Part 9

3.9K 211 20
                                    

"Apakah kamu betah berada di rumah seperti ini, Arkan? Kamu masih bisa memilih, tinggalkan dia dan kembali ke rumah? Atau lebih memilih kehilangan wanita sepertiku yang sudah banyak berjasa di hidupmu?"

_____________

Arkan terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Bundanya. Walaupun ia sudah menduga hal ini akan terjadi, tapi tetap saja ia merasa sulit untuk menentukan pilihan.

"Bukankah kita sudah pernah membahas tentang ini sebelumnya, Bun? Dan Bunda sudah tahu jawabannya!" balas Arkan.

"Pikirkan lagi, Arkan!" gertak Elisa bundanya Arkan.

"Tidak, Bunda! Keputusan Arkan akan tetap sama, apa pun yang terjadi Arkan akan selalu bersama Alisa!"

Elisa tersenyum sinis, "Kamu tidak akan bertahan lama, hidup dalam kemiskinan, Arkan! Dari kecil kamu sudah terbiasa dalam kemewahan."

"Terserah, Bunda! Arkan akan tetap pada keputusan awal. Arkan akan meninggalkan semuanya demi masa depan Arkan."

Terlihat raut wajah Elisa merah padam menahan amarah, ia langsung menghampiri Alisa yang berada tak jauh di belakang Arkan.

"Kau sudah berhasil memisahkan aku dengan anakku. Aku akan membuat perhitungan denganmu. Ingat itu!" tuding Elisa.

"Dan kamu Arkan, kamu akan menyesal, telah memilih gadis itu dibandingkan bundamu sendiri!" ucap Elisa, seraya meninggalkan kediaman Alisa.

Setelah ibu mertuanya pergi, Alisa langsung mendekati sang suami. "Mas Arkan!" panggil Alisa.

"Kamu panggil aku dengan sebutan apa, Lisa?"

"Mas Arkan!" balas Alisa sedikit kikuk.

"Terima kasih, Alisa. Aku senang kau memanggilku dengan sebutan itu," ucap Arkan seraya menarik tubuh Alisa ke dalam pelukannya.

Alisa melepaskan pelukan suaminya dan mengajaknya untuk duduk di sofa butut miliknya. "Mas, apa yang diucapkan Bunda Elisa benar. Kamu harus memikirkan ulang tentang keputusanmu. Mas Arkan sudah terbiasa dengan kehidupan mewah, sedangkan aku hanyalah gadis penjual roti. Perbedaan kita ini sangat jauh, bagaikan bumi dan langit."

"Apakah kamu tidak mau, hidup susah bersamaku?"

"Bukan begitu, Mas. Ak-"

"Dengar ya, Lisa! Keputusan ini sudah kupikirkan matang-matang. Dan kita juga sudah membahas hal ini, sehari sebelum kita menikah!"

"Jangan salah paham padaku! Aku hanya tidak ingin, suatu saat nanti Mas menyesal. Dia bunda yang sudah melahirkan dan membesarkan Mas Arkan, sedangkan aku hanya seorang wanita biasa yang baru saja Mas kenal. Aku tidak ingin keputusan Mas sekarang, membuat sesal di kemudian hari!"

Arkan menggenggam jari-jemari Alisa, menatap sendu ke arahnya. Dia sangat menyesalkan, mengapa Alisa tidak mendukung keputusannya? Seakan tidak percaya kepadanya.

"Aku bukannya tidak mempercayaimu, Mas. Hanya saja, banyak ketakutan-ketakutan yang menghampiriku. Mas lihat sendiri, aku hanya punya sofa butut dan kasur keras untuk kita tiduri. Tidak mungkin Mas Arkan akan kerasan tinggal di sini!" sambung Alisa, seperti tahu apa yang tengah dipikirkan Arkan.

Arkan menarik napas panjang, sulit sekali meyakinkan wanita di hadapannya. Dia memang terbiasa hidup dalam kemewahan, tapi dia juga sudah bosan hidup dalam kemewahan dan selalu dalam kekangan sang bunda.

"Alisa, aku tidak meminta apa-apa padamu! Cukup percaya padaku. Kita buktikan pada bunda, kalau kita bisa bahagia walaupun tanpa harta bunda," ucap Arkan. "Kamu jangan pernah berpikir, aku tidak nyaman berada di sini. Jangankan tidur di kasur kerasmu, tidur beralaskan tikar pun tak apa! Karena bagiku, berada di dekatmu saja itu suatu kenyamanan dan ketenangan yang tak bisa kuucapkan lewat kata."

Cinta Seorang Mualaf (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang