Part 11

3.7K 218 25
                                    

Lamunannya buyar saat Arkan kembali ke kamar dengan membawa semangkuk bubur ayam. Tidak lupa segelas susu yang ia taruh di atas nakas.

____________

"Kamu dapat uang dari mana, bisa belikanku bubur ayam dan susu, Mas?"

Arkan langsung menutup bibir Alisa dengan jari telunjuknya. "Makan saja, tidak usah banyak bertanya!"

Alisa menurut, menerima suapan demi suapan yang diberikan Arkan. Ia menatap dalam manik mata suaminya, seakan ada sesuatu yang dirahasiakannya. Mengerti tengah ditatap sang istri, Arkan langsung berdehem dan membuat Alisa menjadi salah tingkah.

"Mengapa kau menatapku seperti itu? Jangan-jangan kau mulai mengakui, kalau suamimu ini memang tampan!" ucap Arkan seraya mengerling nakal pada sang istri.

Alisa mendelik, suaminya ini memang memiliki tingkat percaya diri yang berlebih. Walaupun jauh di dalam lubuk hatinya ia mengakui kalau Arkan memang setampan aktor-aktor Korea.

"Kamu tidak usah khawatir soal biaya hidup, Sya. Allah akan selalu mencukupi kebutuhan setiap hamba-Nya. Dan aku akan berusaha penuh untuk bisa membahagiakanmu."

Alisa dibuat kagum dengan apa yang dikatakan suaminya! Tidak mudah bagi seorang mualaf bisa langsung mengenal tentang Islam, tapi Arkan sedikit demi sedikit sudah mulai menguasainya. Ia selalu haus ilmu agama, tak sungkan-sungkan ia selalu menanyakan apa yang ia belum ketahui pada Alisa dan ibunya.

"Aku sudah kenyang! Habiskan olehmu, kamu sendiri juga belum makan, 'kan?"

"Aku sudah makan kok, tadi aku beli tiga bungkus. Untukku, kamu dan ibu."

Tak lama kemudian terdengar suara keroncongan dari perut Arkan.

"Sini mangkuknya, sekarang aku yang akan menyuapimu!" ucap Alisa seraya merebut mangkuk yang berisi bubur ayam dari tangan sang suami.

Kini suapan demi suapan beralih masuk ke mulut Arkan. Lelaki itu terus menatap wajah sang istri, mengagumi setiap inci dari wajahnya. Arkan akui,  Alisa seorang wanita yang langka, ia tidak pernah menuntut apa pun darinya, bahkan saat kekurangan seperti ini pun ia sama sekali tidak pernah terdengar mengeluh. Arkan bersyukur dipertemukan dengan seorang wanita salihah seperti Alisa, karena pertemuan itu juga ia mendapatkan hidayah untuk menjadi seorang mualaf dan mengenal Islam lebih jauh.

Tanpa terasa air matanya mengalir dari kedua sudut matanya, ia terharu sekaligus bahagia. Hidayah dari sang Kuasa mampu merubah hidupnya menjadi lebih baik. Walaupun kekurangan, tapi ia bersyukur karena dengan jalan inilah ia tahu bagimana susahnya menjadi seorang yang miskin. Ia bertekad dalam hati akan selalu berusaha membahagiakan sang istri dan akan menyayanginya dengan penuh cinta.

"Ada apa denganmu? Mengapa kau menangis, Mas? Apakah kamu menyesal hidup miskin denganku?" tanya Alisa, ia menyimpan mangkuk bubur di meja kecil. Lalu menyodorkan segelas susu padanya.

"Aku menangis karena bahagia bisa menjadi suami dari wanita salihah sepertimu. Aku tidak pernah menyesal menikah denganmu, justru ini pelajaran hidup yang sangat berharga. Agar kelak jika Allah mempercayakan kembali kesuksesan padaku, maka aku akan selalu ingat pada mereka yang kekurangan. Selama ini aku selalu menganggap rendah seorang yang miskin, berbagai macam cara aku lakukan dengan uangku hanya untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Hingga aku tak pernah sadar kalau di luar sana masih banyak orang yang kekurangan. Uang sepuluh ribu itu sangat berarti untuk mereka, sedangkan aku menghambur-hamburkannya untuk hal yang tidak penting."

Alisa terenyuh, kekagumannya bertambah berkali-kali lipat pada lelaki yang kini telah resmi berstatus sebagai suaminya. Wanita itu tersenyum dan langsung memeluk erat suaminya.

"Aku takut kalau kamu akan menyesal di kemudian hari, Mas. Lalu kamu akan meninggalkanku pada saat hatiku sudah terbuka untukmu. Aku takut kamu akan seperti Ay-"

Arkan kembali mengunci bibir Alisa dengan jari telunjuknya.

"Jangan sama 'kan aku dengan dia yang sudah meninggalkanmu dengan ibu! Aku tidak akan pernah meninggalkan kalian, sekalipun Allah memberikanku harta yang melimpah. Aku akan selau ada untukmu, karena kesuksesan seorang suami ada pada doa seorang istri."

Arkan melepaskan pelukan Alisa, menghapus air mata di pipinya dan mengecup singkat kening Alisa.

"Hari ini aku akan kerja, kamu di rumah dan jangan pernah berbohong lagi padaku.  Istirahat dan tenangkan pikiranmu!"

"Boleh aku tahu Mas Arkan kerja di mana?" tanya Alisa penuh keraguan.

"Kemarin ada yang menawari jadi office boy di salah satu perusahaan. Kupikir lebih baik diambil saja daripada tidak bekerja sama sekali!"

"Tapi-"

Arkan menggeleng. "Tidak apa-apa! Bukankah ini juga pengalaman baru untuk memulai hidup yang baru?"

Alisa tersenyum, lalu berjalan mendekati Arkan dengan menahan sedikit rasa sakit di kakinya.

"Berbaringlah, tidak perlu menyiapkan apa-apa untukku. Jangan banyak bergerak agar kakimu cepat pulih!"

"Mas, seharusnya kamu tidak perlu bersusah-susah seperti ini. Kamu tinggal menceraikanku dan kembali pada keluargamu. Mungkin hatiku akan sedikit lega, tidak khawatir seperti sekarang!"

"Kalau seandainya aku kembali ke keluargaku, aku memang mendapatkan kembali hartaku, tapi bagaimana dengan hatiku yang sudah terisi penuh tentangmu? Apakah kamu akan tetap lega, sekalipun hatiku terluka karena jauh dari seseorang yang kucinta?"

Alisa terdiam, mencerna semua yang diucapkan suaminya. Namun kemudian, semburat merah menghiasi pipinya. Alisa baru menyadari akan apa yang diucapkan Arkan, ia tersipu malu dan jantungnya berdebar-debar tidak karuan.

"Jangan berbicara seperti itu lagi! Aku mencintaimu tanpa jeda dan aku tidak akan pernah meninggalkanmu, sekalipun kamu masih menutup hatimu untukku. Masih banyak kesempatan untukku mendapatkan hatimu di lain waktu," ucap Arkan.

"Maaf, Mas!"

Arkan mengangguk. "Jangan diulangi lagi! Aku di sini untuk menjagamu, bukan untuk datang lalu pergi meninggalkanmu."

Arkan kembali mengecup singkat kening Alisa, lalu berpamitan untuk berangkat bekerja. Senyum Alisa kini menjadi alasan untuk ia tetap semangat menjalani kehidupan dan pekerjaannya yang baru, demi terciptanya masa depan yang lebih cerah.

___________

Arkan dengan ragu memasuki sebuah perusahan, menemui seseorang yang kemarin telah menawarkan pekerjaan kepadanya.

"Kamu bisa memulai kerja hari ini. Tugasmu hanya mengantarkan kopi, minuman dan makanan yang dipesan semua karyawan di sini."

"Baik, Pak!"

"Bagus, bekerjalah dengan baik," ucapnya seraya berlalu dari hadapan Arkan.

Arkan mengganti bajunya dengan seragam office boy dan memulai pekerjaannya hari ini. Tak sedikit karyawan wanita yang menyuruh dan menggodanya. Namun, Arkan selalu menghadapi mereka dengan penuh kesabaran.

"Mas, sudah punya pacar belum? Kalau belum, aku mau jadi pacarmu."

"Jangan sama dia, sama aku saja! Aku mau kok jadi selingkuhanmu."

"Maaf aku sudah menikah," jawab Arkan singkat.

"Kalau begitu aku mau jadi istri kedua kamu!" ucap salah satu karyawan yang paling cantik di sana.

Arkan menggeleng singkat, lalu pergi meninggalkan mereka. Namun, pada saat ia akan keluar dari kantor. Ia berpapasan dengan seorang yang ia kenal.

"Arkan Billah Attailah, kau bekerja sebagai office boy? Apakah aku tidak salah lihat? Seorang direktur perusahaan besar se-Asia, lebih memilih jadi office boy hanya untuk mempertahankan wanita rendahan seperti itu!"

Bersambung ....

Cinta Seorang Mualaf (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang