10

17.9K 1.1K 53
                                    

Wajah kuyu dan mata sayu Danar membuat Nara terusik. "Mas sakit?" tanya Nara khawatir.

"Harusnya Mas kabari aku kalau pulang hari ini, jadi aku bisa tukar hari libur kerja atau izin ganti shift untuk masuk pagi hari ini," ujar Nara seraya menyimpan tasnya. "Mas sudah makan?"

Danar menggeleng lemah, membuat Nara semakin menyesali tidak hadir di saat Danar membutuhkannya. Jam menunjukkan pukul setengah sebelas malam, Nara baru menyelesaikan shift siangnya, hingga menelantarkan suaminya sendiri. Di atas nakas ada beberapa bungkus obat dan mangkuk bekas bubur, jadi Danar sudah memanggil dokter pribadinya sendiri, pikir Nara.

"Maafin Nara ya Mas," ucapnya sedih. Lalu membelai lembut kepala suaminya yang terasa hangat itu. "Mas mau makan apa? Nara buatkan ya?"

"Apa saja," jawab Danar.

Kemudian Nara meminta Danar untuk menunggu, berlari menuju dapur membuka pintu kulkas dan melihat ada bahan makanan apa saja yang bisa dimasak. Namun hanya ada telur dan sosis yang mengisi kulkasnya. Nara baru ingat selama lima hari Danar ke luar kota, ia tidak pernah memasak hingga tidak menyadari isi kulkasnya sudah kosong.

Mengambil ponselnya dari saku celana, Nara membuka aplikasi untuk memesan makanan. Nara berdecak kesal mendapati aplikasi itu sepertinya sedang mengalami gangguan, padahal pulang kerja tadi ia masih bisa memesan ojek. Nara berlari keluar rumah, sambil berpikir penjual makanan apa yang masih buka, dengan jarak terdekat dari rumahnya.

Angin yang berembus kencang, juga langit tanpa bintang tak menghentikan langkah Nara. Mungkin karena cuaca hujan yang cukup intens mengguyur Jakarta, membuat para pedagang tidak berjualan sampai larut malam seperti ini. Sampai ucapan syukur lolos dari bibirnya kala penjual soto ayam yang tengah membereskan dagangannya itu, mengatakan kalau masih ada sisa satu porsi lagi.

Nara berjalan cepat, tak mau sang suami kelaparan karena kelalaiannya tidak menyimpan stok bahan makanan di rumah. Rintik air hujan mulai turun membasahi rambutnya yang diikat ekor kuda. Nara mengubah langkahnya menjadi berlari, saat hujan semakin deras. Nara memasuki rumahnya dengan tubuh yang basah, menuju dapur, menuang soto ayam dan nasi yang ia beli ke dalam mangkuk dan piring. Tanpa sempat mengganti bajunya atau merapikan penampilannya, Nara masuk ke dalam kamar membawa hidangan itu untuk suaminya, namun bukan terima kasih yang ia dapat, melainkan tatapan nyalang dari Danar.

***

Danar ingin marah tapi tenaganya hanya cukup memberikan tatapan tajam pada Nara. Apa-apaan, hujan-hujanan hanya demi membelikannya makanan, tidak makan sampai besok pagi pun, tidak akan membuatnya mati. Ingin mencari perhatian, huh?

"Maaf Mas, menunggu lama. Nara beli dulu ke depan. Nara tadinya mau masak, tapi Nara belum belanja stok bahan masakan. Maaf ya Mas," ucap Nara sambil menahan dingin pada tubuhnya.

"Nara ganti baju sebentar ya Mas, nanti Nara suapi makannya."

Danar melengos, amarahnya tertahan di ujung lidah. "Jangan terlalu baik pada saya Nara," ucap Danar dalam hati.

***

"Mas Danar," sapa Nara dengan manis, lalu mencium punggung tangan kanan Danar. Hal sepele yang tidak pernah dapatkan dari Echa.

Bersama Nara, Danar merasa begitu dihargai dan dihormati. Apa mungkin karena status mereka yang sudah suami istri? Yang jelas berbeda dengan status Danar dan Echa, yang hanya berpacaran. Itupun sembunyi-sembunyi karena Echa tidak ingin media mengetahuinya dan akan mengganggu kariernya sebagai model. Meski begitu Danar sanggup menjalin hubungan tak jelas itu hingga empat tahun lamanya bersama Echa.

Nara juga langsung masuk ke mobil tanpa menunggu Danar membukakannya seperti kebiasaan Echa. "Mas sudah makan?" tanya Nara seraya mengusap lembut pipi suaminya. "Hari ini bagaimana pekerjaan Mas di kantor? Lancar?" Dan lagi-lagi pertanyaan remeh seperti itu tidak pernah Echa berikan padanya.

Baby Between Us ✅ (Available On KaryaKarsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang