"Arkan Billah Attailah, kau bekerja sebagai office boy? Apakah aku tidak salah lihat? Seorang direktur perusahaan besar se-Asia, lebih memilih jadi office boy hanya untuk mempertahankan wanita rendahan seperti itu!"
___________
Arkan menatap tajam ke arah wanita itu, sorot matanya memperlihatkan kalau ia tengah marah besar pada wanita di hadapannya. Marahnya bukan karena wanita itu sudah menghinanya, tetapi karena wanita itu sudah berani menghina istrinya.
"Jangan pernah menghina Alisa! Dia seorang wanita yang baik. Bahkan dia lebih baik darimu, Sofi!"
"Kau selalu saja membelanya! Ingat Arkan, dia hanyalah wanita miskin. Tinggalkan dia dan kau akan mendapatkan kembali seluruh hartamu!
Arkan tersenyum sinis. "Dia memang miskin harta, tapi dia kaya hati. Aku tidak akan pernah menyesal sudah menikah dengan wanita seperti dia. Walaupun kami hidup dalam kemiskinan, insyaallah hidup kami bahagia dan penuh dengan keberkahan."
"Kau-"
"Jangan pernah menganggap yang miskin itu rendah! Ingat Sofi, roda kehidupan itu berputar. Mungkin sekarang kamu sedang berada di atas, tapi siapa yang tahu jika Allah berkehendak, ia akan menurunkan drastis derajatmu menjadi seorang yang miskin. Jadi, jangan sampai kesombonganmu membawa penyesalan pada kehidupanmu!"
"Arkan-"
Setelah mengatakan itu Arkan kembali mengerjakan pekerjaannya. Namun, wanita itu tidak menyerah. Ia terus-menerus mendesak Arkan agar segera meninggalkan Alisa.
Arkan menarik napas panjang, kesabarannya kini di ambang batas. Dia tidak mengerti dengan apa yang ada di pikiran Sofi. Begitu gigihnya ingin memisahkan dirinya dengan Alisa.
"Aku tidak mencintaimu dan tidak akan pernah mencintaimu. Sampai kapan pun rasa ini tidak akan pernah berubah, karena hatiku sudah milik istriku!"
Sofi tersenyum sinis. "Dia menikah denganmu hanya karena kau pria kaya raya, Arkan. Sekarang terbukti kau tidak punya apa-apa, sebentar lagi juga dia akan pergi meninggalkanmu, karena aku yakin tidak ada wanita di dunia ini yang mau diajak hidup susah."
"Alisa bukan wanita seperti itu, dia wanita yang baik dan tidak pernah memandang harta sebagai jaminan kebahagiaannya. Jadi, jangan pernah melakukan berbagai cara untuk memisahkanku dengan istriku!"
Sofi berteriak dan mengamuk, sampai semua karyawan mengumpul di sana mengelilingi mereka.
"Ada apa ini?" tanya Rion, salah satu manajer di sana.
"Office boy ini sudah berani menggodaku, Pak!" jawab Sofi dengan air mata buayanya.
"Apa yang sudah kau lakukan, Arkan? Kau tahu kalau Mbak Sofi ini sangat berpengaruh besar di perusahaan ini! Baru sehari kerja, kau sudah membuat masalah. Mulai detik ini juga, aku memecatmu!"
"Tapi, Pak-"
"Pergi!" bentak Rion yang langsung mengusir Arkan. Tanpa mendengarkan penjelasannya terlebih dulu.
Dengan langkah gontai Arkan keluar dari kantor itu. Dia tidak menghiraukan teriakan Sofi yang sedari tadi memanggilnya.
"Wanita gila!" gumamnya lirih.
Arkan terus melangkah menelusuri jalanan, pikirannya membuncah hebat. Apa yang harus ia katakan pada Alisa? Padahal tadi pagi dia begitu semangat menyampaikan pekerjaan barunya pada sang istri.
Tiba-tiba ada anak kecil yang menghalangi jalannya.
"Om, saya lapar!"
Arkan merogoh sakunya, mengambil selembar uang yang tersisa di dalam sakunya yang langsung ia berikan pada anak kecil itu.
"Terima kasih, Om! Semoga Allah mengganti rezeki Om dengan berlipat-lipat ganda."
"Amiiin," balas Arkan seraya memasang senyum semanis mungkin.
Air matanya menetes kala melihat anak kecil tadi melompat kegirangan. Anak kecil dengan pakaian compang-camping itu mendekati sebuah warung nasi yang berada diseberang jalan.
Arkan tersenyum dan segera berlalu dari sana. Awalnya uang dua puluh ribu tadi, akan ia pergunakan untuk ongkos angkot dan beli makan sore ini. Namun, mungkin uang itu sudah Allah tetapkan menjadi milik anak kecil itu. Arkan tersenyum lega, setidaknya ia sudah menolong anak kecil itu dari kelaparan.
____________
Azan Maghrib berkumandang, Arkan baru saja menginjakkan kaki di rumahnya. Alisa menyambutnya dengan raut wajah yang penuh kekhawatiran.
"Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam!" balas Alisa seraya mencium takzim tangan sang suami.
Alisa menanyakan mengapa Arkan pulang sesore itu, mendengar jawaban Arkan hati Alisa terenyuh, mengetahui sang suami pulang dengan berjalan kaki. Ada butiran kristal yang menetes di kedua pipinya, tidak menyangka kalau suaminya memiliki hati yang mulia seperti itu.
"Apakah kau tidak marah, hari ini aku kehilangan pekerjaanku? Uang yang tersisa di saku juga sudah aku berikan pada anak kecil tadi. Aku tidak tahu harus mencari ke mana untuk makan kita malam ini!"
Alisa tersenyum dan segera menghapus jejak air mata di pipinya.
"Mas, Allah itu maha kaya. Jadi, untuk apa kita takut dengan kelaparan? Apalagi kau pergunakan uang itu untuk berbagi, insyaallah berkah dan akan menjadi tabungan amalmu kelak di akherat. Dan untuk masalah pekerjaanmu, insyaallah Allah akan menggantinya dengan pekerjaan yang lebih baik lagi."
"Makasih, Sayang!" ucap Arkan seraya memeluk Alisa.
Ada rasa nyaman yang menyeruak ke dalam kalbu. Setidaknya kini Alisa sedikit demi sedikit mulai menerima dan membuka hatinya untuk Arkan. Tak ada yang paling membuatnya bahagia dan nyaman, selain kehadiran Alisa di dalam kehidupannya. Baginya Alisa adalah kado terindah yang Allah berikan untuk menerangi hidupnya.
Alisa segera melepaskan pelukan Arkan, dia menjauh dari Arkan dengan wajah merah merona menahan malu. Alisa akui, kalau Arkan memang tipe lelaki yang banyak dimimpikan oleh kaum hawa. Selain tampan, ia juga memiliki karakteristik yang menarik. Tak bisa dipungkiri, dalam dekapan Arkan, ia merasakan kehangatan dan rasa nyaman yang tak pernah ia rasa 'kan sebelumnya.
"Mengapa menjauh? Jangan bilang kau masih takut kepadaku!" ucap Arkan seraya mengerling nakal kepada Alisa.
Alisa mengangguk. "Kamu benar, aku memang takut padamu!"
Arkan mengernyit tidak mengerti, mengapa Alisa begitu takut kepadanya? Padahal dia tidak bertaring dan juga tidak nakal seperti lelaki lainnya.
"Aku takut, bila dekat-dekat terus denganmu nanti aku bisa jatuh cinta padamu!" sambungnya.
Arkan terkekeh mendengar penuturan Alisa, ia menarik kembali sang istri ke dalam dekapannya. Tidak lupa mengecup singkat keningnya, membuat ritme jantung Alisa bergetar lebih cepat dari biasanya.
"Aku tidak pernah melarangmu untuk jatuh cinta kepadaku! Justru aku bersyukur dan mungkin aku menjadi lelaki yang paling beruntung sedunia, karena diberi kesempatan dicintai oleh wanita sepertimu!"
"Gombal!"
"Aku tidak suka menggombal, aku bicara apa adanya. Sekarang coba tatap mataku, apa kau lihat ada kebohongan di sana?" tanya Arkan seraya mengangkat dagu Alisa.
Kedua netra mereka bertemu, manik mata indah yang meneduhkan hati itu, kini tengah menatap lekat padanya.
Cup....
Satu kecupan singkat mendarat di bibir Alisa. Untuk beberapa detik tubuh Alisa membeku, seakan tak bisa lagi mengontrol detak jantungnya yang berdebar tidak karuan.
"Apakah sekarang kamu percaya akan ketulusan cinta yang kupunya untukmu? Secantik dan sekaya apa pun wanita di luar sana, tak akan mampu membuatku berpaling darimu."
Alisa langsung memeluk Arkan dan menenggelamkan wajahnya di dada bidang suaminya. Haruskah ia mulai membuka hatinya untuk Arkan? Membiarkan hatinya berlabuh pada lelaki yang kini sudah berstatus sebagai suaminya? Atau membiarkan dirinya tak mengenal cinta, karena bayang-bayang masa lalu yang menyakitkan dari sang ayah.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Seorang Mualaf (Terbit)
Roman d'amourAlisa Najwa Azzahwa, seorang gadis penjual kue yang hidup berdua bersama ibunya. Kekurangan ekonomi tidak membuat ia putus asa dan mudah menyerah. Tujuannya satu, ingin membahagiakan sang ibu di masa tuanya. Pertemuan tak terduga dengan pemuda berna...