Pemakaman Ibu Halimah telah selesai. Namun, Alisa masih larut dalam beban kesedihan yang teramat dalam. Baginya ditinggalkan sosok seorang ibu, bagaikan gelap tanpa pelita. Hidupnya seakan tak berguna lagi. Lengkung senyum yang selalu menghiasi bibirnya, kini berganti muram dan pucat.
Arkan yang menyadari akan hal itu, segera mendekati Alisa dan langsung memeluk tubuhnya. Membiarkan sang istri menumpahkan kesedihannya di dada bidangnya.
"Bila dengan menangis, bisa meringankan sedikit bebanmu, Menangislah! Bahuku selalu siap untuk menjadi sandaran kesedihanmu," ucap Arkan.
"Aku tidak terbiasa tanpa ibu, Mas."
"Ssst, bukankah kamu tahu, Sa. Kalau apa yang terjadi di dunia ini, tak luput dari takdir sang ilahi. Bukankah kita di dunia ini hanya mengembara? Kapan saatnya kita juga akan kembali kepada-Nya," balas Arkan.
"Aku belum bisa membalas semua jasa-jasanya dan aku juga belum bisa membahagiakannya!"
"Doakan ibu, Sa. Insyaallah ibu akan bahagia di surga sana!"
Alisa menghapus jejak air mata yang mengalir di pipinya. Mendengar ucapan sang suami membuat hatinya sedikit lebih tenang.
"Terima kasih, Mas!"
Arkan mengangguk dan mengecup singkat puncak kepala Alisa. Kalau saja boleh jujur, Arkan pun sama merasakan kehilangan di tinggal oleh ibu mertuanya. Ditambah lagi dengan sang istri, yang terpuruk dalam kesedihan yang mendalam. Membuat pikiran Arkan semakin kacau . Namun, ia harus kuat, demi menguatkan sang istri.
"Aku berjanji akan berusaha untuk selalu membuatmu tersenyum, mengganti semua luka dan kesedihanmu dengan kebahagiaan yang sejati!" batin Arkan.
_____________
Azan Subuh berkumandang dan kokokan ayam jantan saling sahut-menyahut. Membangunkan Arkan yang masih tertidur pulas di ranjangnya. Ia menggeliat, lalu tersenyum manis kala melihat wanitanya masih terlelap dalam mimpi indahnya.
Hampir semalaman menangis, membuat mata Alisa membengkak. Dikecupnya lama kedua mata sang istri, tanpa meminta izin terlebih dulu pada pemiliknya.
"Kamu adalah anugerah terindah, yang Allah berikan untuk melengkapi hidupku. Selama jantung ini masih berdetak, hanya kamu satu-satunya wanita yang akan aku cinta!"
Arkan turun dari ranjang dan langsung mengambil wudu, untuk melaksanakan salat dua rakaat. Membiarkan sang istri terlelap untuk beberapa menit lagi.
Alisa membuka matanya, sedari tadi ia mendengar apa yang Arkan ucapkan. Untuk ke sekian kali hatinya terenyuh, mendapatkan perlakuan manis dari Arkan. Kalau saja ia mampu menurunkan sedikit egonya, tentunya Alisa sudah berkata terus terang akan perasaannya pada Arkan selama ini. Namun, Alisa hanya bisa menunggu dan menunggu. Hingga waktu yang mengungkapkan dengan sendirinya, tentang semua isi di hatinya.
"Bangun, Sa. Sudah azan Subuh," ucap Arkan seraya mengelus puncak kepala Alisa.
Alisa pura-pura menggeliat. "Iya, Mas!"
Alisa beranjak dari tempat tidur dan langsung mengambil wudu untuk melaksanakan salat Subuh.
"Aku akan menemui Bang Rojali, katanya hari ini dia akan mengajakku kerja di proyek," ucap Arkan seraya menatap sendu ke arah Alisa, yang sedang melipat mukenanya.
"Bukankah kerja di proyek itu berat, Mas?"
"Menurutmu, berat kerja di proyek atau berat menanggung dosa, karena tidak bisa menafkahi istri?"
Alisa tidak bisa menjawab, kalau Arkan sudah berdalil seperti itu. Dia hanya bisa mengangguk dan mendoakan suaminya, agar selalu diberi keselamatan oleh sang Pencipta. Walaupun dalam hatinya, sungguh ia merasa tidak tega, suaminya bekerja serabutan seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Seorang Mualaf (Terbit)
RomanceAlisa Najwa Azzahwa, seorang gadis penjual kue yang hidup berdua bersama ibunya. Kekurangan ekonomi tidak membuat ia putus asa dan mudah menyerah. Tujuannya satu, ingin membahagiakan sang ibu di masa tuanya. Pertemuan tak terduga dengan pemuda berna...