TUJUH

365 10 3
                                    

"Nanti kalau gue ngilang, jangan kangen ya? Gue gak mau lo nyesel."

*****

Kalau malam-malam sebelumnya hanya mimpi bagi Raya, jalan berdua dengan Devano kali ini adalah nyata. Ingin tak percaya tapi itulah yang terjadi dengan takdir mereka.

"Abis dari mana?" Tanya Raya di sela mereka berjalan dalam keadaan yang sempat hening.

"Nyari gue, kan?" Raya menjawab pertanyaannya sendiri lalu setelahnya tertawa keras mengingat kepedeannya yang luar biasa. "Hahaha!"

"Lo lucu, makanya gue suka."

Bahkan di tengah-tengah tertawanya yang gak bisa dia rem, mulutnya masih sempat mengeluarkan kalimat bodoh. Sementara Devano hanya diam tak melirik atau tersenyum sedikitpun, seakan-akan dia sedang berjalan seorang diri tak terpengaruh sedikitpun dengan apa yang Raya lakukan atau simpelnya menganggap Raya tak ada.

Karena sadar Devano hanya diam, Raya ikut kembali diam. Dalam hati dia merasa kesal tapi kesenangannya bisa jalan berdua dengan Devano melupakan perasaan yang lain sampai dia tak sadar kalau yang sedang mereka lewati adalah jalan menuju ke arah rumahnya.

Rumah mereka tak searah, sejalan, tapi untuk apa Devano berada di jalan ini?

"Tunggu-tunggu!" Raya berhenti mendadak sembari memegang lengan Devano bermaksud menghentikannya. "Ini kan, jalan rumah gue, lo kenapa ada di sini?"

"Lo ngode?"

"Ngode darimana?"

"Kalimat lo."

"Kalimat mana, salah nangkep kali, gue kan cuma bilang kalau perasaan ini jalan menuju ke rumah gue."

"Hmm," Devano menatap datar Raya yang rupanya sedang celingak-celinguk memastikan jalanan. "Makanya kalo mimpi jangan kelamaan."

"Apaan sih, emang bener gue gak mimpi!"

Devano berdecak tak berniat membalasnya lagi, niat ingin melanjutkan jalan tapi tertahan oleh genggaman erat jemari Raya pada lengannya hingga dia hanya bisa berdecak.

"Jawab dulu lah." Raya merengek. "Ini beneran jalan ke rumah gue, kan?"

"Halu lo tinggi, pantes bodoh."

"Apa hubungannya sayang?"

"Ada."

Raya tertawa keras, genggamannya pada lengan Devano sedikit mengendor. Dia tertawa karena merasa geli mendengar Devano menanggapi kalimatnya yang mengikutsertakan kata sayang.

"Kalau gue bodoh dan lo pinter, anak kita bakal terlahir kreatif. Percaya deh sama gue."

Devano berdecak, memutarkan kedua bola matanya malas. Dia mencoba melepaskan lengannya dari Raya tapi tak bisa karena semakin coba dilepas, genggamannya akan semakin kuat.

"Jawab dulu baru gue lepas."

"Menurut lo?" Dengan nada datar sekaligus malas Devano menjawabnya.

"Kalau gue tau, gue gak akan nanya!"

"Terserah." Devano melepaskan dengan tenaga aslinya agar bisa terlepas dari genggaman yang masih tertahan oleh jemari Raya dan dia berjalan pergi menuju ke arah depan beberapa langkah.

Tepatnya dia berjalan menuju salah satu tempat parkiran, motor matic warna putih adalah motornya. Raya hapal itu dan sejenak dia baru sadar kalau ini bukanlah gang menuju rumahnya. Wassalam, haluan Raya udah jauh banget.

"Naik!" Seru Devano yang tiba-tiba menghentikan motornya tepat di depan Raya.

"Kemana?"

"Belakang."

"Ha?" Raya terlihat cengo karena tak paham dengan maksud ucapan Devano.

Sementara cowok itu berdecak, tangannya bergerak untuk menyentil pelan dahi Raya.

"Aduhhh!" Rintihnya kesakitan ketika Devano benar-benar menyentil dahinya.

Raya mengusap pelan dahinya sembari bibirnya bergerak maju beberapa centi dengan komat kamit dia menyumpah serapahi cowok di hadapannya ini dalam hati, berharap agar suatu saat nanti akan menjadi jodohnya.

"Naik atau gue tinggal!"

Mendengar itu, tentu saja tanpa basa-basi lagi Raya langsung duduk di belakang Devano dengan senyuman yang gak bisa di lepas. Kali ini fia baru menyadari satu hal kalau yang namanya kesempatan gak akan pernah datang dua kali, sekali udah datang gak boleh di sia-siain.

Tapi yang Raya kesalkan setelah Devano lanjut melajukan motornya, keadaan masih saja terasa hening. Mulut Raya gatal tapi dia gak bisa lagi mengajak Devano bicara, rasanya sudah terlanjur kesal sedari tadi di abaikan. Dirinya ada tapi di anggap seolah tak ada. Raya sadar akan hal itu, ya tapi mau bagaimana lagi?

Akan tetapi Raya belum mau menyerah dengan mudahnya seperti itu. Mumpung jalanan tidak terlalu ramai dan masih tersisa beberapa menit sebelum sampai di depan rumahnya, Raya masih punya kesempatan.

Atau mungkin dia harus mengubah topiknya?

"Devano?"

"Hmmm." Devano hanya berdehem di balik helm dua warna antara cokelat dan mocca itu.

Tak langsung mengatakan, Raya hanya memandang punggung Devano dengan tatapan ragu sebelum akhirnya matanya terpejam untuk mengambil napas dalam-dalam dan mengeluarkannya. Raya perlu mengatakan ini sebelum tak ada lagi kesempatan.

"Ada yang mau gue bicarain."

"Hmmm?"

"Tapi lo gak boleh nanya-nanya lagi selepas ini, janji?"

"Hmmm."

Kembali mengambil napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan pelan, matanya masih terus terpaku pada punggung Devano. Raya yakin fokus Devano hanya ada pada jalanan.

"Nanti kalau gue ngilang, jangan kangen ya? Gue gak mau lo nyesel."

Dengan pelan sangat pelan Raya mengatakan kalimat itu, matanya terus menatap punggung tegap milik Devano yang suatu hari nanti dia bayangkan bisa menjadi tempat sandaran di bumi. Tapi tiba-tiba tatapan mata Raya berubah menjadi sendu, dia hanya membenci keadaan yang belum memihak kepada dirinya dan terlalu membenci dirinya sendiri karena sudah salah jatuh cinta pada orang yang bahkan tak peduli sedikitpun pada perasaannya.

Kalimat yang terucap beberapa detik yang lalu hanya terjawab oleh hening. Akhirnya Raya memutuskan untuk ikut membiarkan angin malam berbicara. Entah kemana Devano akan membawanya, Raya tak peduli.

Saat ini Raya hanya ingin menghilang dari hadapan Devano untuk sementara. Jika bertanya kenapa, Raya tak tau alasannya.

ABU-ABUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang