sana, aku masih tidak peduli. Asal aku tidak menghadapinya sendiri, asal aku bersama Kai, semua baik-baik saja.
•
•
Tell me yes, 'no' is no!
Don't wanna stay,now we go
If you and I are together we can run across the sky
Please take me now, to the magic named 'us'-END
28022020
KAMU SEDANG MEMBACA
Spotifict✓
Cerita Pendek"Why do you always listen to music so loud?" "To silence the loud thoughts inside me."