Butiran hujan dari langit turun membasahi bumi. Seakan turut menangis dengan apa yang tengah Alisa rasakan. Di sebuah pojokan kamar, Alisa duduk dengan memeluk kedua lututnya. Air mata berlinang deras membasahi pipi. Tampak jelas kedua kelopak mata Alisa membengkak karena tak henti-hentinya menangis.
Cobaan yang datang bertubi-tubi tiada henti. Seakan tak memberi jeda waktu padanya untuk merasakan sebuah kebahagiaan. Bukan hal mudah bagi Alisa untuk bisa bangkit dari semua ini! Apalagi setelah sang ibu meninggal, ditambah lagi sekarang harus siap kehilangan Arkan dari kehidupannya.
Hanya penyesalan yang kini berkecamuk hebat di dalam diri. Menyesal karena selama ini tak pernah jujur akan cinta yang ia miliki untuk lelaki itu. Penyesalan yang mungkin selamanya akan selalu menghantui hidupnya.
Alisa beranjak dari duduknya, mengambil beberapa lembar foto pernikahan yang tersimpan rapi di album foto. Ia menatap sendu foto Arkan, senyumnya pudar kala mengingat perjalanan cintanya yang penuh liku.
Kebersamaan dengan Arkan kembali terkenang. Air mata menetes membasahi album foto yang tengah dipegang Alisa. Waktu bergulir begitu cepat, baru beberapa bulan takdir menyatukan mereka dalam ikatan perkawinan. Kini mereka harus terpisah karena keegoisan seseorang.
Istri mana yang tak ingin selalu berdampingan dengan suaminya, apalagi saat suaminya tengah sakit seperti Arkan. Ingin rasa hati untuk memeluk sang kekasih halal, mencurahkan semua isi di hati. Mengatakan kejujuran cinta yang selama ini selalu tersimpan rapat di dalam relung kalbunya.
Akankah kisah cinta mereka terulang? Di mana dua insan mencintai dalam diam. Bukan karena keangkuhan yang menguasai diri, hanya karena masa lalu yang terus menghantui. Kini Alisa sadar, mencintai Arkan, ibarat pungguk merindukan bulan. Sampai kapan pun akan sulit baginya untuk mendapatkan restu dari Elisa.
Alisa membuka laci kecil di samping tempat tidurnya. Ada kertas putih yang berisikan alamat orang tuanya. Haruskah ia mencari alamat itu? Meninggalkan semua kenangan manis bersama sang suami.
Dia meremas kertas putih itu, mendekap erat dalam dadanya. "Suatu hari nanti, aku akan kembali untuk menjemput kepingan hati yang tertinggal di sini."
Tekad Alisa sudah bulat ia akan mencari orang tua kandungnya. Satu janji yang akan selalu tersimpan rapi, kelak ia akan kembali, membuktikan pada dunia, cinta Alisa pada Arkan tak akan mudah untuk dipisahkan.
Alisa menghapus butiran bening di pipi, ia yakin akan secepatnya bertemu dengan kedua orang tuanya. Mungkin inilah jalan terbaik dari Tuhan. Agar dia bisa lebih baik lagi menata masa depan.
"Assalamualaikum." Ucapan salam dari seseorang membuyarkan lamunannya.
Alisa keluar dari kamar dan langsung membuka pintu. Memastikan siapa orang yang tengah bertamu ke rumahnya.
"Waalaikumsalam," balas Alisa.
Alisa tersenyum saat mendapati sang bibi yang bertamu ke rumah. Ia langsung berhambur memeluknya, menumpahkan segala kesedihannya di sana.
"Sabar, Nduk. Mungkin ini semua sudah menjadi jalan takdirmu. Percayalah skenario Allah jauh lebih baik dari apa yang kita rencanakan."
"Bibi sudah tahu?" tanya Alisa seraya menuntun bibinya masuk.
"Tadi tidak sengaja bibi bertemu Rojali di jalan. Dia menceritakan semua masalah yang sedang menimpamu. Ini bibi membawa makanan untukmu. Makanlah!"
Alisa mengangguk. "Terima kasih, Bi."
Alisa membuka rantang yang dibawa oleh bibinya. Mengisi perut yang sedari tadi keroncongan meminta untuk diisi. Lalu ingatannya kembali pada Adnan, ia sudah terbiasa dengan kehadiran lelaki itu. Semur jengkol dan ikan asin yang tadi sempat menggoda selera, kini seperti tak ada rasa.
"Hadirmu sudah menjadi candu yang sulit untuk kuhilangkan dari hati dan pikiranku, Mas," batin Alisa.
-o0o-
Keesokan paginya, Alisa sudah bersiap untuk berangkat mencari kedua orang tua kandungnya. Berpisah dari Arkan memang bukan pilihan terbaik. Namun, mencari keberadaan orang tuanya, demi menata masa depan yang lebih baik itulah jalan terbaik.
Setelah berpamitan pada bibi dan tetangga sekitar, Alisa berangkat menuju terminal dengan diantar Bang Rojali. Ia bersyukur masih ada orang-orang yang peduli dan memperhatikan dirinya. Hanya dengan bermodal nekat, Alisa melakukan perjalanan yang cukup jauh Jakarta-Lampung.
Hampir tiga jam sudah, Alisa berada di kapal air. Ia memandang takjub pada pemandangan laut yang berada di depan matanya. Alisa memejamkan mata, membiarkan angin laut meniup lirih setiap inci dari wajahnya. Mencoba untuk berdamai dengan suasana hati, yang merana karena jauh dari sang kekasih hati.
Sepoinya angin, menyibakkan kerudung pasmina yang dipakai oleh gadis pemilik mata sendu itu. Memberikan kesan sejuk pada hatinya yang tengah memanas. Deburan ombak seakan menyapa hangat, ruang hati yang kini mulai terasa kosong dan hampa. Bersenandung lirih, melantunkan ayat-ayat cinta yang tak mungkin 'kan kembali.
"Apakah kamu menyukai suasana laut?" tanya lelaki yang kini telah berdiri di samping Alisa.
Alisa menoleh sebentar, lalu kembali menatap ke tengah lautan. "Tergantung suasana hati," balas Alisa singkat.
Lelaki itu tersenyum. Kedua netranya terus memandangi gadis di sampingnya. Entah mengapa ia begitu tertarik untuk mengenal lebih jauh tentang gadis itu?
"Kalau boleh saya tahu, kamu akan pergi ke Lampung mana?"
Laila mengambil secarik kertas dari dalam tas, dan memberikan langsung pada lelaki itu. "Aku ingin mencari alamat itu, apakah kamu mengenal tempat itu?"
Lelaki itu mengangguk. "Tentu saja aku tahu, tempat ini berada tak jauh dari rumahku. Nanti aku akan mengantarkanmu ke sana."
"Terima kasih, maaf bila merepotkanmu!"
Alisa tersenyum lega, setidaknya ia bersyukur ada seseorang yang akan mengantarkannya menuju tempat orang tuanya berada.
"Perkenalkan aku Danis!" Lelaki itu mengulurkan tangannya.
"Alisa," balas Alisa.
Danis tersenyum. Pertemuan yang sangat berkesan di hatinya. Apalagi tempat yang gadis itu tuju tidak jauh dari tempat tinggalnya. Hatinya berdesir lirih, gadis pemilik mata sendu itu telah berhasil mencuri perhatiannya.
Menjelang siang, kapal berlabuh di pelabuhan Bakauhuni. Danis yang sudah dijemput oleh sopir pribadinya, langsung mengajak Alisa untuk menaiki mobilnya.
"Aku jadi tidak enak hati padamu. Baru juga kenal, sudah merepotkanmu!"
Danis terkekeh. "Tidak apa-apa, Sa. Kita masih satu jalur kok!"
Perjalanan yang cukup jauh, karena dari Bakauhuni sampai ke tempat tujuan memakan waktu hampir lima jam perjalanan.
"Sedari tadi aku tidak melihatmu memasukkan apa pun ke perutmu. Apa kamu tak merasa lapar?"
Alisa menggeleng, seraya memasang senyum yang berusaha ia tunjukkan semanis mungkin. "Aku sedang berpuasa!"
Alisa memang tidak bohong, ia sengaja berpuasa sunah, selain karena hari kamis yang disunahkan untuk berpuasa, Alisa juga tidak memiliki uang untuk bekal jajannya. Beruntung Bang Rojali memberinya uang, katanya uang itu dari hasil bekerja Arkan hari kemarin, sebelum terjadi kecelakaan padanya.
"Wah hebat, kamu tetap berpuasa sekalipun tengah melakukan perjalanan yang cukup jauh!" puji Danis, yang langsung Alisa jawab dengan senyuman singkat.
Alisa bergeming, andai saja yang kini tengah menemani mencari orang tuanya itu Arkan. Tentu saja ia tidak akan sesedih ini. Lelaki itu telah berhasil mengukir kenangan indah yang sulit dihilangkan barang sedetik pun dari pikiran Alisa.
"Alisa, kita sudah sampai di alamat yang kamu cari!"
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Seorang Mualaf (Terbit)
RomanceAlisa Najwa Azzahwa, seorang gadis penjual kue yang hidup berdua bersama ibunya. Kekurangan ekonomi tidak membuat ia putus asa dan mudah menyerah. Tujuannya satu, ingin membahagiakan sang ibu di masa tuanya. Pertemuan tak terduga dengan pemuda berna...