Philophobia IV

394 60 7
                                    

•••

   Tak.

“Bagaimana Jihoon?” pertanyaan yang dilontarkan Guanlin mengundang kekehan remeh dari Yena.

“Kau masih bisa bertanya di saat kau sudah tahu jawabannya?!” Yena melipat kedua tangannya di dada, dan menatap pemuda dihadapannya dengan angkuh.

“Saya kan bertanya.”

“Seharusnya kau pun sudah tahu jawabannya dari apa yang telah kau perbuat dulu bukan?!”

“Saya tidak mengetahui apapun, Yena.”

Yena terkekeh merendahkan. “Ya, kau mana mengetahui sesuatu yang telah terjadi bahkan atas perlakuanmu sendiri. Bukankah itu sudah membuktikan bahwa kau adalah lelaki tak bertanggung jawab?!”

“Bisakah kau berhenti menyudutkanku, dan bicarakan ini baik-baik?”

“Dan bisakah kau bertanggung jawab atas ketakutan yang dialami Ka Jihoon?!”

“Ketakutan apa yang kau maksud? Jangan asal menyalah—”

Philophobia juga Chiraptophobia. Dan keduanya karena ulahmu Tuan Lai yang terhormat.”

Yena dan Guanlin spontan menoleh mendengar sahutan dari arah belakang keduanya.

“Ka Una?”

•••

   Jihoon menggeliat pelan dalam tidurnya, dirinya hendak membuka kedua netranya jika saja suara lenguhan kecil itu mengurungkan niatnya.

Ia berpikir sejenak atas siapa suara tersebut. Karena seingatnya, dirinya hanya bersama sang kakak terakhir kali.

Dan kala ia membuka matanya dan mendapati bocah lelaki yang sedang tertidur pulas sembari memeluk dirinya, ia tercekat.

“Bagaimana bisa?” lirihnya dengan sendu.

Hhng, bunda?”

Jihoon mengubah posisinya menjadi terduduk diikuti Michael yang masih betah memeluk dirinya.

“Kenapa Michael ada disini?”

“Diajak Mama, bun.”

Mendengar jawaban si kecil Jihoon menghela nafas kasar. “Aku panggilkan Ka Eunha ya, Michael pulang saja.”

Michael menggeleng kencang, ia justru memeluk Jihoon dengan erat. “Tidak mau!”

“Michael?”

“Tidak mau bunda!”

“Park Michael.”

“Tidak mau! Tidak! Tidak bunda! Michael ingin bersama bunda! Hanya bersama bunda, tidak ingin bersama mama! Hiks, bunda sudah lama tidak bertemu dengan Michael.”

“Michael—”

“Pokoknya tidak mau bunda~ huaaa!”

Tangis Michael semakin menjadi, bahkan sekarang ia memberontak menandakan bahwa ia benar-benar enggan berpisah dengan Jihoon.

Jihoon sendiri dibuat bingung harus bertindak seperti apa.

“Michael, dengarkan.”

“Tidak! Hiks, nanti bunda meminta Michael untuk pergi lagi, tidak mau bun, hiks.”

“Astaga dengarkan AKU DULU!!”

Bentakan Jihoon membuat tangis Michael terhenti, hanya beberapa detik karena setelahnya ia justru menangis lebih kencang.

HIKS, HUAAA HUHUUU.”

“Ya Tuhan ada apa ini? Michael kenapa menangis sayang?”

Eunha baru saja datang dan tangis kencang dari Michael justru menyambutnya. “Jihoon? Michael kenapa?! Ya Tuhan, tenang sayang. Berhenti menangis ya.”

“Ka. Kita pulang saja.”

Eunha menoleh pada Jihoon yang masih terdiam dengan pandangan kosong kedepan. “Itu yang ingin aku bicarakan padamu. Aku sudah meminta izin pada panitia kau pulang terlebih dahulu. Sekarang mari cepat berkemas.”

Jihoon mengangguk, tetapi kala ia ingin menuruni ranjang, Michael yang berada dalam gendongan Eunha memberontak dan justru kembali menangis. “Bunda, hiks.”

Jihoon melirik sekilas pada Michael sebelum ia melanjutkan pergerakannya yang tertunda. Eunha yang melihat interaksi itu menghela nafas kasar.

“Jihoon, sudah biar aku saja yang mengemas barangmu. Michael hanya ingin bersama bundanya.” Eunha langsung mengambil alih koper milik Jihoon dan menyerahkan Michael dalam gendongan Jihoon. “Kalian duluan saja ke mobil, biar nanti aku menyusul.” lanjutnya.

Kali ini Jihoon tidak menolak, ia membiarkan bocah itu memeluk lehernya erat.

“Bunda?” panggilan bernada ragu itu pun hanya dijawab sebuah gumaman kecil oleh Jihoon.

“Michael minta maaf sudah menangis seperti tadi dan tidak mau mendengarkan bunda. Michael hanya tidak mau mendengar bunda meminta Michael untuk pergi saja bersama mama.” 

Tangan Jihoon terulur mengelus pipi tembam Michael, “Bunda bukan ingin Michael pergi. Tapi sekarang bunda sedang tugas sayang.” ia mengalah.

“Tapi apa sekarang bunda ikut pulang?”

“Iya, bunda pulang.”
















“Park Jihoon.”

Jihoon terpaku. Badannya langsung gemetar, manik matanya bergerak gelisah. “P-permisi.”

“Tidak Jihoon, ada yang ingin saya bicarakan.”

Tangan lelaki dihadapannya menahan agar Jihoon tidak pergi, Jihoon sendiri sudah ingin menangis, ia bahkan memeluk erat tubuh Michael.

“Bunda ayo pulang.”

“Bunda?”

Lelaki yang tak lain adalah Guanlin itu menyerit tak mengerti. “A-aku harus p-pergi.”

“Tidak sebelum kita bicara Ji.”

P-please, bahkan untuk bertatap denganmu saja a-aku tidak bisa.”

“Beri aku satu kejelasan.”














To be continued...

Ih ragu mau publish cerita ini.. Sbnrnya ini tuh harusnya ke publish dlm 1 book, cuma gmna ya😬 Jadi mau lanjut part nya takut kepanjangan><

One Of Our Love [Panwink]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang