epilog;

9.6K 372 64
                                    

Seorang gadis tengah duduk gelisah disebuah bangku bandara. Matanya menatap ke kanan dan ke kiri. Seolah sedang mencari sesuatu atau__ seseorang?

"Kamu butuh sesuatu sayang?"

Pertanyaan itu sukses membuat Aquilla menengok dengan cepat kearah ibu tirinya. Gadis itu tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya.

"Kenapa sayang?" Kini ayahnya yang berganti melontarkan pertanyaan.

"Bukan apa-apa Daddy,"

"Yakin? Kamu tidak sedang menunggu seseorang kan? Sebentar lagi kita berangkat," ucap Dandy membuat Aquilla meremas tali tas selempang miliknya.

Aquilla menggeleng. Akan tetapi dalam hatinya, gadis itu ingin seseorang datang. Untuk setidaknya mengucapkan selamat tinggal.

"Kamu sudah berpamitan dengan Arion?"

"Sudah. Kemarin aku sudah ke rumah aunty,"

"Bagus kalo seperti itu. Berarti tidak ada lagi beban mu disini."

ADA DADDY!! JELAS ADA!!

Aquilla bungkam. Memainkan jari jemarinya dengan gelisah. Bukankah ini yang kau inginkan Aquilla? Kenapa kau gelisah?




***




TIN. TIN. TIN.

Suara klakson kendaraan saling bersahutan. Suara yang sangat memekakan telinga itu benar-benar membuat siapa saja yang mendengarnya emosi tingkat tinggi. Sudah cuaca panas, pikiran panas, hati panas. Lengkap sudah penderitaan para pengendara di ibu kota.

Ditengah riuhnya suara klakson, seorang pria berlari dipinggir trotoar. Kakinya yang panjang menjadikan langkahnya semakin lebar. Pria itu tak henti-hentinya mengumpat. Kenapa harus macet disaat seperti ini? Tapi ini ibu kota, macet adalah hal yang sudah menjadi tradisi.

"Gue bakal lari." Albert menengok arloji yang melingkar ditangan kirinya. "Butuh 20 menit kalo gue lari dan butuh 1 jam lebih kalo tetep naik mobil. Dan kita bakal ketinggalan pesawat Aquilla."

"Lu yakin?" Tanya Arion sedikit ragu. Pasalnya Albert itu sedang sakit. Awalnya pria itu terkejut mendengar kabar kalau Aquilla akan menetap diluar negeri. Ia langsung kalut dan meminta Arion menjemputnya. Dan disinilah dia berada. Didalam mobil dan terjebak macet.

"Gak ada waktu buat mikir. Gue duluan,"

Itulah alasan kenapa sahabat kecil Aquilla itu melakukan hal gila seperti ini. Lalu apa yang bisa dilakukan kalau pada dasarnya hati sudah terlalu jatuh? Meski menyebrangi lautan pun akan ia lalui. Okay ini sedikit gila tapi itulah kenyataannya. Asalkan menaiki kapal.

"SHIT!!"

Lagi-lagi umpatan keluar dari bibir pucat pria itu. Ia mulai terengah-engah. Bulir-bulir keringat sudah membasahi pelipisnya.

Albert menghela nafas lega saat ia tiba di bandara. Pria itu tetap berlari. Tak memperdulikan setiap orang yang ditabraknya. Yang terpenting sekarang adalah bertemu gadisnya.

Albert mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Berharap menemukan gadis itu. "Angkat Aquilla angkat," gumamnya penuh frustasi.

Tapi nihil. Gadis itu tak mengangkat panggilan entah yang keberapa kalinya.

Apa gadis itu sudah check-in? Atau lebih parahnya lagi sudah berangkat?

Albert menggeleng. Berusaha menghilangkan pikiran-pikiran buruk itu.

Pria itu kembali mengedarkan pandangannya. Tatapan tajamnya meneliti dengan sangat jeli. Hingga tatapannya jatuh pada seorang gadis yang tengah menunduk. Tank top model crop dipadu dengan rok jeans pendek mampu membuat Albert mengenali siapa gerangan gadis itu. Oh jangan lupakan outer putih yang transparan itu. Bukankah sudah jelas gaya Aquilla banget?

Dengan langkah pasti Albert mulai mengikis jarang diantara mereka. Detak jantungnya memompa dua kali lebih cepat. Oh lihat betapa gugupnya pria itu.

"Aquilla," panggilnya lirih.

Gadis yang menunduk tadi mendongakkan kepalanya. Matanya membulat melihat Albert berada tepat di depan matanya.

Bagaimana dia bisa sampai disini? Oh astaga aku ingin sekali memeluknya. Betapa aku sangat merindukan pria ini.

"Aquilla," panggil Albert lagi saat tak mendapat balasan dari sang gadis.

Aquilla tersadar dari lamunannya. Saat merasakan tepukan lembut di punggungnya. Gadis itu menengok. Mendapati sang ibu mengangguk. Seolah menyuruh Aquilla menyelesaikan masalahnya dengan Albert.

"Selesaikan masalah mu dengan Albert. Mom akan menyusul Daddy mu dulu sayang,"

Monica yang paham situasi memilih undur diri. Memberi ruang pada sepasang remaja itu menyelesaikan masalah mereka.

"Bisa bicara sebentar?" Albert bertanya.

"Iya?"

"Kau akan pergi?"

Kamu sudah tau jawabannya kenapa masih bertanya Albert?

"Seperti yang kamu lihat," balas Aquilla singkat. Matanya enggan menatap pria yang masih setia berdiri di hadapannya.

Albert tersenyum kecut. Gadis itu bahkan masih tak mau menatapnya.

"Maaf,"

Albert jongkok. Duduk dibawah kaki Aquilla. Menggenggam tangan gadis itu dengan erat.

"Kamu ngapain? Bangun," Aquilla merasa tak enak dengan posisi ini.

"Maaf Aquilla maaf," Albert menenggelamkan wajahnya ditangan sang gadis. Menangis atas segala hal dimasa lalu.

"Ak--aku udah maafin," balas Aquilla dengan lirih. Jelas sekali kalau gadis itu sedang menahan tangis.

"Seharusnya gak semudah itu. Setidaknya kamu hukum aku Aquilla." Ucap Albert dengan suara seraknya. Matanya yang berair menatap Aquilla dengan penuh terluka. Ia juga terluka, sama seperti gadis itu.

"Udah, aku udah hukum kamu dengan cara aku menjauh dari kamu." Aquilla menggeleng. Dan itu sukses membuat satu tetes air mata keluar dari pelupuk mata indah itu.

Albert menjulurkan tangannya. Mengusap air mata yang mengalir dari mata coklat terang sang gadis. "Jangan nangis,"

Apa semua perempuan seperti ini? Semakin kencang menangis saat disuruh berhenti.

"Jangan nangis Aquilla," Albert berucap parau. Pria itu menyuruh Aquilla berhenti menangis tapi tangis diri sendiri tak juga kunjung reda.

"Maafkan aku yang terlalu kekanakan selama ini,"

Albert menggeleng. "Aku yang salah. Aku yang salah telah membuat air mata ini terus jatuh,"

"Peluk aku,"

Albert yang mendengar itu dengan segera merengkuh tubuh Aquilla kedalam pelukan hangatnya. Tangannya dengan erat mengungkung tubuh Aquilla. Seolah tak rela jika gadis itu pergi. Meski kenyataanya sang gadis akan tetap pergi.

"Maaf Aquilla maafkan aku,"

Albert beberapa kali mencium puncak kepala Aquilla yang masih terisak di dada bidangnya. Menyalurkan perasaannya lewat ciuman itu.

"Aku mencintaimu,"

"Aku juga mencintaimu, Nicola."

















Udah puas dengan akhirnya?
Extra part? Atau gini aja?

[TMS #1] AQUILLA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang