Pukul 20.37 mobil yang membawa mereka melaju di tengah jalan kota yang tak kunjung lenggang. Sepanjang pinggiran jalan dipenuhi para pedagang yang menjajakan makanan murah dan minuman penghangat tubuh. Anak-anak muda berkumpul disana, berbaur dengan kendaraan yang berlomba mendapatkan ruang untuk bergerak maju. Begitu ramai, begitu gemerlap.
"Woah! Apa itu taman bermain?" Jaejoong menunjuk pada sebuah kawasan besar dengan komedi putar raksasa. Tuan Jung yang berada disebelahnya ikut melirik, lalu mengangguk. "Ya, kau belum pernah ke sana?"
Jaejoong menggeleng riuh, "Belum! Mana mungkin para suster membawa kami ke sana. Tiket masuknya pasti mahal."
"Kau ingin pergi ke sana? Kita bisa mengajak anak-anak panti juga." Tuan Jung mematikan layar ponselnya. Sengaja mengalihkan lebih banyak atensi pada kedua anaknya.
"Appa serius?!" Jaejoong berseru, matanya berbinar senang.
"Tentu, nak!"
"Terimakasih, appa!" Katanya sambil memeluk erat si ayah baru. Jaejoong bahagia, dan lebih bahagia lagi karena ia bisa berbagi dengan teman-temannya.
"Appa terlalu memanjakannya," Yunho mencibir dari kursi depan. Tidak peduli ketika sang ayah berdesis sambil pura-pura marah padanya. Sementara keningnya berkerut kesal ketika adik angkatnya justru menjulurkan lidah, mengejek.
Sisa pekan terasa begitu lama. Terutama ketika Jaejoong belum juga masuk sekolah karena masih banyak surat yang perlu ia urus. Jadilah anak itu hanya berdiam dan bermain di rumah sambil menanti datangnya sabtu. Hingga akhirnya hari itu tiba ketika matahari terbit pagi ini. Jadi, sepagi ini ia sudah bergegas. Bangun dan mandi sembari bersenandung semangat lalu menghampiri ayahnya yang duduk menikmati teh di halaman belakang.
Pria tua itu tampak tenang dan berwibawa seperti biasa meski hari ini ia hanya mengenakan pakaian kasual tanpa balutan armani mahal miliknya. Secangkir teh disampingnya sudah dingin, beradu suhu dengan semilir angin yang bertiup di antara celah pohon-pohon rindang kesukaannya.
Ia termenung, tenggelam dalam pertimbangan akan sesuatu yang berada di luar dugaannya. "Apa yang harus ku lakukan?" Pemilik sekaligus pendiri Jung Corp itu berbisik entah pada siapa. Menaruh harapan pada langit yang tak kunjung redup. Pagi begitu cerah dan langit begitu biru, bersambut awan putih yang diterbangkan angin dengan syahdu. Berpindah ke sana kemari tanpa perlu merubah wujud meski pada akhirnya akan menjadi titik embun yang siap jatuh.
Jung senior belum siap jatuh. Ia masih ingin menikmati kejayaan yang ia peroleh setelah meniti karir sejak muda. Keringatnya seolah belum kering, belum puas terbayar dengan segala sesuatu sampai detik ini.
Beberapa hari lalu, tepat setelah makan malam berakhir, ia mendapat kiriman pesan dari sang kolega. Seharusnya sejak awal ia tahu kalau keluarga Ok tidak mungkin senaif itu. Mereka mahsyur, tentu selalu ada harga untuk menjalin bisnis dengan mereka.
"Putraku tertarik pada putra kecilmu. Ku harap kau mengizinkan mereka untuk bertemu kembali?"
"Benarkah? Tentu, kuharap mereka bisa menjalin hubungan kakak adik yang akrab. Kurasa Jaejoong juga akan senang menghabiskan waktu bermain dengan Taecyeon."
"Hahaha Anda terdengar platonis,Tuan. Kakak adik tidak akan cukup bagi mereka. Berikan putramu pada Taecyeon dan hubungan kita akan berjalan lancar."
Wajah tua Tuan Jung menegang, ponselnya yang menempel di telinga ia genggam erat. Di hadapannya ada setumpuk berkas yang perlu ia selesaikan dan kerja sama bisnis Jung dan Ok ada di antaranya.
"Aku yakin kita tidak sedang membahasa pernikahan bisnis, kan? Katakan saja intinya."
"Tentu tidak. Kita akan hancur jika melakukan itu. Hanya serahkan Jaejoong pada Taecyeon dan biarkan anak ku mengendalikan bocah itu semaunya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall, Fell, Fallen [YUNJAE]
FanfictionJaejoong memulai kehidupan dengan rasa sakit. Seorang anak terbuang yang tumbuh besar di panti asuhan. Ia menemukan cinta, bahagia, lalu jatuh untuk yang kesekian kali. Kemudian ia tumbuh sebagai orang dewasa dengan "penyimpangan seksual". Menjajaka...