14

16.8K 1.3K 92
                                    

"Tidak perlu begini Mas." Nara menghentikan langkahnya secara tiba-tiba saat Danar terus berusaha merangkulnya.

"Hujan Nara, deras sekali. Apa salahnya?" tanya Danar atas penolakan Nara.

"Payung ini lebih dari cukup melindungi kita berdua, sudah cukup aktingnya Mas. Sudah ya," pinta Nara pelan.

Danar rupanya tidak peduli dengan penolakan Nara, dan mengeratkan genggamannya pada payung yang ia gunakan untuk melindungi dirinya dan sang istri dari tetesan hujan.

Paman dan Bibi Nara menyambut kedatangan mereka di rumah milik mendiang orang tua dari Ibu Nara itu. "Paman, Bibi sedang menginap disini?" tanya Nara, karena yang ia tahu ibunya seorang diri menempati rumah ini.

"Iya," sahut Zaenal suami dari bibinya itu.

"Bersih-bersih dulu Nar, baru ketemu ibu kamu." titah Wiwi, bibi Nara yang mengantar Nara dan Danar ke kamar yang biasa Nara tempati jika berkunjung.

Perasaan Nara mulai tidak karuan, karena sang Ibu tidak ikut menyambut kedatangannya. Rumah neneknya ini tidak begitu besar, Ibunya pasti mendengar jika ada tamu yang datang. Atau ibu sudah tidur, tapi jam baru menunjukkan pukul delapan malam. Apa mungkin ibu masih marah? Pikir Nara.

Kegelisahan Nara terjawab kala ia memasuki kamar Ibunya, mendapati sang ibu tengah terpejam dengan selimut yang menutupi hingga sebatas dada. Wajah Ibunya terlihat begitu pucat, tubuhnya terasa dingin saat Nara menyentuhnya. Mengempaskan pikiran buruknya, Nara berpikir positif dingin yang ia rasakan pada tubuh ibunya sebenarnya dari dirinya sendiri yang sedikit terkena air hujan saat turun dari mobil dan masuk kedalam rumah.

"Bu," panggil Nara pelan seraya merapikan anak rambut di sisi kanan wajah ibunya.

Ibu Nara membuka mata, sedikit terkejut dengan siapa yang ia lihat. Namun, hanya sesaat karena ia langsung menatap putrinya penuh haru. Nara lantas memeluk tubuh lemah ibunya yang terbaring itu. Mereka saling memeluk, melepas kerinduan selama berbulan-bulan tidak bertemu.

"Bu, Nara kangen. Nara kangen banget sama Ibu," ucap Nara diiringi tangisnya. "Maaf Nara baru bisa datang kesini Bu," lanjutnya tanpa mengurai pelukan mereka.

"Ibu juga Nak. Ibu juga kangen Nara." balas ibunya. "Nara baik kan? Nara sehat selama nggak tinggal sama Ibu?" tanyanya.

"Sehat Bu, Nara Baik Bu," jawab Nara. "Ibu sendiri bagaimana? Ini, ibu sakit apa?" Nara menyentuh lengan lalu kening serta wajah ibunya yang masih terasa dingin baginya.

"Ibu baik-baik saja Nara."

"Ibu sakit? Sakit apa Bu? Kenapa gak pernah kasih tahu Nara? Ibu masih marah ya sama Nara?" tanya Nara pilu.

"Ibu minta maaf atas sikap ibu waktu itu. Maaf, karena ibu terlalu marah sama kamu. Tanpa memikirkan bagaimana perasaan kamu, apa sebenarnya yang terjadi dengan kamu. Maafkan Ibu ya Nara. Ibu menyesali semua sikap buruk Ibu. Ibu percaya anak ibu, anak baik. Ibu percaya sama Nara," tutur Irma menyesali perbuatannya dulu. Ia memang marah tapi setidaknya ia tidak perlu sampai membuang dan tidak peduli pada Nara sama sekali.

"Bu, bagi Nara kemarahan ibu wajar, Nara memang salah. Nara mengecewakan ibu dan bapak. Apalagi Bapak meninggal gara-gara Nara." Nara merasakan nyeri pada hatinya saat mengingat kematian sang Ayah. "tapi mendengar kalau Ibu percaya sama Nara. Nara sudah sangat bersyukur Bu. Terima kasih sudah percaya sama Nara."

"Sudah semestinya ibu percaya sama Nara. Nara anak ibu. Ibu yang membesarkan dan mendidik Nara. Ibu terlalu emosi saat itu. Dan soal Bapak, itu sudah takdir Nak. Bukan karena kamu," jelas sang Ibu.

Nara kembali memeluk ibunya.

"Jujur, ibu sangat menyesal. Sampai pernikahan anak ibu sendiri, ibu tidak datang. Ibu sudah keterlaluan Nara. Maafkan Ibu."

Baby Between Us ✅ (Available On KaryaKarsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang