Jaejoong tidak yakin kalau bangunan megah luar biasa dihadapannya ini bisa disebut rumah. Baginya, ini lebih mirip museum atau bangunan sejarah milik para raja. Pilar-pilarnya tinggi, didominasi putih dan emas yang berkilauan diterpa mentari sepanjang hari. Belum lagi deretan tanaman hias yang melingkar, ah, mungkin ini lebih pantas disebut surga. Padahal Jaejoong tidak pernah berpikir dirinya akan masuk ke surga.
"Kamarmu ada di lantai dua. Ayo appa antar." Tuan Jung mengamit tangan kecil putra barunya. Menuntun bocah itu berkeliling surga sambil berkenalan dengan para pelayan. Kemudian mereka berhenti di lorong lantai dua, disana ada dua pintu yang tertutup. Satu berwarna merah dengan hiasan phoenix yang terpajang apik, sementara satu lagi biru muda polos tanpa apapun.
"Ini kamar barumu, nak. Kami belum menyiapkan hiasan apapun di pintu karena tidak tahu bagaimana seleramu."
Jaejoong mengerjap, lalu pria tua disampingnya melanjutkan, "Kau ingin hiasan berbentuk apa?"
Butuh lima detik lebih bagi Jaejoong untuk memutuskan, dan bocah itu berakhir menggeleng sambil menggumam, "Aku belum tahu."
Tuan Jung tertawa hangat, ia mengusak rambut putranya lalu mereka masuk ke dalam kamar berpintu biru. Jaejoong benar-benar anak panti yang polos.
"Bagaimana? Kau suka?"
Hal yang tidak bisa Jaejoong hindari di tempat ini adalah menganga. Mungkin kalau menganga itu dosa, Jaejoong bisa masuk neraka yang paling bawah. Seharusnya ia tidak senorak ini, seharusnya ia berusaha bersikap biasa saja tapi jiwa miskinnya meronta begitu hebat dan menguap keluar dari sekujur tubuh hingga tampak di wajahnya.
"Y-ya. Ini... lebih dari cukup, appa." Kata terakhir bergetar di ujung lidah, tapi peduli apa, ia sedang sibuk memuja kamarnya lewat pandangan mata.
"Bagus kalau kau suka. Istirahatlah, kita bertemu lagi saat makan malam."
"Eung!"
Tinggalah bocah itu seorang diri dalam kamar barunya. Sebagaimana anjing yang membaui daging, Jaejoong mencoba segala perabotan dan berakhir kacau. Tangannya terjepit pintu kamar mandi, tubuhnya terpental dari kasur, dan bulu angsa bantalnya terbang berhamburan.
"Sialan! Bisa-bisa aku dipulangkan kembali ke panti."
Dengan malas dan berat hati, tubuhnya ia paksa membersihkan sendiri segala kekacauan. Ia sudah terlampau lelah sebenarnya, tapi ia tidak ingin Tuan Jung tahu kalau anak barunya senakal ini. Mana mau dia kembali pada suster kepala yang galak itu.
Meja makan keluarga Jung besar, penuh makanan tapi terlihat kosong. Di sana hanya ada Yunho, pria itu rupanya baru saja kembali dari rapat rutin perusahaan. Armani merahnya masih rapi, pun dasinya yang masih menggantung di leher. Hanya rambut saja yang acak-acakan, yang secara ajaib justru membuatnya semakin tampan.
"Kemarilah! Duduk dan makan bersamaku," katanya begitu menyadari eksistensi Jaejoong di ujung anak tangga paling bawah.
Jaejoong menurut, bukan menurut pada perintah kakak angkatnya, tapi menurut pada perutnya yang kelaparan. Langkah kakinya kecil-kecil, nyaris mengambang di udara kalau saja suara sandal plastiknya tidak membuat suara "PAK" yang nyaring setiap beradu dengan marmer.
Yunho menatap sekilas sandal lama itu, "Nanti mintalah pada salah satu pelayan untuk menyediakan sandal rumah yang baru untuk mu."
Jaejoong ikut memperhatikan sandalnya, terbuat dari plastik dan usang, sangat kotor. Jujur saja, itu sandal untuk bermain di luar panti.
Sambil mengulum sendok, ia menjawab, "Sebenarnya aku lebih suka tidak pakai sandal di rumah."
"Mulailah menyesuaikan diri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall, Fell, Fallen [YUNJAE]
FanfictionJaejoong memulai kehidupan dengan rasa sakit. Seorang anak terbuang yang tumbuh besar di panti asuhan. Ia menemukan cinta, bahagia, lalu jatuh untuk yang kesekian kali. Kemudian ia tumbuh sebagai orang dewasa dengan "penyimpangan seksual". Menjajaka...