BAB 4

3.3K 381 38
                                    

Don't forget to give your star and sory for writing errors.
.
.
"Love is simple. The tricky thing is you."
.
.
Cinta itu sederhana. Yang rumit kamu.
.
.

 Yang rumit kamu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hai, Ra."

Amora baru saja akan memaki Raga, namun ia urungkan saat Pak Indra masuk ke dalam kelas. Amora terpaksa menahan amarahnya terlebih dahulu. Ia duduk dengan wajah bete. Raga itu benar-benar bisa menghancurkan mood nya. Tapi sepertinya Raga tidak terganggu dengan hal itu. Aneh sekali. Amora mengeluarkan buku matematikanya. Ia mencoba untuk fokus ke depan tanpa memerdulikan keberadaan Raga. Meskipun tidak bisa.

Di tengah pelajaran, Pak Indra memberikan beberapa soal latihan untuk dikerjakan. Inilah yang Amora tidak suka. Latihan soal matematika. Amora memang bodoh sekali dalam pelajaran ini. Itu sebabnya ia masuk kelas B. Tapi tidak apa ... ia beruntung, karena selama dua tahun belakangan ia tidak sekelas dengan makhluk bernama Raga. Entah kenapa, ia seperti sedang terkena azab. Sialnya ia harus sekelas dengan makhluk menyebalkan itu untuk satu tahun ke depan.

Amora menggaruk alisnya, kemudian bergumam, "Kenapa, sih, guru selalu ngasih contoh soal latihan gampang, tapi soal latihannya kaya racun?"

Raga sempat menoleh, melihat Amora yang tengah kebingungan. Lucu sekali melihat Amora yang tampak sangat menggemaskan dengan wajah bodohnya. "Nomor berapa yang gak ngerti?" tanya Raga yang membuat Amora menoleh malas.

"Semuanya gue gak ngerti, termasuk sikap lo ke gue sekarang. Gak ngerti gue. Mending lo diem aja. Gue lagi gak pengin marah."

Raga mengerutkan dahinya. "Yang mau bikin lo marah, siapa? Kan, gue, cuma menawarkan bantuan kalo seandainya lo butuh pencerahan biar bisa ngerjain soal latihannya."

Amora memutar bola mata malas, lalu mengambil ponselnya di saku kemudian menyalakan senter dan menaruh di atas kepalanya. "Nih, gue udah dapet pencerahan. Puas?"

Raga tertawa sumbang, kemudian menoyor kepala Amora dengan pulpen. "Itu cahaya, bodoh. Bukan pencerahan."

"Suka-suka gue, dong, mau pencerahan atau cahaya, kek, bodo amat!" Amora sedikit berteriak, membuat beberapa anak menoleh ke arahnya termasuk Pak Indra.

"Amora, kamu sudah mengerjakan soalnya belum? Kenapa malah marah-marah di belakang?" tanya Pak Indra.

Amora berdiri dari duduknya, kemudian menatap Pak Indra, bersiap melontarkan sejumlah khotbah yang sudah ia tahan sejak awal pelajaran tadi. "Pak. Saya keberatan kalo disuruh duduk sama Raga. Saya gak mau duduk sama dia, Pak!" kata Amora.

Pak Indra menyilangkan kedua tangannya, lantas menatap Amora yang kini sedang menyampaikan ketidak-sukaanya duduk bersama Raga. "Saya sengaja atur supaya kalian duduk berdua. Saya tahu kamu paling pintar di kelas A, Raga. Saya juga tahu kamu yang paling pintar di kelas B, Amora. Tapi ... kalo yang paling pintar aja kerjaannya telat mulu setiap hari, apa gak pusing saya lihatnya? Saya kasih kalian duduk berdua sebagai contoh di kelas ini. Supaya kalo salah satu dari kalian telat, saya bisa hukum dua-duanya."

AMORAGA √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang