28;

9.3K 331 1
                                    

Angin berhembus kencang. Aquilla memeluk tubuhnya sendiri saat angin malam menyentuh kulitnya. Sebab ia hanya menggunakan hotpants dan t-shirt berlengan pendek. Gadis itu mengusap pipinya yang memar. Sesekali ia meringis merasakan nyeri di pipinya. Lagi. Ayahnya kembali menyiksanya. Dan disaat seperti ini ia tidak tau harus kemana. Tidak mungkinkan ia menelepon Albert atau sahabatnya?

Aquilla melihat sekilas arloji Guess yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Jam menunjukkan pukul 11 malam. Gadis itu memasuki supermarket 24 jam. Mengambil sebotol air mineral dan membayarnya. Mengangguk membalas ucapan terimakasih sang penjaga kasir kemudian keluar dari supermarket itu. Gadis itu menghela nafas berat. Menimang apakah ia harus pulang atau tidak?

Aquilla menyipitkan matanya saat sebuah mobil mendekat kearahnya. Gadis itu mengernyit heran saat dua orang berbadan besar menghampirinya. Mereka bukan bodyguard ayahnya. Lalu siapa mereka? Hingga gadis itu menyadari suatu hal. Matanya membulat saat ia sadar bahwa mungkin mereka adalah suruhan Salsa. Dengan tergesa gadis berambut maroon itu meninggalkan tempat itu. Ia berlari sekuat tenaga menghindari kedua orang berbadan besar yang mengejarnya. Gadis itu mencoba menelfon Albert. Berharap laki-laki itu bisa menyelamatkannya.

"Tolong Albert tolong aku," sahut Aquilla panik setelah sambungan telepon terhubung. Gadis itu menggenggam erat sling bag miliknya. Menandakan bahwa ia sedang takut.

"Aquilla lu kenapa?" Tanya Albert ketika menyadari bahwa gadis itu sedang dalam bahaya.

"Akhhhh!!!" Teriak Aquilla saat salah satu dari pria itu menarik kasar sling bag-nya. Membuat gadis itu terhuyung ke belakang.

"Aquilla!! Lu dimana?!!" Teriak Albert panik. Pria itu bergegas memakai hoodie miliknya dan menyambar kunci motor sportnya.

"Albert tol-"

BUGGG!!

Aquilla tak mampu menyelesaikan ucapannya karena ia merasakan pukulan keras di bagian belakang kepalanya. Hal yang terakhir ia lihat sebelum semuanya gelap adalah kedua orang itu tersenyum miring menatapnya tak berdaya.

***

"Aquilla? Hallo? Aquilla!!!" Albert berteriak frustasi saat ia mendengar sebuah pukulan keras di seberang telepon. Ia ditambah semakin frustasi saat sambungan telepon dengan sang gadis terputus.

"Bangsat!!" Umpatnya dengan keras. Tangan kanannya menyahut helm dengan kasar. Sedang tangan kirinya berusaha menelpon Arion. Tapi tak kunjung diangkat oleh Arion.

"Anjing! Telfon gak tau wak-"

Albert memotong cepat ucapan Arion. Ia tak punya waktu untuk berbasa-basi. "Sebar info ke semua anggota Bravo kalo Aquilla diculik. Suruh mereka semua nyebar nyari Aquilla. Gue bakal lacak lewat hpnya. Nanti gue share di grup," tanpa menunggu lawan bicara menjawab, Albert dengan cepat memutuskan sambungan telepon.

Suasana jalanan yang lenggang membuat Albert menambah kecepatan laju motornya. Ia melajukan motornya tak terkendali. Pria itu menghentikan motornya secara mendadak karena lampu merah. Pria yang biasanya teramat teliti itu kini menjadi ceroboh. Fokusnya hanya tertuju pada gadisnya.

Jemari tangan Albert dengan lincah menari-nari di atas layar ponselnya. Melacak keberadaan gadis yang selalu mencuri perhatiannya. Ia sudah menemukan lokasi gadis itu bertepatan dengan lampu rambu lalu lintas berubah menjadi hijau. Dengan cepat pria itu menuju lokasi. Mengabaikan keselamatannya sendiri.

Motor sport berwarna hitam itu diparkirkannya dengan asal. Matanya dengan teliti menyusuri sekitar daerah itu. Di telinga sebelah kanannya selalu menempel ponselnya. Pria itu tak hentinya merapalkan doa dalam hati. Berharap bahwa gadisnya dapat ia temukan dalam keadaan baik-baik saja.

"Jawab Quil ayo jawab," gumam Albert sarat akan keputus asaan. Pria itu mengernyit ketika melihat sebuah benda bercahaya yang tidak terlalu terang berada diantara semak-semak trotoar. Karena penasaran ia menghampiri cahaya itu. Hingga ia sadar bahwa benda yang bercahaya itu adalah ponsel Aquilla. Ia mencengkram ponsel itu kuat. Menyalurkan amarahnya yang memuncak.

***

"Nihil. Kita udah nyari ke semua tempat yang kemungkinan dijadikan tempat penyekapan. Tapi gak ada tanda-tanda Aquilla," jelas Raffa pada seluruh anggota Bravo yang sudah tiba di markas mereka. Sebab ketua mereka yang menyuruh berkumpul di markas Bravo.

"Kita juga udah nyari di pinggir-pinggir kota tapi nihil. Gak ada apa-apa," Thian ikut menimpali.

"Kemungkinan siapa yang nyulik Aquilla?"

"Orang yang dendam banget sama Aquilla?"

"Apa mungkin Salsa?" Ucap Gavin membuat semua pasang mata menatapnya. Seolah bertanya. "Lu inget gak waktu Aquilla berantem sama Salsa terus dia bilang kalau dia tau yang teror dia selama ini adalah Salsa?" Lanjut Gavin seolah tau apa yang sedang dipikirkan semua orang. Hingga mereka mengangguk seolah setuju dengan pemikiran Gavin.

"CEWEK BRENGSEK!" Umpat Arion membuat semua pasang mata kini beralih menatapnya. Pria itu bersandar pada dinding dengan keadaan berdiri. Tangannya terkepal kuat. Pria itu berbalik menghadap tembok dan meninju tembok itu sekuat tenaga. Ia merasa malu pada dirinya sendiri. Ia merasa malu karena tidak bisa menjaga saudarinya itu. Ia merasa malu karena tak bisa menepati janjinya yang akan menjaga gadis itu.

"Gak ada gunanya lu bogem tuh tembok sampe ancur. Bukankah lebih baik kita nyari solusi bareng-bareng?" Ucap Raffa cukup tenang meski pria itu sendiri juga emosi. Entah kenapa semakin mereka mengenal gadis bar-bar itu maka semakin mereka juga ingin melindungi gadis yang selalu menutupi masalahnya seorang diri.

BRAKKKK!!

Suara pintu yang dibuka dengan kasar menyita perhatian semua orang yang ada di sana. Hawa dingin langsung memenuhi ruangan itu. Tidak ada yang berani bersuara setelah melihat sorot mata tajam dari sang ketua. Mereka memilih bungkam. Bahkan Gavin yang bisanya banyak omong kini ikut bungkam. Sebab mereka semua takut salah berucap serta tidak ingin babak belur oleh ketua mereka sendiri.

"Gimana?" Tanya Albert berkali-kali lipat lebih dingin dari biasanya.

"Nihil," gumam Raffa lirih.

"Kalian yang gue suruh ngawasin Aquilla kenapa sampai seperti ini?" Tatapan mata Albert bagai pisau yang tajam. Pisau yang siap kapan saja akan menusuk mereka.

Hening. Tak ada yang berani membuka suara. Hingga sebuah bentakan menyadarkan mereka semua. Terlebih 3 orang yang memang selalu mengikuti Aquilla setiap saat.

"Lu pada punya kuping apa gak?!!" Teriak Albert murka. Kakinya menendang kasar sebuah kursi kayu yang ada di belakangnya. Bahkan kursi yang tak salah apa-apa itu kini hancur karena murka sang ketua.

"Emosi gak bisa bikin semuanya lebih baik." Sahut Raffa yang memang sangat paham akan perasaan pria itu.

"Jelasin." Ucap Albert lebih tenang. Meski sisi dinginnya masih jelas terlihat.

"Kita emang kecolongan. Waktu itu Aquilla udah di rumahnya. Kita nunggu sampai jam 10an sebelum kita cabut cari makan. Kita pikir Aquilla gak bakal keluar lagi karena sudah cukup larut. Tapi salah, Aquilla pergi bertepatan dengan kita yang lagi gak ngawasin gadis itu," jelas salah satu orang yang ditugaskan mengawasi Aquilla 24 jam.

"Salsa menjadi dugaan kita yang paling kuat. Banyak alasan untuk gadis itu nyulik Aquilla," Thian berucap saat mereka dalam keadaan hening cukup lama. Pria itu menghembuskan nafasnya sebelum kembali berucap. "Gue harap kita gak saling menyalahkan dan mencari solusi tentang penculikan Aquilla." Lanjut Thian yang mendapat anggukan semua anggota. Kecuali Albert.

"Kalian semua bisa pergi. Pulang. Istirahat. Masalah ini kita pikirkan lagi besok di sekolah," ucap Albert dingin meski ada perhatian di dalam ucapannya.

"Kita duluan,"

"Oke bro."

Satu persatu dari mereka meninggalkan ruangan itu. Menyisakan Albert dan para sahabatnya. Mereka yang paling cemas terhadap gadis itu. Gadis yang sudah menjadi bagian dari persahabatan mereka.

"Kita harus nyari bukti kalau emang gadis itu yang nyulik Aquilla,"

"Gue punya ide!"

[TMS #1] AQUILLA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang